Sabtu, 13 September 2014

POLEMIK PEMILUKADA LANGSUNG VS PEMILUKADA TIDAK LANGSUNG

Oleh: Mochtar Marhum

Menyusul penolakan RUU MD3, penolakan RUU Pemilukada tidak langsung kini telah menimbulkan polemik dan kontroversi. Ironisnya bulan Mei lalu Majoritas Politisi Parpol di Parlemen mendukung Pemilukada langsung dan sebaliknya menentang wacana Pemilukada tidak langsung. Namun, pasca PILPRES 2014, peta politik berubah dan majoritas Politisi Parpol beralih mendukung RUU Pemilukada di DPRD. Oleh sejumlah pakar mengatakan Demokrasi dan Reformasi pasca tumbangnya rezim Orde Baru telah dibajak oleh kepentingan elit-elit yang berpikir sangat pragamatis dan kelihatan hanya mementingkan kepentingan sesaat tapi sering mengabaikan kepentingan rakyat.

Akhir-akhir ini sejumlah Kepala Daerah berprestasi dengan tegas menolak RUU Pemilukada tidak langsung dan demikian juga sejumlah organisasi, aktivist, akademisi, pakar dan Politisi Parpol pendukung Jokowi-JK dengan tegas menolak RUU Pemilukada DPRD yang rencananya akan disahkan tanggal 25 September.

Pemilihan tidak langsung kelihatan hanya berdasarkan kepentingan Elit Parpol (Sangat Ekslusif). Pemilihan langsung tentu didasarkan pada kepentingan rakyat jelata, rakyat jelita dan semua elit (Sangat Inklusif). Mahalnya biaya pemilihan langsung dan potensi konflik sosial yang ditimbulkan oleh praktek pemilukada langsung selama ini sebenarnya bisa dicarikan solusinya misalnya melalui pemilihan kepala daerah serentak dan perbaikan manajemen elektoral.

Harus diakui bahwa pemilihan langsung telah melahirkan sejumlah kepala daerah berprestasi dan berkualitas seperti Walikota Surabya, Walikota Bandung, Walikota Bogor, Walikota Solo, Walikota Makassar, Walikota Palu, Bupati Bantaeng, Bupati Belitung Timur, Gubernur Sulawesi Tengah, Gubernur Sulawesi Selatan, Gubernur Sulawesi Utara, Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Sumatra Utara dan masih banyak lagi kepala-kepala daerah berkualitas dan berprestasi yang terpilih melalui pemilihan langsung kepala daerah (Pemilukada Langsung).

Namun, harus juga diakui bahwa Pemilukada langsung juga masih memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan dari Pemilukada langsung itu
mungkin akibat relatif masih lemahnya sistem pengawasan, masih relatif kurangnya tindakan pencegahan dan lemahnya penindakan hukum dan tentu juga karena hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi selama ini belum menimbulkan efek jerah sehingga tetap membuka peluang terjadinya kasus korupsi dari waktu ke waktu.

Pemilihan tidak langsung merupkan langkah mundur yang dilatarbelakngi oleh paradigma Orde baru. Pemilukada tidak langsung akan menghidupkan Neo-Orde Baru dan akan mengubur wacana dan cita-cita Indonesia Baru yang ingin memberangus segala bentuk praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang pernah marak di Era Orde Baru dan Orde Reformasi. Dan oleh sejumlah akademisi, pakar dan aktivis berspekulasi mengatakan bahwa RUU Pemilukada tidak langsung mungkin dilatarbelakangi motif poitik balas dendam yang akan mengabaikan kedaulatan dan kepentingan rakyat. Banyak masyarak yang berkesimpulan bahwa Pemilihan tidak langsung kelihatan hanya mengutamakan kepentingan sesaat yang sesat jika gagal. Juga banyak pakar yang berpendapat bahwa pemilihan tidak langsung akan mengabaikan hak konstitusional wong cilik tapi sebaliknya mungkin hanya mengutamakan kepentingan wong licik.

Salam Demokrasi

Penulis: Akademisi, Aktivis Media Sosial Konsen dgn Isu Sosial-Humaniora