Minggu, 04 November 2018

REFLEKSI SEBULAN PASCA GEMPA DASYAT DI WILAYAH PALU, SIGI DAN DONGGALA


Palu, 28 Oktober 2018
Oleh Mochtar Marhum
Hari ini tanggal 28 Oktober genap sebulan peringatan terjadinya bencana maha dasyat yang melululantahkan wilayah Palu, Sigi dan Donggala (PASIGALA). Gempa bumi bermagnitudo 7.4 Skala Richter telah mengorbankan ribuan jiwa orang-orang yang kita cintai. Miliaran bahkan mungkin triliunan harta benda warga masyarakat PASIGALA hancur dan mungkin juga hilang hanya dalam hitungan menit, jam dan hari.
Bencana yang terjadi sebulan yang lalu sangat unik dan mungkin hampir tidak pernah ada kesamaan dengan bencana yang terjadi di wilayah lain bahkan di seluruh dunia. Gempa yang terjadi di wilayah PASIGALA itu bisa dianalogikan seperti penyakit Diabetes Melitus (DM) karena juga menimbulkan komplikasi.
Akibat gempa yang super dasyat itu menimbulkan Tsunami, Fenomena Likuefaksi dan Kebakaran rumah masyarakat di Kelurahan Petobo dan Kelurahan Balaroa, wilayah yang terdampak likuefaksi.
DAMPAK DARI GEMPA
Bencana alam ini juga diikuti dengan bencana sosial karena terdapat kasus penjarahan besar-besaran pada pusat pertokoan dan rumah-rumah masyarakat yang ditinggalkan pemiliknya karena mengungsi.
Di tengah suasana duka, ada kisah unik dan juga joke yang viral di media sosial. Keunikan dari gempa di Sulawesi Tengah. Antara lain ada rumah masyarakat yang terdampak likuefaksi yang amblas dan tertimbun lumpur, ada yang teraduk-aduk, tergulung dan seperti diblender kemudian ada yang muncul lagi ke permukaan bumi. Dan kemudian ada bangunan yang terseret dan pindah beberapa ratus meter dari tempat semula.
Tidak hanya bangunan berpindah tapi juga tower BTS dan banyak tanaman yang berpindah tempat termasuk pohon kelapa, pohon pisang dan tanaman jagung.
Bahkan viral anekdot yang menyebutkan bahwa beberapa onderdil mobil dan onderdil motor berpindah dari pantai yang terdampak Tsunami pindah ke grup FB Info Jual Beli Kota Palu.
Juga beberapa merek beras yang sering dijual di Swalayan Alfa Midi ditemukan berpindah ke pasar tradisional.
Yang lebih unik lagi pada umumnya dapur masyarakat berpindah dari belakang rumah ke depan rumah.
Juga akibat menyebarnya berita hoax bahwa akan ada lagi gempa yang lebih dasyat dan menyebarnya kabar palsu bahwa di banyak wilayah kota Palu telah terdapat lumpur likuefaksi sehingga semakin banyak masyarakat yang takut dan melakukan eksodus besar-besaran mengungsi keluar dari wilayah PASIGALA.
Sebaliknya dalam waktu hampir bersamaan patut diapresiasi dan diacungi jempol karena bersamaan ada ribuan relawan dan armada bantuan yang masuk ke wilayah terdampak untuk membantu meringankan beban dan duka masyarakat.
Sampai batas akhir masa tanggap darurat laporan resmi pemerintah mencatat korban meninggal 2086 jiwa, korban luka-luka 4.438, korban hilang 1075 orang, korban yang mengungsi 206.494 orang dan rumah atau bangunan lainnya yang terdampak 68.451 unit (Koran Kailipost, 27/10/2018).
Namun, dari laporan masyarakat terdampak diduga korban jiwa dan luka-luka masih jauh lebih banyak. Misalnya di tiga wilayah terdampak likuefaksi korban jiwa yang tertimbun lumpur dan belum sempat dievakuasi masih cukup banyak.
FAKTA DAN REALITA
Kota Welington di New Zealand berada di jalur Sesar Welington dan demikian juga Kota Los Angles di Negara Bagian Kalifornia Amerika Serikat berada tepat di jalur Sesar San Andreas.
Namun, masyarakat di kedua kota ini tidak menganggap Sesar Welington dan Sesar San Andreas sebagai hantu yang menakutkan dan harus ditakuti. Bahkan sejak dulu sering timbulnya gempa akibat aktivitas sesar tapi tidak pernah muncul ide dari pemerintah dan masyarakat untuk menghindari dan memindahkan kota Los Angles dan Kota Kalifornia ke tempat lain. Kedua kota ini justru terus dibangun dan dikembangkan. Tinggal diminta bagaimana masyarakat menyikapi dan mengantisipasi potensi siklus gempa jika kembali terjadi.
Indonesia berada di cekungan jalur gempa, cincin api (Ring of Fire) dikelilingi oleh daerah tapal kuda sepanjang 40.000 km dan terdapat tiga lempeng raksasa yaitu sebelah utara ada lempeng Eurosia, sebelah selatan ada lempeng Indo-Australia dan sebelah timur ada Lempeng Pasifik. Wilayah ini sering mengalami gempa tektonik dan gempa vulkanik. Menurut BMKG, dari 90 % gempa bumi dan 80% Gempa terbesar di dunia terjadi di wilayah cincin api.
Gempa bermagnitudo 7,4 di Donggala dan getarannya berdampak signifikan di wilayah Palu dan Sigi disebabkan oleh pergerakan Sesar Palu-Koro. Pergerakannya adalah sesar mendatar (slike-slip). Artinya, antara lempeng bumi satu dan lempeng bumi lain bergerak sejajar (Detiknews,28/09/2018).
Banyak pakar Geologi dunia tidak memperkirakan akan terjadi Tsunami pasca terjadinya gempa tersebut karena menurut kajian kegempaan dan tsunami, pergerakan sesar secara horizontal tidak lazim menimbulkan tsunami.
Umumnya, tsunami bisa terjadi ketika gempa berada di zona subduksi atau pertemuan dua lempeng, episentrum pada kedalaman kurang dari 70 kilometer, dan adanya gerakan sesar vertikal (Kompas, 01/08/2018).
BNPB sebut empat Likuefaksi terjadi di wilayah terdampak PASIGALA yaitu Keluarahan Balaroa Kecamatan Palu Barat, Kelurahan Petobo Kecamatan Palu Selatan, Desa Jono Oge dan Desa Sibalaya Kabupaten Sigi (Tempo, 01/10/2018). Dua kelurahan yang terdampak bencana Likuefaksi memiliki populasi pemukiman penduduk yang padat dan banyak menelan korban jiwa dan harta benda.
MITIGASI BENCANA DAN PENDIDIKAN TANGGAP BENCANA
Mengurangi resiko yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana merupakan tanggung jawab bersama tidak hanya pihak pemerintah tapi juga seluruh pihak stakeholders terkait.
Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang cara menyelamatkan diri jika terjadi gempa dan tsunami mutlak dilakukan apalagi wilayah PASIGALA berada diwilayah yang diliwati Sesar Palu Koro. Sehingga merupakan suatu kenicayaan bahwa bencana sewaktu-waktu bisa terjadi tinggal bagaiman menyikapinya.
Namun, untuk fenomena Liekufaksi mungkin belum ada satupun bentuk edukasi yang bisa diterapkan untuk mengurasngi jumlah resiko korban yang ditimbulkan oleh fenomena likuefaksi.
Kebijakan mitigasi bencana dan manajemen bencana serta penerapan PERDA Tata Ruang yang tepat mungkin lebih efektif. Dan demikian juga mutlak dibutuhkan peta rawan bencana dan peta wilayah potensi tanah likuefaksi. Wilayah yang terindikasi masuk wilayah yang mengandung tanah Liekufaksi tidak boleh dijadikan tempat pemukiman penduduk.
Sebaiknya sekolah memasukkan mata pelajaran tanggap bencana pada kurikulum muatan lokal sehingga anak-anak di wilayah yang rawan bencana telah siap dan tanggap jika terjadi bencana dan bisa membantu menyelematkan diri mereka.
Mungkin perlu belajar dari Jepang cara menghadapi bencana seperti Gempa dan Tsunami. Jepang adapah negara yang paling sering dilanda bencana Gempa dan Tsunami. Terakhir kali Jepang dilanda gempa dan tsunami pada 2011 silam. Gempa berkekuatan 9,0 magnitudo itu menimbulkan tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir timur laut negara itu. Sekitar 19.000 orang tewas dan hilang akibat peristiwa tersebut, serta menyebabkan kebocoran pembangkit tenaga nuklir Fukushima Daiichi (Kompas, 02/10/2018).
Jepang salah satu negara yang paling sering terjadi bencana gempa dan tsunami. Namun, negara ini telah lama berhasil menerapkan kurikulum pendidikan tanggap bencana (Disaster Education). Anak-anak sekolah sudah terbiasa dan tanggap pelajaran dan pelatihan tanggap bencana. Setiap bulan diadakan simulasi tanggap bencana di sekolah, kampus, instansi pemerintah dan swasta.
Semakin banyak jumlah korban yang ditimbulkan akibat bencana yang terjadi merupakan indikator kegagalan kebijakan mitigasi bencana, manajemen bencana dan pendidikan tanggap bencana.
Menyangkut manajemen bencana dalam keadaan darurat emerjensi sebaiknya SOP (Standard Operating Procedure) yang diterapkan tidak kaku misalnya penyaluran bantuan bencana tidak perlu harus menunjukkan KTP atau Kartu keluarga karena kemungkinan banyak korban Tsunami dan Likuefaksi telah kehilangan dokumen tersebut. Hal ini pernah dikeluhkan oleh beberapa warga yang terdampak bencana ketika akan mengurus penyaluran bencana, mereka merasa dipersulit dengan birokrasi dan manajemen kebencanaan yang kaku.
PERSPEKTIF TEOLOGI, KONTEKS TEKNOLOGI DAN GEOLOGI
Bencana seperti Gempa dan Tsunami dalam Islam bisa dilihat dalam AlQuran Surah Al Zalzalah Ayat 1 dan 2 secara jelas disebutkan "Apabila bumi diguncangkan dengan dasyat dan bumi mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya". Dan terkait dengan Tsunami dapat dilihat pada AlQuran Surah Al Infithar ayat 3 "Apabila Air Laut Menjadi Meluap" dan Surah At Takwiir ayat 6 "Apabila Laut Dipanaskan". Allah mengisahkan peristiwa Likuefaksi dalam Surah Al-Qashshash ayat 81
"Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri."
Pasca terjadinya bencana maha dasyat, masyarakat menjadi sadar dan lebih taat. Masjid dan rumah-rumah ibadah semakin ramai. Umat yang terdampak mungkin semakin sadar bahwa bencana yang barusan melululantahkan wilayah PASIGALA tidak bisa hanya dilihat dari perspektif Geologi dan Teknologi tapi aspek Teologi (Agama) tentu juga harus dijadikan sebagai referensi.
Sampai detik ini belum ada satupun teknologi dan ilmu kegempaan termasuk ilmu Geofisika Maupun Ilmu Geologi yang mampu menentukan secara akurat kapan akan terjadinya siklus gempa yang bermagnitudo signifikan.
Expedisi Palu Koro yang dilakukan oleh tim Peneliti dari LIPI dan BPPT dan juga hasil penelitian disertasi Doktor (S3) Mudrid Daryono telah cukup banyak melaporkan temuan aktivitas sesar Palu Koro dan Sejarah siklus gempa dan Tsunami di Wilayah PASIGALA sejak tahun 1907 sampai tahun 1968. Dan dari hasil expedisi teranyer temuan pakar Geologi tersebut telah dipublikasikan di Koran Kompas tahun 2017 dan sebaiknya menjadi early warning terkait potensi Gempa Besar yang akan terjadi di Sulawesi Tengah (PASIGALA) akibat aktivitas Sesar Palu Koro dan Siklus 100 tahunan Gempa dan Tsunami di wilayah tersebut.
Selanjutnya sejumlah pakar kegempaan dunia merasa heran bisa terjadi Tsunami dengan ketinggian mencapai lebih dari 10 meter dan membunuh banyak orang yang berada di wilayah pesisir kota Palu dan wilayah kabupaten Donggala.
Menurut analisa pakar Geologi dan Tsunami, Sesar geser atau sesar horisontal kecil kemungkinan menimbulkan Tsunami. Walaupun pada akhirnya sejumlah pakar berspekukasi bahwa Tsunami yang terjadi pada tanggal 28 September yang lalu merupakan peristiwa longsoran sedimen di dasar laut yang ditimbulkan oleh gempa bermagnitudo tinggi (Tribun News 29/09/2018).
Ajal dan bencana merupakan suatu keniscayaan yang bisa saja terjadi di mana saja dan kapan saja jika dikehendaki oleh Allah Swt sebagai maha pencipta.
Bencana dan fenomena alam yang di luar nalar ilmuwan Geologi mungkin bisa terlihat pada tragedi bencana Gempa, Tsunami dan Likuefaksi di wilayah PASIGALA.
Sejumlah saksi yang selamat menceritakan pengalaman yang menurut mereka teknologi canggih tidak akan mampu mengatasi bencana dasyat dan kompleks tersebut dan tentu penjelasan teologi (agama) mutlak dibutuhkan. Dan ini berarti bahwa ada suatu kekuatan yang bisa menggerakkan sehingga terjadinya bencana melalui fenomena alam yang baru saja kita saksikan di wilayah Palu, Sigi dan Donggala.
Tepat sebulan pasca bencana, harus dijadikan refleksi akan pentingnya bersahabat dengan Alam dan percaya dengan Allah sebagai pencipta Alam ini.
Jadikan setiap bencana bukan sebagai hantu yang menakutkan tapi sebagai pelajaran dan teguran agar kita tidak lupa diri dan apalagi lupa dengan sang Pencipta Alam.
PENUTUP
Banyak negara yang pernah hancur dan terpuruk akibat dilululantahkan oleh bencana tapi bisa bangkit kembali dan menjadi maju karena mereka tidak menganggap bencana itu sebagai hantu yang harus dihindari.
Namun, mereka mampu menyikapi bencana dengan bijak dan bersama-sama bergandengan tangan dan mau bangkit kembali membangun daerahnya tanpa keluh kesah yang membebani mereka.
Penulis Merupakan Kolumnis dan Akademisi UNTAD Palu