Rabu, 18 Mei 2011

DEMOKRASI PROSEDURAL RASIONAL


Kalu saya memilih dalam Pilkada, misalnya, yach yang jelas saya akan pilih kandidat yang terbaik beradasarkan rasionalitas program yang mereka tawarkan bukan berdasarkan etnis atau asal daerah yang mereka tonjolkan.

berkaitan dengan tulisan saya yang terkait dulu sebelumnya sebenarnya saya hanya bermaksud menyoroti dan mengomentari suhu politik nasional menjelang PILPRES 09 nanti di mana sekarang ini wacana konstituen rasional versus konstituen emosional nampaknya sudah mulai mengkristal.

Hal yg sama juga mungkin sudah terrefleksi pada PILEG (Pemilu Legislatif) yang lalu di mana saya sempat berspekulasi dengan membuat statement bahwa dekalarasi Yusuf Kalla sebagai Capres telah membuat sebahagian simpatisan Golkar yang mungkin berasal dari etnis dominant di Jawa mengalihkan suaranya ke Partai lain selain GOlkar seperti Demokrat, Hanura atau Garindra dll. Konstituen yg punya ikatan emosional etnis seperti ini misalnya mungkin tdk menginginkan  partai yag dipimpin oleh orang dari luar Jawa berpeluang memenangkan Pemilu legislative dan selanjutnya mengantarkan Yusuf Kalla yang nota bene dari etnis non-jawa berpeluang meraih kursi RI.1.

Dalam wacana diskusi milist ini saya tetap mengidolakan konstituen nasionalis yang rasional yang punya paham kebangsaan yang luas, seperti di negara demokrasi yang menonjolkan demokrasi susbtantif di mana praktek demokrasi substantif telah menghapus diskriminasi dan dikotomi etnis. Contoh kasus terbaru adalah terplihnya Barrack Husain Obama menjadi periden.

Obama hanyalah putra dari seorang mahasiswa asing berkulit hitam dari Kenya Afrika dan sempat bersekolah di Amerika dan kecantol seorang wanita kulit putih Amerika yg cerdas yang berasal dari negara bahagian terjauh Amerika (Hawaii). Anyway, sekarang isu terpilihnya Obama menjadi presiden telah menjadi fenomenal dan menjadi refernsi pemilihan kepala permintahan di negara-negara yang menganut paham demokrasi termasuk Indonesia di mana Obama pernah tinggal bersama ibunya dan bapak tirinya Lolo Sutoro.

Dalam konteks politik Global, Obama telah berhasil terpilih menjadi presiden Amerika ke 44 mengalahkan John Mckain berpasangan dengan Sarah Palin dari partai berkuasa, Partai Republic (the ruling party) dan kandidat pesaing Obama ini berasal dari dari ras atau etnis yang sangat dominant di Amerika (US). Paham demokrasi substantive telah menghapus sekat-sekat ras dan etnis. Konstituen rasional Amerika memilih Obama berdasarkan pertimbangan rasional dengan memeperhatikan platform partai, visi dan misi serta program yang ditawarakan Obama yaitu perubahan (CHANGE) dan United of Amerca (AMerika Bersatu) tanpa membedakan agama, ras dan ideology politik.

Ingat dalam dua decade masa pemerintahan partai republic yang berakhir dengan kepeimpinan bush Senior dan Bush Junior, simpati masyarakat dunia berubah menjadi antipati. Amerika berhadapan dengan lawan politik dari negara-negara yang memiliki ideology politik dan agama yg berbeda. Amerika berhadapa dengan pemimpin-peminpin garis keras Islam (hardliners) dan sosialis komunis (Korea Utara dan Amerika Latin). Kini kepemimpinan Obama secara gradual telah merubah persepsi masyarkat dunia akan arogansi Amerika. Obama telah secara persuasip mendekati negara-negara yang pernah menjadi musuh babuyutan AMerika dulu, seperti Iran dan Syria. Obama telah menewarkan dialog dan perundingan menuju perdamaian dunia dan hal ini telah disambut oleh negara-negara bekas musuh bauyutan AMerika.

Kembali ke konteks pepolitikan nasional, saya kira kita tidak menginginkan seorang pemimpin nasional yang hanya berdasarkan ikatan emosional (afiliasi ikatan etnis)dan kalau ini terjadi maka suku Jawa yang nota bene menurut laporan metro jumlah pemilih berkisar 60% akan memilih capres yang berasal dari suku Jawa. Memang kita sadari bahwa demokrasi itu menuntut majoritas seperti etnis atau mashab yang dominant dipilih sebagai pemimpin seperti peraktek peroplitikan di Afganistan, syriah dan dan Irak sekarang ini.

Kalu praktek politik seperti ini berlaku di tanah air tercinta ini maka kepeimimpinan Indonesia terpecah dan potensi konflik social dan horizontal berpeluang terjadi. Saya berspekulasi Indonesia mungkin akan jadi pecah seperti terjadihnya konflik Balkan (balkanisasi) di mana Yugoslavia pecah dan terjadi perang saudara akibat politik yang berafiliasi pada ikatan emosional etnis dan agama. Demikian juga di Srilangka, politik etnis telah berlangsung selama 26 tahun dan telah mengorbankan ratusan ribu rakyat yang tak berdosa (antara entis Tamil dan Shinala). Kita semua tidak menginginkan praktek politik di Indonesia berpotensi memecah belah bangsa.

Saya kira kepemimpinan nasional ke deapan harus didasarkan pada koalisi kebangsaan dan bukan hanya politik ikatan emosional berdasarkan afiliasi etnis. Dan semoga PILPRES 2009 akan berjalan dengan damai dan kita sukses memilih pemimpin yang punya visi kebangsaan dan mampu kembali menjadikan INDONESIA RAYA serta menghapus paham sempit kebangsaan yaitu INDONESIA RAJA (Raja-raja kecil di darah yang muncul pasca dicanangkan Otonomi daerah).

Selamat menyambut PILPRES 2009, BRAVO Rakyat dan pemerintah dan Bravo INDONESIA!!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar