Kamis, 04 Januari 2018

POLITISASI AGAMA - ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Kalau ingin terjun ke dunia politik praktis harus masuk jadi kader parpol atau dirikan saja parpol dan bukan jadi kader parlemen jalanan yang bekoar-koar dan berada di luar sistem, suka bercuap-cuap di luar sistem, kader dan elitnya sering suka mencaci maki pemerintah.

Kalau ingin agama dibawa ke rana politik praktis, ya terserah mungkin saja itu benar menurut pendapat kalian dan tentu merupakan hak konstitusi setiap warga negara dan telah diatur oleh Undang-Undang.
Jadi mungkin jauh lebih baik daftar saja gerakan atau organisasinya jadi Parpol supaya bisa masuk dalam sistem menurut perspektif Demokrasi Prosedural.

Namun, harus disadari bahwa fakta sejarah telah membuktikan ada sejumlah Parpol yang dulu ekslusif dan berafiliasi agama tapi kini telah bermetamorfosa dan berubah menjadi Parpol yang inklusif dan lebih nasionalis.

Hampir semua Parpol yang berafialiasi agama kenyataannya memiliki tingkat elektabilitas dan akseptabilitas relatif rendah atau mungkin rakyat semakin cerdas dan kritis dan mereka tidak ingin mengotori agama yang suci dan sakral dan sangat dihormati dan dicintai penganutnya tidak boleh dikotori oleh politik praktis yg terkadang licik, kotor (Political Decay) dan terkadang penuh tipu daya.

Ada sejumlah Parpol yang berafiliasi agama dan memiliki tingkat elektabilitas di bawa rata-rata Parpol yang non-afiliasi agama. Bahkan ada juga Parpol yang berafiliasi agama tapi gagal mengantarkan kader-kadernya masuk parlemen Senayan. Ironisnya ketua umumnya suka mengkritisi kinerja Presiden Jokowi tapi dia mungkin selalu menutup mata atas kelemahan kinerjanya sendiri yang telah gagal memimpin partainya sehingga kader-kader Parpol tersebut gagal masuk parlemen Senayan.

Bayangkan baru memimpin partai saja sudah gagal apalagi mau mau memimpin negeri ini. Kalu gitu ngaca dulu donk.

Penulis: Pemerhati Masalah Sosial Humaniora dan Ketua DPD Forum Dosen Indonesia Sulawesi Tengah

ANTARA PEMIMPIN GLOBAL ZAMAN EDAN DAN PEMIMPIN LOKAL ZAMAN NOW

Pemimpin Global Zaman now beda dengan Pejuang Lokal Zaman Old. Pempin Global zaman now sering membuat masyarakat dunia bingung dan khawatir akan masalah stabilitas keamanan dunia. Dan fenomena aneh ini telah dipertontonkan oleh Donald Trump dan juga sejumlah pemimpin lokal di Indonesia.

Akhir-akhir ini media banyak menyoroti keputusan sepihak (unilateral decision) Presiden Amerika, Donald Trump, yang mengakui Yerusalem menjadi ibu kota Israel akibatnya berujung pada aksi penolakan besar-besaran dan unjuk rasa massif menentang keputusan sepihak tersebut oleh masyarakat di Timur Tengah dan masyarakat luas di Negara-negara berpenduduk majoritas Muslim.

Selama masa kampanye capres Amerika yang lalu, sejumlah komentar masyarakat dunia dan warga negara Amerika di sejumlah media mainstream asing menyangkut pencapresan Donald Trump kedengaran sangat pedas dan kritis. Banyak dari mereka yang menyebutkan bahwa Donald Trump adalah seorang pemimpin yang tidak waras, rasist dan suka pencitraan. Ada juga sejumlah wanita yang mengaku pernah menjadi korban pelecehan sex oleh Donald Trump.

Potensi gangguan keamanan dan ancaman stabilitas politik di Timur Tengah bisa meningkat pasca keputusan sepihak Donald Trump.

Telah lama diakui oleh PBB dan masyarakat dunia bahwa kota Suci Yerusalem telah memiliki Status Quo dan diakui oleh tiga agama besar di sana yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Beberapa media mainstream asing menyebutkan bahwa Keputusan Trump mengakui Jerusalem menjadi ibukota Israel itu ironisnya justru terjadi pasca kunjungan Presiden Trump ke Kerajaan Arab Saudi beberapa bulan yang lalu.

Hampir bersamaan waktunya pada level isu Lokal, Bupati Tolitoli, Moh. Saleh Bantilan, mengeluarkan wacana penggantian nama lapangan Haji Hayun di Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah menjadi Bantilan. Yang akan dilaunching bersamaan perayaan HUT Kabupaten Tolitoli. Dr. H. (HC) Moh. Saleh Bantilan, SH. MH., merupakan salah seorang kepala daerah yang berasal dari keturunan bangsawan Tolitoli. Ayahnya, H. Anwar Bantilan, Raja Tolitoli. H. Moh Saleh Bantilan akan dilantik menjadi Raja Tolitoli bersamaan perayaan HUT Kabupaten Tolitoli yang puncak acaranya berlangsung dalam mnggu ini.

Keputusan sepihak yang kontroversial telah menimbulkan polemik, debat ilmiah dan bahkan debat kusir yang berkepanjangan. Aksi demonstrasi masyarakat Salumpaga dan sejumlah aktivist sosial menentang penggantian nama Lapangan Hi. Hayun mendapat perhatian luas dan menjadi viral di sejumlah grup media sosial.

Sebahagian besar politisi di Parlemen Tolitoli bahkan mendukung perjuangan rakyat Salumpaga dan masyarakat penentang perubahan nama lapangan Hi. Hayun. Bahkan sikap heroik dan patriotis ketua DPRD telah menarik perhatian. Bung Ali, Ketua DPRD Tolitoli membuat statemen yang menarik yaitu beliau akan mempertaruhkan jabatannya untuk memperjuangkan tuntutan rakyat agar nama lapangan Hi. Hayun tidak dirubah oleh penguasa.

Fakta sejarah membuktikan bahwa nama lapangan Hi. Hayun telah lama menjadi salah satu icon kota Tolitoli dan telah lama melegenda karena Hi. Hayun adalah simbol pejuang melawan keseweng-wenangan dan sikap resistensi terhadap bentuk penindasan penjajah dan antek-anteknya di zaman itu.

Prinsip Demokrasi adalah bentuk pengakuan (recognation) yang bersifat top-down dari penguasa tapi juga bersamaan merupakan pengakuan dari masyarakat (Bottom-Up). Dan nama lapangan Haji Hayun diberi nama dengan cara yang lebih Demokratis dan bukan dalam bentuk keputusan sepihak (unilateral) yang sangat tidak demokratis dan melukai hati rakyat dan keluarga pejuang.

Kini yang jadi pertanyaan: Seandainya ada pemimpin yg memiliki karakter seperti Donald Trump dan terpilih menjadi Bupati Tolitoli di masa yg akan datang, akankah dia buat wacana pemindahan ibukota Tolitoli ? dan juga akankah dia mengganti nama jembatan Cukoi yang telah lama melegenda dan menjadi icon sejarah kota Tolitoli, misalnya menjadi nama Jembatan Donald Bebek ?....😄🙏😙

Penulis: Ketua DPD Forum Dosen Indonesia Sulawesi Tengah

ANTARA TRUMP DAN TRUMPET (Catatan Kecilku di Malam Hari)


Jelang Malam Tahun Baru kemungkinan masyarakat dunia masih ribut mempermasalahkan isu kontroversial Keputusan sepihak President Trump dan tentu juga malam tahun baru masih akan ada ribut-ribut dgn bunyi-bunyi...Trumpet...yg akan menandai malam perpisahan tahun.

Resolusi tahun 2018 berharap Semoga Tahun depan akan ada solusi terbaik Untuk masalah isu pemindahan ibukota Israel ke Jerusalem/Alquds.

Semoga Doa umat Muslim seluruh dunia dan tekanan masyarakat dunia yg cinta damai akan membatalkan keputusan kontroversial Trump.

Semoga Trump dan sekutunya akan tetap ingat pentingnya masa depan perdamaian umat agama-agama samawi di Palestine, Alquds/Jerusalem.

Semoga trump tidak tuli dan bisa mendengar bunyi-bunyi Trumpet malam tahun baru dan semoga bunyi trumpet bisa menyadarkan President Trump akan pentingnya hidup rukun dan damai di atas planet bumi yang semakin tua ini dan kelak akan menyongsong akhir Zaman.

Ingat di atas langit masih ada langit. Dan kelak tiba saatnya nanti, tentu Trumpet Sangkakala akan jauh lebih dasyat dari pada Trump punya power.

MEMAHAMI DEMOKRASI DAN TRIAS POLITIKA

Di negara yg menganut sistem Demokrasi termasuk Indonesia, semua orang selayaknya memahami dan menghormati Independensi dan Tupoksi masing-masing lembaga kenegaraan terutama dalam konteks Trias Politika dalam hal ini termasuk Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.

Pada umumnya Rancangan Undang-undang dibahas bersama eksekutif dan Legislatif dan terkadang juga dibutuhkan masukan dari masyarakat melalui proses Bottom up Policy.

Hampir semua produk Hukum/Undang-undang dibuat oleh lembaga Legislatif sebagai satu-satunya lembaga negara yg punya tugas pokok dan fungsi pembuat undang-undang (Law Making/Fungsi Legislasi). Jadi Hukum dan UU dibuat dan disahkan oleh DPR.

Mahkamah Konstitusi punya wewenang meninjau kembali atau mereview Produk Hukum (Law) jika ada yang menghendaki Judicial Review
Jika ada yg menyalahkan eksekutif menyangkut produk hukum dan Undang-undang serta masalah Judicial review, mungkin mereka salah alamat kali ????.

Namun, tentu masih butuh penjelasan dan pencerahan lebih lanjut dari teman-teman pakar Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik.