Rabu, 10 Juni 2015

PENERAPAN KEBIJAKAN BAHASA: ANTARA MEMPERTAHANKAN BAHASA IBU ATAU MENGEMBANGKAN BAHASA ASING

Oleh Mochtar Marhum
Jepang dan Korea Selatan, dua negara di Asia yang menjadi negara maju setara dengan negara-negara maju dan sejahtera di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan New Zealand.
Dua negara maju di Asia Jepang dan Korea Selatan ini telah menjadi bangsa dari negara terbuka (Open Society) yang maju yang lebih mengandalkan Sumber Daya Manusia dan sekaligus mampu mengelola Sumber Daya Alamnya secara maksimum dan efektif.

Dua negara serumpun ini tetap mempertahankan bahasa, budaya dan tradisinya dari arus globalisasi serta tekanan asimilasi dan kontaminasi budaya asing (Barat dan Arab) dan budaya aseng (China). Sama dengan Kore Selatan, di Jepang Bahasa dan tulisan (Scripts) Jepang menjadi tuan rumah di negerinya sendiri walaupun masih ada sebagian bahasa asing yg terlihat dalam beberapa iklan komersil. Namun, harus diakui bahwa hampir semua produk makanan, minuman, cendera mata, elektroni dan produk otomotif misalnya semua tertulis dalam bahasa resmi mereka.

J Nehru bapak dan tokoh bangsa India pernah mengingatkan masyarakat India ketika beliau diwawancarai oleh salah satu media Internasional. Beliau ingatkan kepada masyarakat India untuk tidak menggunakan bahasa Inggris sebgai bahasa pengantar atau bahasa pergaulan di India karena bahasa Inggris adalah bahasa Imperialis. Namun, Ironisnya Nehru mengingatkan warganya pada saat itu menggunakan bahasa Inggris. India adalah negara Ex-Colony Inggris (Common Wealth Country) dan bahasa Inggris adalah bahasa kedua (Second Language). Ini menunjukkan hegemonik dan pengaruh kuat bahasa Inggris di dunia ini sulit ditandingi.

Prof. David Crystal, seorang pakar bahasa dari Universitas Cambridge Inggris menulis sebuah buku berjudul "Language Death" beliau mengklaim bahwa telah banyak bahasa di dunia yang telah punah dan atau terancam punah (Moribund and endangered) dan beliau perkirakan bahwa dalam waktu 40 tahun ke depan akan ada 50 %bahasa minoritas di dunia ini akan punah. Beliau berpendapat bahwa jika bahasa dan budaya lokal punah maka akan ada tragedi sosial. Buku Prof. Crystal ini juga melaporkan hasil studi tentang keterancaman dan kepunahan bahasa dan pentingnya Pemerintah dan pemangku kepentingan (Stakeholders) membuat kebijakan bahasa yang mengatur dan mempertahankan bahasa minoritas dan bahasa yang terancam punah serta mengembangkan bahasa-bahasa yang ada. Buku Prof. Crystal. Ini juga menggambarkan hegemoni dan kuatnya pengaruh bahasa Inggris di dunia sehingga mampu mematikan bahasa-bahasa minoritas di beberapa negara ex-colony Inggris. Bahasa inggris oleh Prof. Crystal dianggap sebagai bahasa pembunuh (Killer Langauge) yaitu dengan pengaruh kuatnya bahasa Inggris mampu membunuh bahasa-bahasa minoritas di mana masyarakat di negara-negara telah didominasi oleh pengaruh bahasa Inggris akan lebih bangga dan cenderung menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dan di sisi lain mengabaikan bahasa ibu mereka. Dan kenyataan ini juga diperkuat denga fenomena yang terjadi dewasa ini di mana dalam era Informasi Teknologi intensitas penggunaan bahasa Inggris di media sosial jauh lebih intens. Iklan komersial juga didominasi bahasa Inggris. Arus globalisasi bahasa inggris semakin kuat dan berpotensi mengancam eksistensi bahasa nasional dan bahasa ibu setempat.

Indonesia pernah membuat suatu kebijakan bahasa yang termasuk progressif dan responsif tapi kebijakan itu kemudian terpaksa harus ditinjau kembal setelah kurang lebih hampir satu dekade Pemerintah mengintsruksikan agar semua kota-kota di Indonesia memiliki Kelas Sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan bahasa pengantar yang digunakan di sekolah RSBI adalah bahasa Inggris. Penerapan kebijakan Bahasa di RSBI telah menghasilkan banyak siswa yang juara lomba debat dan Olimpiade sains yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Pengantar dan di sisi lain semua guru-guru yang mengajar di Kelas RSBI terpacu dan sekaligus termotivasi untuk belajar bahasa keterampilan bahasa Inggris.

Kebijakan penerapan Sekolah RSBI memiliki sejumlah mamfaat seperti memicu kemampuan dan keterampilan bahasa Inggris siswa dan guru menjadi lebih baik dan relatif fasih serta mendorong sekolah RSBI meningkatkan kualitasnya menjadi sekolah yang memiliki standard relatif selevel mirip sekolah-sekolah di negara maju Kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan Bahasa didukung oleh Organization of Economic Cooperation Development (OECD) dan World Bank. Namun, Kebijakan ini akhirnya mendapat kritikan dan tantangan dari sejumlah pemangku kepentingan dan membawa kasus ini ke ranah hukum. Pihak penggugat menganggap bahwa pemerintah telah melanggar UUD dalam hal penggunaan bahasa yang sah sebagai bahasa pengantar di sekolah di mana UUD telah menetapkan bahwa bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia. Akhirnya kasus ini dimenangkan oleh pihak penggugat (stakeholders) dan akhirnya Kelas sekolah RSBI dibatalkan dan dikembalikan seperti kelas sekolah yang sebelumnya. Dan demikian juga UNESCO badan PBB yang membidangi masalah pendidikan dan Budaya merekomendasikan penggunaan bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa yang dimerngerti oleh peserta didik yaitu bahasa ibu.

Juga pada waktu itu ada sejumlah tudingan dan kritikan dari masyarakat tentang kebijakan bahasa di Sekolah RSBI ramai di media. Tudingan dan kritikan itu antara lain seperti sekolah RSBI telah menciptakan kastanisasi dan deskriminasi pendidikan terhadap kelas Reguler. Demikian juga ada yang membuat plesetasan RSBI singkatan dari "Rintisan Sekolah Bertarif Internasional" karena mahalnya biaya sekolah di Kelas RSBI.

Beberapa waktu lalu Malaysia yang tergabung dalam organisasi negara-negara Persemakmuran Inggris (Common Wealth) telah mencabut kebijakan penggunaan bahasa Inggris di sekolah sebagai bahasa pengantar yang mana dulu pernah lama menerapkan kebijakan bahasa (Language Policy) di mana bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar di Sekolah adalah bahasa Inggris dan akhirnya kebijakan itu dicabut karena dianggap bertentangan dengan dengan UU yang Hirarkinya lebih tinggi di mana dalam UU ditetapkan bahawa bahasa yang harus digunakan adalah sebagai bahasa Inggris.

Di Indonesia Kebijakan bahasa masih generalis dan masih terintegrasi dalam kebijakan pendidikan beda dengan di negara-negara maju di mana kebijakan bahasa berdiri sendiri dan lebih eksplisit. Di negara maju bahasa internasional nampak sekali dikomersilkan dan jelas menghasilkan income yang tidak sedikit. Bahasa Internasional sebagai intrument vital bagi mahasiswa dan siswa asing yang akan mengikuti pendidikan formal dan harus dipersiapkan dengan kemampuan dan Kerampilan Bahasa (TOEFL dan IELTS) dan Demikian juga untuk pelaku bisnis disiapkan dengan keterampilan komunikasi (TOIC).

Penulis: Akademisi UNTAD, menyelesaikan Program Doctor of Philosophy (PhD) dalam bidang Kebijakan Bahasa (Language Policy) dan Pendidikan dari Flinders University Australia