Rabu, 18 Mei 2011

PLUS MINUS UJIAN NASIONAL



Evaluasi pendidikan di semua lembaga pendidikan formal itu hukumnya wajib. Kebijakan Ujian Nasional adalah suatu kebijakan publik di bidang pendidikan yang mengacu pada Delapan Standar Nasional Pendidikan. Kebijakan Ujian Nasional diharapkan akan dapat memicu kualitas ouput pendidikan di Indonesia. Sebagai seorang akademisi terus terang saya sangat salut  dan menghargai tujuan  yang mulia dari pemerintah dan sejumlah stakeholder pendidikan  agar supaya peringkat mutu pendidikan di Indonesia meningkat dan diharapkan akan menyamai minimal selevel kesuksesan di beberapa negara di wilayah Regional Asia-Pacific.

Tujuan dan upaya yang cukup baik dari pemerintah ini juga patut dibanggakan karena upaya seperti ini berpeluang memicu lembaga pendidikan meningkatkan mutu output dan outcome pendidikan sehingga implikasinya secara langsung maupun tidak langsung akan berpeluang menaikan HDI (Human Development Index) Indonesia  pada peringkat yang membanggakan. Terus terang peringkat mutu pendidikan dan HDI Indonesia selama ini masih berada pada posisi yang  belum  terlalu membanggakan walaupun kita akui pula bahwa ada sejumlah siswa Indonesia yang telah berhasil meraih sukses diajang olimpiade sains tingkat internasional dan telah tercatat pula banyak temuan-temuan ilmiah siswa yang inovatif selama ini cukup spetakuler dan patut diacungi jempol.

Walapun pemerintah telah merekomendasikan untuk memasukkan 40% nilai rapor siswa dalam perhitungan kelulusan siswa pada Ujian Nasional untuk tahun ini, kebijakan Ujian Nasional (UN) oleh sejumlah stakeholders pendidikan dianggap masih kontroversial. Logika sederhana mengatakan bagaimana bisa menyeragamkan output (kualitas luaran) di seluruh Indonesia kalu INPUT dan PROSES pendidikan di seluruh wilayah tanah air tercintah ini belum seragam (relative sama kualtiasnya). UN adalah kebijakan public yang premature dan belum fair. Juga analogi sederhana mengatakan misalnya, mana bisa dalam suatu perlombaan balapan motor diperlombakan motor dengan kapasitas besar 250 CC, motor dengan kapasitas 110 CC dan 100 CC diperlombakan pada kelas dan lintasan sirkuit yang sama. Tentu dari keceptan dan daya tahan kedua kendaraan ini berbeda secara signifikan sehingga output kecepatan maximum juga tentu juga akan beerbeda. Demikian juga analogi sederhananya “adalah tidak fair kalu petinju kelas berat disparingkan dengan petinju kelas bulu atau petinju kelas ringan. Dengan kata lain, masa kelulusan siswa ditentukan oleh butir-butir soal yang didesain di pusat dengan materi dan content yang relative seragam dan disebarkan kepada peserta ujian nasional di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki sekolah dengan latar belakang dan karakteristik yang berbedabeda. Dari segi validitas dan realibilitas soal UN perlu dipertanyakan (QUESTIONABLE) dan masih perlu diperdebatkan (Debatable). Demikian juga kebijakan public ini perlu ditinjau kembali karena lebih banyak kekurangannya (weakneses) dari pada kelebihannya (Strengths).

Kebijakan Ujian Nasional adalah kebijakan Centralisasi Soal Ujian yang tentu telah bertentangan dengan semangat desentralisasi pendidikan  yaitu manajemen berbasis sekolah (School Based Management) di mana guru dan sekolah diberikan otonomi untuk mengelolah pendidikan termasuk evaluasi belajar sisiwa-siswanya. Guru-gurulah yang lebih tahu karakteristik dan kemampuan akademik siswanya. Guru dan sekolah berhak melakukan evaluasi dan penilai proses selama peserta didik mengikuti pendidikan formal di sekolah. Guru dan sekolah yang lebih berhak menetukan siswanya berhak lulus atau tidak.

Ujian Nasional juga telah menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi lebih bersifat pembelajaran hafalan (Rote learning) di mana siswa menghabiskan cukup banyak waktu luang mereka hanya untuk dilatih dan diajar menjawab soal-soal kisi-kisi tes. Di negara maju model pembelajran ini adalah model pembelajaran yang sangat klasik dan tidak efektif karena tidak melatih kemampuan berpikir kritis dan cerdas (critical thinking)  sehingga anak-anak juga cenderung belajar model menebak jawaban (Guessing) kalu jawaban mereka belum tahu. Di samping itu UN juga mengabaikan dua rana pendidikan yaitu Psikomotor dan Afektif. UN hanya memfokuskan pada rana kognetif sehingga aspek keterampilan dan aspek integritas moral peserta didik masih diabaikan.

Ujian Nasional juga mengabaikan analisi kebutuhan (need analysis dan analisi keinginan (want analysis) dan juga disinyalir oleh sejumlah pakar di media  bahwa kebijakan ujian nasional hanya merespon kepentingan politik dan kepentingan financial segelintir elit dan kurang memperhatikan kepentingan dan kebutuhan stakeholder pendidikan di akar rumput terutama sekolah di daerah yang masih sangat tertinggal yang minim sumber daya dan infrastruktur pendidikannya.

Kebijkan ujian nasional disinyalir juga memilki dampak negative (Detrimental Impact) karena kebijakan ini dianggap sebagai monster yang menakutkan bagi penyelenggara pendidikan di daerah tertinggal. Dalam beberapa kasus beberapa pejabat dinas pendidikan, kepala sekolah dan guru-guru terancam dimutasi atau  diberikan sangsi administratif yang cukup berat apabila siswa di wilayah atau di sekolah mereka banyak yang tidak lulus. Dampak dari kebijakan ini telah berpeluang menimbulkan praktek hypocracy (kemunafikan) dalam bentuk skandal kecurangan UN yang melibatkan sejumlah stakeholder pendidikan di beberapa sekolah seperti disinyalir di beberapa media belum lama ini.

Solusi yang terbaik untuk kasus kontroversi UN adalah kebijakan Ujian Nasional harus ditinjau kembali. Harus dicarikan format pengganti Ujian Nasional yang lebih tepat dan efisien. Sebaiknya UN hanya menjadi pemetaan kualitas pembelajran dari beberapa mata pelajaran di sekolah. UN juga sebaiknya  menjadi umpan balik atau feedbacks bagi dinas pendidikan dan sekolah di daerah untuk memperbaiki kualitas pendidikan melalui pengajaran remedial dan pembenahan infrastruktur pendidikan termasuk sumber daya tenaga pengajar. Solusi lain adalah mungkin perlu dibuat kelompok regional UN  berdasarkan peringkat kemajuan sekolah atau wilayahnya. Jadi content soal UN harus disesuaikan dengan kondisi dan tingkat kemajuan suatu wilaya atau sekolah. Tentu disadari bahwa selama ini kita baru sebatas mengandalkan MODAL KEUANGAN (finacial Capital) dalam setiap program pembangunan pedidikan dan di sisi lain kita terkadang mengabaikan faktor yang tidak kalah pentingnya yaitu MODAL SOSIAL (Social capital) seperti kepercayaan (TRUST) dan kerjasama yang baik dalam mensuseskan program pendidikan formal di tanah air tercinta ini. Akhinrya, marilah kita sandarkan harapan kita pada anggota legislative yang baru, semoga wajah baru di Palermen akan membawa semangat baru untuk membuat UU dan kebijakan yang lebih memihat pada kepentingan memajukan kualitas pendidikan di Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar