Kamis, 26 April 2018

BUDAYA LITERASI DI MASYARAKAT YANG BERBUDAYA


Oleh Mochtar Marhum
SEJARAH BUDAYA LITERASI
Banyak bangsa yang telah lama memiliki peradaban maju. Mereka punya budaya literasi yang telah lama berkembang dan tetap terpelihara bahkan sejak zaman purba.
Dalam catatan sejarah, budaya literasi telah berkembang sejak masa pra-sejarah dan sejak manusia menggunakan bahasa. Di Cina Budaya Literasi lahir sejak 1300 SM, di Mesir sejak 2300 SM dan di Meksiko sejak 600 SM.
Bangsa Arab yang eksis di lebih dua puluh negara dan terletak di Timur Tengah dan Afrika telah lama memiliki budaya dan sistem literasi yang maju, demikian juga bangsa Cina, Jepang, India dan Thailand dan Indonesia.
Bangsa Eropa telah jauh lebih lama memiliki pradaban dan budaya literasi yang berkembang. Budaya literasi Bangsa Eropa pada umunya telah ditularkan ke negara-negara koloninya di Amerika Utara, di Asia-Oceania, Afrika dan Amerika Latin. Banyak suku bangsa yang telah lama memiliki huruf (script) dan angka (numeric) dan menggunakan bahasa ibu (Mother Tongue). Budaya baca tulis telah lama diajarkan.
Kemajuan suatu bangsa juga ditandai dengan berkembangnya budaya literasi di berbagai aspek kehidupan. Bangsa-bangsa yang maju dulu ditandai dengan peradaban literasi. Dan zaman dulu telah ada banyak suku dan bangsa yang memiliki peradaban literasi. Di wiliayah Asia Selatan dan Asia Tenggara huruf sansekerta telah lama berkembang dan sampai saat ini masih dirawat dan dibudayakan.
Di Indonesia sendiri etnis yang dominan memiliki bahasa daerah dan hurufnya sendiri (Ethnic Language Script) seperti Suku Bugis-Makassar, Jawa dan Bali serta suku-suku yang dominan di Sumatra juga memiliki bahasa daerah dan budaya literasi yang berkembang. Bahasa daerah dan budaya literasi lokal tetap terpelihara dan diajarkan di lembaga pendidika formal.
Dulu budaya literasi dikembangkan melalui mekanisme yang berbau hardcopy dan manual. Sebaliknya di zaman now budaya literasi berkembang pesat melalui teknologi digital, mekanisme soft copy dan electeonic file.
DAMPAK BUDAYA LITERASI
Pernah ada penelitian dosen Ilmu Kedokteran di Amerika tentang budaya literasi dan upaya pencegahan penyakit kepikunan yang berhubungan dengan kemampuan nalar seseorang.
Dari hasil termuan (research findings) ditemukan bahwa masyarakat yang rajin nulis dan membaca akan terhindar dari penyakit kepikunan dan mereka pada umumnya punya kemampuan berfikir atau bernalar lebih cepat.
Era zaman now dengan teknologi Digital masyarakat lebih mudah melakukan aktivitas literasi dengan instan melalui teknologi informasi. Mereka menggunakan laptop, smart phone atau tablet untuk mengembangkan budaya litersi.
Zaman now mungkin banyak orang yang lebih senang akses internet dan berselancar di dunia maya menggunakan Gadget. Indonesia menempati urutan ke empat ranking dunia pengguna internet dan media sosial terbanyak.
Banyak yang mungkin lebih senang nulis status di medsos pakai Smart Phone dari pada gunakan Laptop atau Komputer (PC) seperti zaman old. Dan process nulis dan baca menggunakan smart phone mungkin jauh lebih cepat.
Juga zaman now banyak orang yang sudah terbiasa nulis dengan kecepatan nulis di atas rata-rata apalagi kalau pernah mengikuti tes nulis melalui tes bahasa yang berstandar internasional. Atau mungkin pernah mengikuti pelatihan jurnalistik dan keterampilan literasi.
Ada mungkin yang mampu nulis status di FB hanya membutuhkan waktu sekitar satu menit atau nulis artikel yang panjang sampai 250 kata (sekitar dua halaman lebih kertas Quarto) dan hanya menggunakan Iphone bukan laptop.
Mungkin ada pula yang mampu nulis artikel atau esai yang panjang hanya membutuhkan waktu sekitar 20 sampai 30 menit untuk menyelsaikan tulisan tersebut tapi terkadang mungkin belum diedit atau belum prove reading.
BUDAYA LITERASI DI PERGURUAN TINGGI
Yang pernah mengikuti pendidikan tinggi di luar negeri terutama di negara-negara English Speaking Countries pasti sudah terbiasa dan terlatih nulis cepat karena dulu mungkin pernah mengikuti latihan nulis cepat liwat writing skills melalui pelatihan tes TOEFL (Tes of English as A Foreign Language) dan IELTS (International English Language Test System) tapi menggunakan data bukan fiksi.
Di perguruan tinggi rata-rata mahasiswa diajarkan keterampilan bahasa (language skills) dan pada umum keterampilan bahasa yang terkait dengan budaya literasi diajarkan di kampus terutama di Program Studi Bahasa, Budaya dan Sastra atau Ilmu Budaya (Humaniora) dan di Program Studi Pendidikan Bahasa.
Namun, juga pada umunya semua mahasiswa di setiap program studi diajarkan matakuliah bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan fokus pada keterampilan menulis dan membaca melalui critical reading dan critical thinking.
Budaya literasi juga sangat erat kaitannya dengan mata kuliah yg berhubungan seperti mata kuliah menulis (writing skill), Keterampilan membaca (Advanced Reading), mata kuliah Languages for Journalism (Penggunaan Bahasa di Media), Interpretation and Translation (Ilmu Tafsir dan Terjemahan).
Beban mengajar dosen beda dengan beban ngajar guru sekolah dasar atau guru sekolah menengah karena dosen biasa rata-rata ngajar hanya satu atau dua mata kuliah sehari beda denga guru jamnya kayak jam orang masuk kantor. Sehingga rata-rata dosen punya waktu relatif lebih banyak untuk digunakan mengembangkan aktivitas budaya literasi terutama kegiatan membaca dan menulis.
BUDAYA LITERASI DI MEDIA SOSIAL
Zaman now terkait dengan budaya literasi, rata-rata orang kalau nulis biasa menggunakan media sosial dan menulis status atau posting gunakan Smart phone pasti lebih cepat dan apalagi hanya share berita dari media mainstream.
Banyak yang berteman/berlangganan dengan banyak media mainstream di FB jdi kalu ada berita yg menarik tinggal di-share biar ikut budayakan Literacy di medsos.
Cuman mengembangkan bidaya literasi juga harus bersamaan mengembangkan budaya santu. Misalnya kalau nulis dan nyentil teman-teman di media sosial janganlah vulgar alias kasar dan juga jangan lupa ngaca biar tidak ngaco tulisannya di status. Sebab kalau nulis tidak ngaca atau tidak mampu prove reading atau editting (ngaca) tidak heran kalau bisa terjadi insiden pelaporan atau lebih sadis terkadang terjadi kasus main hakim alias kasus penganiayaan mungkin timbul karena kasus keterainggngan misalnya.
Namun, hal-hal yang terkait dengan insiden dan aksi yang kurang terpuji tersebut sebaiknya tidak terjadi karena kalau ada yang tersinggung atau tidak berkenan dengan suatu tulisan sebaiknya yang bersangkutan minta klarifikasi atau menggunakan semacam hak jawab.
Kalau nulis status di medsos atau artikel sebaiknya punya kemampuan menggunakan Diksi (Diction) atau kemampuan memilih kosa kata yang tepat dan nulis harus sangat berhati-hati (Prudent) biar tidak ada teman yg merasa tersakiti atau tersinggung.
Menulis dengan gaya humoris dan jenaka mungkin salah satu pendekatan yang terbaik dan nulis dengan gaya diplomatis juga mungkin bisa menghindari insiden kesalah-fahaman atau ketersinggungan. Dan melalui gaya diplomatis, mungkin informasi yang ingin kita sampaikan bisa diterima oleh pembaca yang melek literasi.
Penulis: Kolumnis Free-lance dan Akademisi

Rabu, 25 April 2018

BERSEDIAKAH SEORANG APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) MENGUNDURKAN DIRI KARENA INGIN MENEGAKKAN PRINSIP ???


Ini kisah singkat yang sangat inspiratif dari dua orang teman dosen PNS dulu yang pernah mengadi dosen PNS di Perguruan Tinggi Negeri di kota Palu Sulawesi Tengah.
Bangga dan salut dgn dua sahabatku yg dulu pernah jadi dosen PNS seangkatan sya dan kami diangkat jadi dosen CPNS tahun 1992.
Sekitar tahun 2000-an dua teman kami bertekad mengundurkan diri jadi abdi negara (PNS Dosen) dan menjadi aktivis Organisasi Non Pemerintah (LSM).
Sangat kagum karena mereka punya prinsip dan tentu mereka bukan penghianat, tentu juga mereka bukan pengecut dan juga bukan penjilat.
Mereka punya prinsip yg teguh keluar dari profesi sebagai Dosen PNS dan fokus terjun ke Organisasi Non Pemerintah (LSM).
Mereka sempat meraih gelar pendidikan tertinggi (paripurna) yaitu berhasil menyelesaikan pendidikan pascasarjana di luar negeri yaitu S3 atau PhD (Doctor of Philosophy) di Universitas terkenal di Filipina dan di Kanada.
Dibandingkan dengan teman-temannya yang masih aktif sebagai Aparatur Sipil Negara (Dosen PNS) tapi hati nurani mereka saat ini sudah tidak sejalan dgn pemerintah mungkin bisa jadi suatu penderitaan yang berkepanjangan. Apalagi kalau capres petahana terpilih kembali mungkin mereka akan jauh lebih menderita. Saat ini saja mereka sudah mederita, galau dan sering ikut menyudutkan pemerintah dan bahkan lebih parah lagi mereka secara tidak langsung sering memprovokasi masa utk menjauhi pemerintah melalui media sosial.
Jika ada dosen PNS yg mengatakan lebih baik jadi pembangkang kepada pemerintah asal punya prinsip dan tidak jadi penjilat, kini muncul pertanyaan atas statemen agitatifnya yaitu:
Maukah dosen PNS tersehut menunjukkan bahwa dia masih punya prinsip dan mau mengundurkan diri jadi Aparatur Sipil Negara atau PNS jika nanti Capres Petahana terpilih kembali ???...hehehehehehe...
Mungkin hanya yg bersangkutan dan rumput yg bergoyang yg tahu jawabannya

DI BALIK MAKNA PENGHIANAT NEGARA DAN PENJILAT PEMERINTAH


Oleh Mochtar Marhum
Dua kata yang kedengaran berkonotasi negatif dan punya makna yang berbeda.
Lebih berbahaya penghianat dari pada penjilat. Karena penghianat bisa menghancurkan negara atau membubarkan NKRI.
Sejarah kontemporer membuktikan telah banyak negara yang hancur akibat perang saudara dan bubar akibat rakyat diprovokasi untuk membenci pemerintah.
Sejumlah negara-negara di Afrika dan Timur Tengah banyak yang hancur dan jadi negara gagal akibat ula segelintir penghianat negara.
Penjilat walaupun maknanya negatif tapi mungkin hanya menyenangkan penyelenggara negara tapi tidak sampai menghancurkan negara.
Penghianat terhadap suatu organisasi tertentu seperti pemerintah atau bahkan negara tapi mungkin sebaliknya dikalangan pendukungnya bisa dianggap sebagai pahlawan atau idola bagi kelompoknya.
Sebaliknya makna kata penjilat bisa jadi maknanya subjektif atau bias. Karena bagi pembencinya seseorang akan disebut sebagai penjilat.
Namun, kata penjilat mungkin lebih tepat kalau ditujukan kepada seseorang yang cari muka atau membela mati-matian atasannya dengan tujuan ingin mendapatkan jabatan atau posisi diinginkan.
Karakter penjilat biasa identik dengan seorang yang ambisius atau tipologi orang yang gila jabatan (Gaja).
Penjilat yang membela NKRI dan membela pemerintah yang sah itu jauh lebih mulia dari pada jadi pengianat negara dan penghianat kepada pemerintah yang sah dan apalagi kalau penghianatan itu dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara.
Mereka yg bekerja dengan pemerintah, makan gaji dari pemerintah, mendapat tunjangan dan fasilitas negara tapi di belakang menghianati pemerintah dan negara dgn cara memprovokasi orang banyak utk tidak percaya pemerintah atau membenci pemerintah.
Ikut mengkritisI pemerintah dgn disertai solusi yg baik itu lebih bagus agar supaya pemerintah selalu berjalan di rel yg benar (On the right track) dan tidak tersesat.
Namun, bukan menghujat dan mencaci maki pemerintah karena hanya akan membuat orang yang melakukan perbuatan tersebut tambah sakit hati dan stress dan juga bisa menimbulkan komplikasi pada penyakit lainnya yang berhubungan dengan perasaab sakita hati, benci dan dengki.
Yang jadi masalah serius kalau ada Aparatur Sipil Negara (ASN/PNS) ikut menghasut dan memprovokasi masyarakat untuk menjauhi pemerintah atau bahkan memprovokasi masyarakat utk membenci pemerintah.
Di Era Demokrasi dan di tangan pemimpin yang bijak dan demokratis setiap aparatur sipil negara atau ASN/PNS diberi kebebasan untuk menjatuhkan pilihan pada pemimpin yang diidolakan.
Hal ini beda jauh di masa Orde Baru atau di negara-negara yang punya pemimpin yang otoriter dan di negara dengan sistem totalitarian di mana semua aparatur sipil negara diwajibkan tunduk pada pemerintah dan harus mengikuti kemauan pemerintah termasuk dalam hal menjatuhkan pilihan politiknya.
Bagi Aparatur Sipil Negara mungkin harus lebih bijak dalam bersikap di tahun politik seperti saat sekarang ini.
Mungkin lebih baik diam atau memberikan masukan dan solusi yang terbaikkepada pemerintah dari pada selalu suka menghasut orang lain utk tidak percaya pemerintah atau bahkan memusuhi pemerintah.
Ikut membantu mengawasi dan mengawal roda pemerintahan juga lebih baik dan apalagi selalu memberikan saran dan kritikan yang sangat inspiratif, solutif dan konstruktif.
Ikut mencarikan solusi dari masalah pemerintahan yang rumit jauh lebih baik dan sangat diharapkan ketimbang menjadi bagian dari masalah yang rumit.
Menyebarkan informasi yang benar dan berimbang bisa menjadikan masa depan Indonesia lebih baik.
Mungkin pula saatnya melamar pensiun dini dari aktivitas rutin yang suka menyebarkan informasi sesat dan menebarkan benih-benih kebencian dan permusuhan kepada kelompok dan kubuh tertentu dan mungkin juga termasuk kepada pemerinta.
Penulis: Kolumnis Freelance dan Akademisi

Senin, 23 April 2018

PENGARUH BARAT, ARAB DAN CINA DALAM PERSPEKTIF TAHUN POLITIK DI INDONESIA


Oleh: Mochtar Marhum
PERSPEKTIF SEJARAH
Hindia Timur atau sekarang dikenal dengan nama Indonesia, sejak dulu merupakan wilayah pengahasil rempah-rempah. Wilayah Nusantara ketika itu bagaikan gadis molek yang banyak dilirik oleh pria jomblo.
Dan bangsa asing dari Asia Timur dan Eropa Barat dahulu kala sangat gemar berkunjung ke Nusantara ini untuk mencari rempah-rempah guna mengawetkan makanan, juga sebagai bumbu makanan dan untuk obat-obtan tradisional. Jadi sebenarnya pada awalnya kedatangan bangsa Eropa ke nusantara hanya untuk membeli rempah-rempah dari petani Indonesia.
Namun, seiring waktu dan semakin larisnya rempah-rempah di Eropa, mereka kemudian mengklaim daerah-daerah yang mereka kunjungi sebagai wilayah kekuasaannya dan kemudian sejak itulah berawal proses tahapan penjajahan (Kolonialisme) di nusantara. Jargon kolonialisme oleh media mainstream barat saat ini telah diperhalus dengan jargon pendudukan (Occupation).
Menurut perspektif sejarah, sejak dari dulu ada banyak komunitas imigran Cina di Indonesia. Tersebar dari ujung barat sampai ke kawasan timur Indonesia.
Hampir seluruh wilayah Indonesia terdapat warga keturunan Cina dan mereka merupakan generasi dari beberapa keturuanan yg bila ditunjau dari perspektif sejarah, nenek moyang mereka dulu berimigrasi ke Indonesia ratusan tahun yang lalu.
Sekitar abad ke-11, ratusan ribu etnis Tionghoa menyerbu wilayah Nusantara. Mereka masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa, pesisir selatan dan timur Sumatera, serta pesisir barat Kalimantan dan juga sampai ke pulau Sulawesi.
Menjelang akhir abad ke 19 sampai dasawarsa ketiga abad ke 20, terjadi lonjakan besar migrasi orang Tiongkok ke Nusantara. Lonjakan ini terjadi karena berbagai faktor sosial, politik dan ekonomi.
Hampir sama dengan Sejarah WNI keturuan Arab yang nenek moyangnya juga dulu berimigrasi dari Hadramaut Yaman ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia sejak ratusan tahun lalu dan kini telah beranak pinak, kawin mawin dan berasimilasi secara sempurna dan menjadi warga negara Indonesia.
WNI keturunan Arab sebaliknya sangat mudah berasimilasi dan mungkin karena faktor keyakinan agama dan kultural sehingga mereka lebih mudah berasimilasi. WNI keturunan Arab di Indonesia banyak yang dikenal sebagai tokoh agama, pebisnis dan tidak sedikit yang terjun ke dunia politik praktis.
Menurut sejarah migrasi warga keturunan Arab ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, berawal setelah terjadinya fitnah besar di antara umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi perpindahan (hijrah) besar-besaran dari kaum keturunannya ke berbagai penjuru dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya.
Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut inilah asal-mula utama dari berbagai koloni Arab yang menetap dan bercampur menjadi warganegara di Indonesiadan negara-negara Asia lainnya. Selain di Indonesia, Orang Hadhrami ini juga banyak terdapat di Oman, India, Pakistan, FilipinaSelatan, Malaysia, dan Singapura
Sangat salut kepada saudara-saudara warga keturunan terutama mereka yang menunjunjukkan nasionalisme dan patriotismenya dan pada umumnya warga keturunan sangat cinta Indonesia bahkan ada yang melebihi kecintaan warga pribumi. Sejarah mencatat terdapat sejumlah tokoh bangsa dan pejuang kemerdekaan yang berasal dari warga keturunan.
Di Sulawesi Tengah banyak kampung dan pemukiman etnis warga keturunan baik warga keturunan Cina maupun warga keturunan Arab. misalnya di Kabupaten Tolitoli ada kampung Malosong, semacam Pecinan atau China Town kalau di luar negeri. Dan ada juga kampung Arab. Populasi dan masyarakat keturunan keturunan Arab dan Cina sejak dulu sudah ada sampe sekarang mereka tetap eksis hidup rukun dan harmonis.
Dan sebenarnya hampir tidak ada lagi jargon dikotomi dan apalagi diskriminasi antara warga pribumi dan warga keturunan secara kultural walaupun dalam konteks dan perspektif politik, pengaruh praktek diskriminatif mungkin pernah dialami. Proses asimilasi kultural yang sangat sempurna bisa terlihat dengan kasat mata terutama ketika warga keturunan mecintai bahasa dan budaya lokal. Mereka senang menggunakan bahasa daerah setempat sebagai alat komunikasi yang sangat akrab.
Warga keturunan China yang sekarang merupakan generasi milineal telah menjadi warga negara Indonesia dan kebanyakan tentu bukan melalui proses naturalisasi tapi melalui proses asimilasi yang kisahnya cukup panjang dan berliku. Sebahagian mereka sukses dalam menjalankan bisnis dan usahanya, tidak sedikit yang menjadi tenaga medis yang handal dan hanya segelintir yang bekerja di sektor formal, jadi politisi dan akademisi atau analis (Pengamat).
Di Kota Palu warga keturunan Arab asal Hadramaut Yaman, menjadi tokoh agama dan tokoh pendidik yang terkenal dengan jasa-jasanya. Mendirikan Alkhairat yang kini menjadi Organisasi Islam terbesar ketiga di Indonesia. Kantor pusat PB Alkhairat berada di kota Palu.
Untuk menghormati jasa-jasa besar pendiri Alkhairat, Indrus bin Salim Aljufrie yang lebih akrab disapa dengan panggilan Guru Tua, Bandar Udara di kota Palu diberi nama Bandar Mutiara Sis Aljufrie Palu, mengambil nama tokoh agama dan tokoh pendidik dari warga keturunan Arab. Juga salah satu Mall yang terletak di jantung kota Palu juga mengambil nama tokoh pendidik dan tokoh agama terkenal dari warga keturunan Arab. Setiap tahun PB Alkhairat Palu menyelenggarakan Peringatan Haul Guru Tua yang dihadiri oleh ribuan undangan dari seluruh Indonesia bahkan ada pula delegasi dari luar negeri. Event bersejarah tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pejabat di daerah dan sejumlah pejabat tinggin negara termasuk beberapa Mentri Kabinet dan Anggota DPR:MPR RI.
KONTEKS KETENAGAKERJAAN DAN ISU POLITIK
Mungkin karena kebanyakan warga keturunan Cina berbeda keyakinan agama dengan majoritas penduduk Indonesia sehingga dalam konteks asimilasi kultural dan sosial terlihat agak berbeda dibandingkan dengan etnis keturunan Arab.
Sebagian warga keturunan Cina ada yang sangat sukses dalam dunia ekonomi dan bisnis sehingga nampaknya ada kesan atau imej dan terkadang mereka mungkin juga telah dianggap jadi ancaman dan tantangan di masa depan.
Di satu sisi, fakta membuktikan bahwa sejak puluhan tahun lalu, ada jutaan warga negara Indonesia yg jadi tenaga kerja asing di luar negeri mengadu nasib dan keberuntungan di negeri orang. Di sisi lain, belakangan ini sejumlah media ramai memberitakan penetrasi tenaga kerja asing khususnya dari negara Tiongkok masuk ke sejumlah wilayah potensial di tanah air.
Sebenarnya terkait dengan isu ekonomi dan ketenagakerjaan dalam konteks regional, mungkin sebaiknya melihat kilas balik KTT ASEAN tahun 1997 saat Presiden Soeharto (alm.), sejak Rezim Orde Baru Indonesia telah menanda tangani kesepakatan masuk pasar bebas. Kemudian kesepakatan ini dilanjutkan pada tahun 2003 bahwa 2015 itu pasar bebas di tingkat Asia Tenggara yang dikenal dengan Akronim MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan tahun 2020 pasar bebas tenaga kerja.
Menurut Samad 2018, "Proteksi Indonesia/tenaga kerja Indonesia terhadap tenaga kerja asing hingga tahun 2017 belum kuat, kemudian pada tahun 2018 di keluarkan Perpres tentang Tenaga Kerja Asing untuk mengantisipasi 2020".
Jumlah tenaga kerja Indonesia Terbanyak ada di sepuluh negara seperti dalam catatan BNP2TKI di bawa. Dan sejak dulu wilayah Timur Tengah terutama di Saudi menjadi lahan empuk ketenagakerjaan Indonesia. Dan di samping itu ada juga bnyak yg mengadu nasib di negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan beberapa negara di wilayah Asia Timur
Terkait dengan isu ketegakerjaan dan hubungan luar negeri di tingkat regional, mungkin perlu kilas balik sejarah kebijakan kerjasama luar negeri sejak Zaman Orde Baru sampai sekarang.
BNP2TKI mencatat negara-negara yang menjadi tempat persebaran TKI di luar negeri antara bulan Januari sampai Agustus 2017. Dari 26 negara yang paling banyak terdapat TKI, tercatat 10 negara terbesar untuk penempatan TKI, yaitu Malaysia sebanyak 60.624 orang, Taiwan 48.737 orang, Hong Kong 9.687 orang, Singapura 11.175 orang, Arab Saudi 10.006 orang, Brunei Darussalam 5.416 orang, Korea Selatan 4.266 orang, Uni Emirat Arab 1.937 orang, Oman 718 orang, dan Qatar 794 orang.
Zaman now di tahun Politik dan menyambut Pilpres tahun depan, isu tenaga kerja migran semakin kencang dan kelihatan telah dijadikan komoditas politik.
Media sosial menjadi media yang cukup efektif menampilkan berita tentang isu tenaga kerja asing yang juga dibumbui dengan konotasi negatif dan potensi ancaman politik dan ekonomi.
Namun, benarkah isu penetrasi tenaga kerja asing asal Tiongkok merupakan ancaman ketenegakerjaan di Indonesia atau hanya dijadikan propaganda politik ?
Penulis: Kolumnis Freelance dan Akademisi

Selasa, 17 April 2018

DI ERA KEBEBASAN BERPENDAPAT, ROCKY GERUNG KEBABLASAN BERPENDAPAT


Oleh Mochtar Marhum
Hari ini sejumlah media menyoroti statemen anomaly dari salah satu narasumber ILC yang paling favorit dan punya fans cukup banyak dan terutama dari kubu oposisi pemerintah.
Rocky Gerung (GR) salah satu aktivis politik dan akademisi langka yang selalu Getol mengkritisi kinerja pemerintah selama ini dengan menggunakan argumen-argumen politis dan filosopis.
RG termasuk akademisi langka karena sejak dikeluarkan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, UU No14 Thn 2005 jumlah dosen yang bergelar S1 semakin langkah.
Namun, RG yang sangat cerdas dan digemari oleh banyak penggemarnya tetap menjadi salah satu narasumber yang palung favorit.
Rocky Gerung yang hanya bergelar Sarjana Sastra (SS) bahkan oleh kebanyakan narasumber dan undangan di acara LC sering menyebutnya dengan gelar pangkat akademik yang paripurna yaitu Professor (Guru Besar).
RG kebablasan menyebutkan bahwa kitab suci adalah fiksi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang Baku, kata Fiksi Mengandung Makna Khayalan dan Imajinasi.
Statemen Rocky Gerung di acara ILC kemarin malam, menyebutkan bahwa Kitab Suci adalah fiksi jelas-jelas mengindikasikan bahwa Rocky Gerung telah menistakan semua agama yang memiliki kitab suci seperti yang ada di Indonesia, termasuk agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha.
Secara tidak langsung Rocky menganggap bahwa Surga dan Neraka itu hanyalah khayalan belaka (Fiksi). Menyamakan Kitab Suci dengan Fiksi sama dengan menyamakan kitab suci dengan Novel yang juga merupakan karya fiksi.
RG sebenarnya tidak punya kompetensi untuk tetap ngotot mendefinisikan kata fiksi dalam konteks religius apalagi menyangkut kitab suci yang sangat disakralkan umatnya.
Rocky tidak punya keterampilan menggunakan diksi yang tepat dan orangnya tidak berhat-berhati dalam bertutur (Prudent). Lagi pula latar belakang ilmunya bukan ilmu bahasa (Linguistik) atau Sosiologi Bahasa (Sosiolinguistik).
Tadi sore akhirnya Rocky telah dilapor ke Polisi atas dugaan penistaan agama-agama yang diakui di Indonesia. Pelaporan itu dilakukan oleh Ketua Cyber Indonesia, Permadi Arya yang datang didampingi Sekjen Cyber Indonesia Jack Boyd Lapian.
Ada sebahagian netizen yang menduga bahwa dari statemen dan argumentasi kebablasan dari Rocky tentang makna fiksi telah menunjukkan bahwa Rocky ingin membuat justifikasi bahwa kata imajinasi mengandung makna yang positif.
Juga kelihatan dgn jelas bahwa dengan memaknai kata fiksi di forum ILC, si RG kelihatan ingin membela kubu yg mengagung-agungkan makna kata fiksi sebagai daya khayalan dan imajinasi untuk meramal sesuatu termasuk meramal Indonesia bubar tahun 2030.
Penulis: Kolumnis Independen dan Akademisi UNTAD

ZAMAN ANOMALY DI TAHUN POLITIK


Oleh: Mochtar Marhum
Banyak yang mungkin telah lama terbius dengan penampilan spektakuler narasumber di ruang-ruang publik walaupun status profesi kepakarannya diduga fiktif.
Memiliki kepiawaian bersilat lidah dan mampu menghipnotis kelompok partisan dengan untaian argumentasi filosofi dan politik yang sangat menggoda, tajam dan pedas. Bahkan mungkin telah mampu menampar wajah lawan-lawan politik di depan umum sehingga mereka menunduk malu.
Apa yg disampaikannya, di mata fansnya sangat berkesan dan hebat yang seolah-olah sempurna, zero dosa dan minim potensi konflik.
Figur yang diidolakan tersebut dianggap selalu mampu menohok lawan-lawan politik yang seola-olah tanpa belas kasihan.
Semua kelompok yang bersebrangan dianggap seakan-akan berstatus sebagai musuh babuyutan yang harus ditundukkan melalui argumentasi yang politis dan filosofis.
Walaupun argumentasinya mengandung content ujaran yg mungkin jauh dari kebenaran, kepentingan politik tetap jadi prioritas nomor wahid. Meski kelihatan tidak punya keseimbangan bertutur tapi yang penting sikap partisan yg dimilikinya tetap istiqoma dan tidak pernah bergeming.
Nampaknya selalu ingin membela yg diinginkan walaupun pada akhirnya ketahuan terdapat kekeliruan dan kesalahan fatal akibat tidak tepat menggunakan diksi dan tidak prudent dalam bertutur.
Zaman now terkadang kualifikasi dan kompetenasi seakan-akan hanya aksesoris yang tidak compatible dengan selera kelompok tertentu dan menurut mereka mungkin lebih tepat ditempatkan dalam etalase atau bisa dijadikan hiasan dinding.
Kelihatan yang lebih dipentingkan terutama kemampuan menyampaikan ujaran yg bisa membela kelompoknya dan sekaligus mampu selalu menohok dan memojokkan lawan politik hingga bisa nyaris KO.
Kelihatan mungkin biar preman yg tdk berpendidikan akan menjadi idola yang penting mampu mengkritisi lawan politik yg sangat tidak diinginkannya.
Idola itu mungkin akan kelihatan jauh lebih dipercaya dan diapresiasi ketimbang pakar yg ahli dalam bidangnya tapi enggan memberikan kritikan yang pedas kepada lawan politik hingga mampu memukulnya mundur.
Zaman now zaman anomaly (aneh) di mana orang dgn mudah dan tanpa merasa bersalah bisa secara terang-terangan membalikkan fakta.
Ketika teknologi yg canggih dan kemampuan sumber daya mampu menangani masalah kasus perkara yang lagi rentan, mereka justru tetap membela dan membuat justifikasi atau pembenaran yang terkesan dipaksakan.
Anehnya lagi terkadang suatu kesalahan dan kekeliruan bisa diterima sebagai suatu kebenaran yg seolah-olah tidak dipaksakan.
Sebaliknya suatu kebenaran bisa dianggap sebagai suatu kesalahan atau bahkan ditolak tanpa merasa menyesal karena kebenaran tersebut dianggap tidak sesuai dgn keinginan dan cita-cita mereka.
Di tahun politik, sering terjadi anomaly. Peta politik bisa sja dengan enteng berubah-rubah seiring waktu, mengikuti irama dan lantunan musik elit politik serta kepentingannya masing-masing.
Penulis: Kolumnis Independen dan Akademisi

ANTARA TOKOH POLITIK, TOKO DAGANG DAN ISU SARA


Oleh Mochtar Marhum
Orang yang bijak, cerdas, religius dan sangat mencintai negeri ini setiap bertutur pasti sangat berhati-hati. Selalu memilih kata-kata yang tepat (Diksi) dan selalu prudent yaitu sangat berhat-hati setiap mengartikulasikan ide dan argumentasinya.

Jadilah tokoh politik, toko bangsa dan tokoh agama yang baik yaitu selalu menciptakan suasana yang sejuk dan harmonis walaupun saat ini telah memasuki tahun politik dan susana suhu politik semakin meningkat dan sering menimbulkan ketegangan dan riak-riak.

Beda Tokoh Politik dan Toko Dagang. Kalau tokoh politik mengandalkan modal sosial dan toko dagang mengandalkan modal finansial.

Tokoh politik sering mengharapkan keuntungan politik (political benefit) dan menghindari kebuntungan politik (Political loss). Sebaliknya toko dagang mengharapkan keuntungan finansial (Financial profit) dan selalu menghindari kerugian komersial (Bussines loss).

Idealnya tokoh politik dan toko dagang tidak mengeksploitasi tahun politik untuk memperoleh keuntungan yang merugikan bangsa ini.

Toko politik mungkin ada yang menjual wacana pergantian rezim tahun 2019 dan toko dagang mungkin ada yang menjual kaus bertuliskan "2019 Ganti Presiden" dan semua itu merupakan hak semua pihak dan dijamin oleh Undang-Undang apalagi di negara demokrasi semua warga negara berhak mengeluarkan pendapat politik yg diinginkan dan sekaligus berhak meraup pendapatan komersil yang diharapkan.

Beda dengan di negara sistem totalitarian dan sebagian di negara dgn sistem Monarki Absolut atau feodal. Di mana rakyat sering sulit mengeluarkan pendapat dan juga sangat sering sulit merauf pendapatan.

Mengeluarkan pendapat yg terindikasi mengandung content atau ujaran yg menyinggung pemerintah bisa dibui dan sadisnya lagi sering tanpa melalui due process of law yang fair.

Di negara yg disebut di atas tadi, bisnis dikuasai oleh royal family alias keturunan dara biru dan di negara sistem totalitarian hanya elit politik di inner cyrcle yang menikmati kesejahteraan plus. Rakya jelita lebih nyaman hidupnya dibandingkan rakyat jelata.

Zaman now di tahun politik nampak dengan jelas ada indikasi upaya penggiringan Sentimen Agama dan upaya memainkan isus SARA. Menarik isu SARA dan Sentimen agama ke ruang publik sama dengan memantik api provokasi dan agitasi untuk memancing timbulnya benih-benih hostility (permusuhan) di masyarakat.

Isu SARA dan dugaan penggiringan sentimen agama di tahun politik menjadi alat propaganda dan komoditas politik yg paling laris tapi akibat atau resiko yg ditimbulkan bisa sangat-sangat berbahaya.
Harus diwaspadai karena Isu SARA dan Sentimen Agama tidak hanya bisa mencedrai prinsip Demokrasi tapi juga dampaknya tentu sangat berbahaya dan merugikan semua pihak karena bisa berpotensi memecah belah persatuan bangsa dan atau bahkan bisa berpotensi membawa ancaman disintegrasi bangsa.

Idealnya politisi dan simpatisannya lebih dominan hanya mengemukakan kelebihan dan potensi yg dimiliki pemimpin yg idolakan dan menghindari isu SARA dan Sentimen agama di ruang publik.
Mau memperkenalkan kepada khalayak luas semua prestasi dan program kerja yang ideal dari pemimpin yang diidolaknnya.

Juga selalu mau menerima kritikan yang konstruktif, inovatif dan inspiratif tapi bukan hujatan dan fitnah yang merugikan kubuh lawan politik.

Penulis: Kolumnis dan Akademisi

Selasa, 03 April 2018

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF GLOBAL DAN REGIONAL


Oleh Mochtar Marhum
Agama itu suci (Sakral) dan agama harus dijaga dan dihormati oleh semua umat. Sebaliinya Politik itu sifatnya profan dan berkonotasi duniawi (sekuler).
Di negara-negara Barat yang menerapkan Demokrasi Liberal pada umumnya memisahkan ruang publik dengan ruang privat misalnya termasuk dalam hal isu agama dan politik, terutama dalam konteks praktek kehidupan sosial dan politik. Di negara yang dijuluki Sekuler, Liberal dan individualistis itu telah lama memisahkan isu politik dan agama.
Namun, kenyataan dalam prakteknya masih juga terdapat negara-negara barat yang bahkan sekelas negara Champion Demokrasi seperti Amerika, beberapa negara Uni Eropa termasuk Belanda dan Jerman dalam hal tertentu di konteks politik praktis terbukti masih tetap membawa isu agama ke ruang publik.
Di barat anak-anak sejak dini diajarkan pendidikan nilai (value education) dan dibiasakan untuk jujur dan bersikap adil serta menghormati perbedaan. Praktek kantin kejujuran yang pernah dikampanyekan oleh KPK, telah lama berhasil dipraktekkan di negara-negara Demokrasi Barat.
Menghormati anak-anak, orang difabel (Orang Cacat), orang-orang tua jompo dan ibu-ibu hamil di tempat-tempat umum dan transport publik sering jadi pemandangan yang mengesankan. Anak-anak di sana sejak usia dini dilatih hidup mandiri misalnya sejak Balita mulai diajarkan mandiri seperti makan sendiri dan memakai Sepatu mereka sendiri. Setelah tamat SMP dan masuk SMA pada umumnya anak-anak sudah pisah dengan orang tuanya dan pergi tinggal di rumah kos tapi mereka biasa juga hidup bersama pacarnya.
Anak-anak mencari pekerjaan sendiri dan membiayai hidupnya sendiri. Ketika kuliah, mereka justru jauh lebih mandiri lagi. Bekerja dan membiayai hidupnya masing-masing atau mengikuti program student loan sambil bekerja part-time atau Casual work. Setelah selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan tetap, mereka membayar utang atau pinjamannya.
Sebaliknya di masyarakat timur pada umumnya agak berbeda karena terkadang hal-hal yang privat di negara barat justru di masyarakat timur sering bisa dibawa ke ruang publik dan demikian juga hal-hal yang sifatnya publik di negara barat terkadang di timur bisa dimasukkan ke dalam wilayah privat. Masyarakat timur pada umumnya agamis, humble dan cenderung menerapkan praktek kehidupan sosial yang menonjolkan sifat colectivism.
Di masyarakat, timur anak-anak diajarkan mata pelajaran agama dan doktrin ideologi negaranya masing-masing seperti di Indonesia diajarkan Agama dan Pancasila dulu dan kini mulai dihidupkan kembali. Di Tiongkok, Korea Utara dan Vietnam Utara diajarkan Doktrin Ideologi Komunis walaupun paham komunis dalam tiga dekade belakangan ini mulai pudar popularitasnya dan mulai dianggap kurang compatible lagi dengan kondisi zaman now. Di timur anak-anak diajarkan menghormati orang yang lebih tua, berprilaku sopan dan santun.
Politik terkadang licik dan kotor (Decay Politics) terutama jika peran politik disalah tafsirkan dan disalahgunakan oleh politisi oportunist dan pendukungnya atau simpatisannya. Sebaliknya agama yang dibawa ke ruang publik dianggap baik seperti kegiatan muamalah yang tentu harus jujur dan adil dan mampu memenuhi kebutuhan dan keingan umat. Kini di Indonesia ekonomi Syariah mulai berkembang melalui bisnis perbankan Syariah dan Bisnis Lembaga Keungan lainnya. Membawa isu agama ke ruang publik bisa rawan memicu konflik terutama jika terjadi exploitasi dan politisasi agama.
Jika politik dipraktekkan dengan benar sesuai prinsip-prinsip Demokrasi, bisa menjadikan masyarakat makmur dan negaranya bisa masuk ketegori negara sejahtera (Welfare State) karena di negara makmur pada umumnya mampu menerapkan prinsip masyarakat terbuka (Open Society), toleran dan egaliterian seperti lazimnya dipraktekkan di negara yang menganut Demokrasi dan mampu menerapkan Demokrasi Substantif dan Demokrasi Prosedural dengan baik. Pemerintah selalu selalu memperhatikan jaminan sosial warga negaranya (Social Security).
Negara-negara Demokrasi pada umumnya mampu secara efektif menegakkan hukum (Law Enforcement) dengan baik dan mengutamakan tujuan dari penerapan hukum yaitu azas keadilan, azas kepastian hukum dan azas mamfaat. Pada umumnya rakyat takut melanggar hukum karena selalu penerapan hukum tanpa pandang bulu dan sangat tegas sehingga sering dapat menimbulkan efek jerah.
Kasus kejahatan luar biasa (Extra Ordinari Crime) seperti kasus Korupsi termasuk kasus pencucian uang (money laundering) yang dapat memiskinkan negara, kasus pelanggaran HAM yang dapat merendahkan derajat kemanusiaan, tragedi kemanusian seperti kasus kekerasan dan kesewenang-wenangan yang sangat tidak menghormati nilai-nilai kemanusian, di negara-negara maju tersebut pada umumnya relatif dapat ditangani dengan baik. Dan kenyataannya negara sejahtera dan damai bisa menjalankan roda pembangunan dengan baik dan lancar karena negaranya stabil dan masyarakatnya pada umumnya sejahtera dan relatif damai.
Namun, dari perspektif kultur dan adab ketimuran negara-negara Demokrasi di Barat ( Western World) dan negara-negara makmur pada umumnya sering mendapat kritikan yang pedas dan keras serta sorotan yang tajam dari masyarakat timur yang selalu mengkritisi beberapa hal antara lain seperti negara yang menganut Demokrasi Liberal telah melegalkan praktek LGBT (Lesbian, Gay, Bisex and Transgender) termasuk melegalkan pernikahan sejenis melalui UU yang dibuat Parlemen negara-negara tersebut. Selain itu, dari perspektif masaalah sosial, tingkat kasus bunuh diri sangat tinggi, maraknya penggunaan narkoba, prostitusi dan perjudian juga dilegalkan karena bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara (revenue generating).
Tinggal serumah alias kumpul kebo, maaf meminjam istilah lawas, sudah lazim dipraktekkan di negara Demokrasi Liberal. Kehidupan sex bebas dipraktekkan di negara-negara tersebut karena berdasarkan prinsip HAM antara lain yaitu sex without consent is a crime dan makna tersbut dibalik yaitu tidak ada pasal kejahatan bagi mereka yang berhubungan sex asal suka sama suka tapi dengan catatan harus di atas umur 18 tahun. Namun, sebaliknya berhubungan sex dengan anak di bawa umur 18 tahun bisa dikenakan pasal pidana yaitu bisa dianggap melakukan perbuatan Molesting (mencabuli anak di bawa umur).
Masyarakat di negara-negara Demokrasi sering bangga mengklaim bahwa tingkat kasus pemerkosaan di negaranya rendah jika dibandingkan di negara-negara yang budayanya tertutup dan sangat konservatif. Namun, mungkin mereka juga tidak menyadari bahwa secara ironis dan sangat simplistik bisa diartikulasikan bahwa kenapa tingkat pemerkosaan di sana rendah? Mungkin karena kehidupan yang bebas dan keseringan masyarakat menyaksikan busana transparan yang minim bin tipis dan terbuka sehingga banyak yang mengatakan dengan dialek lokal yaitu mereka sudah bosan lihat ubi kupas yang lalulalang di jalanan atau di tempat-tempat umum..hehehehehe...
Kita dapat menyaksikan kenyataan dan secara global, dapat dibuktikan saat ini bahwa pada umumnya negara yang makmur, sejahtera dan relatif damai pada umumnya bisa dikategorikan sebagai negara yang Zero Conflict dan tingkat toleransinya tinggi dan pada umumnya terdapat di negara-negara Demokrasi Liberal seperti di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan New Zealand serta Negara Sosial Demokrasi seperti di Eropa Timur atau sebagian negara ex-komunis.
Jepang, Korea Selatan dan Singapura juga termasuk negara Demorasi dan telah menjadi masyarakat terbuka dan termasuk negara makmur. Lagi pula beberapa negara di Kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara yang berpenduduk majoritas Muslim juga kini telah jadi negara yang relatif aman dan makmur seperti Bahrain, Kuwait, Dubai, jordania, Oman, Malyasia dan Brunei Darusalam. Negara-negara tersebut identik dengan Wajah Keislamannya yang sebenarnya. Mereka juga sebenarnya enggan mengakui sebagai negara Demokrasi walaupun pada kenyataannya di negara-negara tersebut masyarakatnya juga telah menerapkan prinsip Demokrasi Substantif yaitu masyarakatnya mulai relatif lebih terbuka, toleran serta menghormati perbedaan. Namun, kebanyakan negara-neagara tersebut dalam praktek sebenarnya menerapkan hukum Islam (Syaria Law).
Brunei Darusaalam sendiri bahkan mendapat sorotan dan tanggapan serius dari negara-negara Barat terutama akhir-akhir ini ketika satu-satunya negera kerajaan Monarki Absolut di ujung utara Pulau Kalimantan itu mengumumkan penerapan Hukum Islam (Syariah Law) dan akan menghukum LGBT. Malasyia sebagai negara Kerajaan Monarki Konstitusional dan merupakan salah satu negeri serumpun yang pernah jadi murid Indonesia karena dulu bnyak warganya yang menuntut ilmu di Indonesia tapi kini terbalik dan justru ada lebih banyak pelajar, mahasiswa dan tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di Malaysia. Namun, kini Malaysia selangkah lebih maju dari Indonesia dalam banyak aspek.
Sebaliknya di negara-negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga (third world) pada umumnya merupakan negara miskin dan negara sedang berkembang. Banyak yang telah menerapkan ideologi Demokrasi tapi pada umumnya baru sebatas Demokrasi Prosedural seperti ikut dalam kegiatan Pemilu, Pilres dan Pilkada. Walaupun juga di beberapa wilayah telah ada yang mampu mengimplementasikan Demokrasi Substantif seperti dalam hal menghormati umat yang berbeda keyakinan, menegakkan toleransi dan bersikaf egaliter.
Tingkat kemsikinan dan kesenjangan ekonomi di beberapa negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga (third world) cukup tinggi. Kasus kejahatan luar biasa seperti kasus korupsi, kasus pencucian uang dan kasus pelanggaran HAM serta tragedi kemanusian cukup marak terjadi. Negara-negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga banyak yang digolongkan jadi negara gagal (failed states) karena terjadi konflik kekerasan dan perang saudara yang berkepanjangan.
Pada umumnya di negara tergolong negara gagal (Failed State) pemimpinnya adalah pemimpin Dikatator yang banyak hanya memikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan, dan memikirkan bagaimana membeli alat persenjataan canggih ketimbang memenuhi subsidi, kebutuhan sembako dan jamaninan sosial termasuk menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja buat rakyatnya.
Di negara gagal tersebut banyak pemimpinnya yang naik ke singgasana kekuasaan melalui cara-cara kotor, sadis dan berdarah-darah, mereka sering melabrak undang-undang dan konstitusi negara termasuk kudeta dan pemilu curang (Vote Rigging). Di negara tersebut elit pemerintahan sering terlibat praktek KKN dan Kasus pencucian uang dan pelanggaran HAM. Lord Acton pernah katakan, "Power tend to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Praktek penegakkan hukum di lain sisi masih belum memperhatikan tujuan dan azas dari penegakkan hukum termasuk seperti azas keadilan, azas kepastian hukum dan Azas mamfaat. Azas equality before the law (Kesamaan di depan hukum) dan Azas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) terkadang hanya jadi jargon hukum (Legal Jargon) yang masih di awan-awan dan belum membumi.
Sejak zaman old sampai zaman now agama dan politik sulit dipisahkan walaupun di kebanyakan negara-negara yang telah menerapkan Demokrasi Liberal pada umumnya telah memisahkan Politik dan agama terutama dalam ruang publik yg mana isu agama hanya di bawa di ruang privat sdangkan isu politik tempatnya di ruang publik. Dan saya sudah beberapa kali dengar pertanyaan yang cukup tricky dan challanging yaitu apakah agama compatible dengan Demokrasi ?
Penulis: Kolumnis Independent

ANTARA KASUS PENIPUAN BERKEDOK AGAMA DAN KASUS PENISTAAN AGAMA BERDIMENSI POLITIK


Oleh Mochtar Marhum
Sejak zaman Old sampai Zaman Now isu agama sering menjadi polemik terutama ketika isu agama dibawa ke ruang publik.
Kasus kejahatan berkedok agama termasuk kasus penipuan dan kasus penistaan agama hampir selalu menjadi headline berita di media mainstream dan tagline di media sosial.
Kasus penistaan agama (Blasphemy) di negara yang berpenduduk majoritas Muslim di Timur Tengah, Asia Selatan dan Benua Afrika sering rentan terjadi. Kasus penistaan agama terutama sering terjadi di negara-negara yang masyarakatnya konservatif, sangat religius dan memghormati nilai-nilai agama.
Di beberapa negara Asia Selatan seperti Pakistan, Parsia (Iran) dan Timur Tengah, kasus penistaan agama hukumannya sangat berat dan demikian juga di beberapa negara di Jazirah Arab, kasus penistaan agama hukumannya juga bahkan lebih berat lagi.
Sebaliknya di negara-negara Demokrasi Liberal yang masyarakatnya Sekuler dan di negara komunis, kasus penistaan agama hampir tidak pernah kedengaran.
Di negara-negara komunis tentu pada umumnya masyarakatnya tidak punya urusan lagi dengan agama dan sebaliknya di negara-negara sekuler masyarakatnyanya makin jauh dengan kehidupan spiritual bahkan banyak yang mulai atheis dan nampaknya kehidupan materialistik jauh lebih menonjol ketimbang kehidupan spiritual.
Namun, dari perspektif sejarah masa lalu kasus penistaan agama dahulu kala di negara-negara barat seperti di Eropa Barat juga sangat sensitif dan sangsi hukuman bagi pelaku penistaan agama juga cukup berat.
Beberapa kasus kejahatan berkedok agama kelihatan lebih berdimensi isu Sosial-Ekonomi contoh kasus penipuan travel umro (First Travel, SBL dan Abu Tour), kasus korupsi Alquran, kasus Penipuan Komunitas Kanjeng Dimas dan Kasus Gatot Brajamuati yang juga pernah jadi guru spiritual di kalangan artis.
Kasus Penistaan Agama Mungkin Lebih Berdimensi Ke Isu Sosial-Politik contoh kasus Ahok saat Kampanye Pilkada DKI tahun lalu yang kini Ahok telah divonis Penjara dan yang lagi hangat disoroti media dan jadi polemik saat ini yaitu kasus Puisi Sukmawati yang diduga mengandung unsur penistaan agama.
Dua kasus tersebut mungkin kelihatan sangat sexy dan sensitif. Dikatakan sexy karena laris jadi bahan berita di media dan dikatakan sensitif karena merupakan isu SARA yang bisa berpotensi memicu konflik sosial.
Isu agama masih jadi isu yang paling laris dan telah jadi trending topik yang paling genit di media sosial dan media mainstream.
Di mata orang bijak dan orang baik, isu agama tidak akan dikembangkan menjadi isu yang provokatif dan agitatif apalagi di tahun politik yang sering mudah terjadi kerawanan sosial.
Masih banyak orang yang belum trampil menggunakan kata-kata yang tepat dalam bertutur baik secara lisan maupun tulisan terutama dalam kalimat dan phrase (Diction) dan masih banyak yang belum mampu berhati-hati menggunakan kata-kata dalam bertutur (PRUDENT).
Di luar niat dalam mengartikulasikan gagasan atau pendapat seseorang, dari perspektif linguistik, kasus penistaan agama dan fitnah mungkin bisa jadi disebabkan juga oleh persoalan Diksi (Diction) dan Prudent.
Di mata orang terpelajar dan intelektual isu agama dapat dipahami dan bisa dijadikan pengalaman dan pelajaran penting kepada masyarakat agar lebih berhati-hati.
Namun, semua kasus yang telah terindikasi merupakan pelanggaran hukum haruslah diserahkan kepada pihak penegak hukum untuk selanjutnya diprocess (due process of law). Nanti Pengadilan yang akan memutuskan apakah seseorang itu bersalah (Guilty) atau tidak bersalah (Innocent) berdasarkan sejumlah bukti, fakta dan kesaksian di pengadilan nati.
Yang jadi pertanyaan penting saat ini ialah apakah ada yg mungkin ingin menjadikan kedua kasus tersebut sebagai komoditas politik dan alat propaganda di tahun politik ?.
Penulis: Kolumnis Independent dan Akademisi UNTAD