Selasa, 30 Oktober 2012

KONFLIK SOSIAL DAN KRISIS KULTURAL DI INDONESIA DALAM ERA REFORMASI


Sungguh memprihatinkan baru saja kita merayakan Hari Raya Idul Qurban dan Peringatan hari Sumpah Pemuda terjadi bentrok antara warga, konflik kekerasan dan tindakan anarkisme di beberapa wilayah di negeri ini. Huntington  mengatakan bahwa pada era pasca perang dingin identitas-identitas budaya dan kebudayaan mampu membentuk pola kohesif atau perekat  yang mengakomodasi adanya pluralitas masyarakat dalam membangun integrasi atau kebersamaan (togetherness) atau juga sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu apabila tidak ada kesadaran untuk mengembangkan aspek kohesif tersebut negara nasional yang plural di bidang etnis dan budaya akan menghadapi kekuatan distruktif (Huntington, 2000: 5).

Nilai-nilai persatuan dan persaudaraan telah terkoyak-koyak oleh konflik sosial dan krisis kultural. Bangsa ini seharusnya juga dibangun atas dasar modal sosial dan bukan hanya selalu mengandalkan modal finansial seperti yang selama ini kita saksikan dalam pembangunan di tanah air. Misalnya, yang lebih banyak dibangun saat ini adalah toko-toko, bangunan fisik yang jadi infrastruktur penyokong program kapitalisme dan bukan membangun tokoh-tokoh yang bisa menjadi figur yang bisa jadi panutan masyarakat sebagai penyokong gerakan Sosialisme- Demokrasi.

Kepercaryaan merupakan modal Sosial yang sangat penting dalam pembangunan karakter bangsa dan solusi untuk berbagai mesalah konflik Sosial di tanah air. menurut Institute of Future Studies for Development di Bangkok saling percaya adalah kunci untuk menyelesaikan krisis. Sementara itu empati adalah jaringan rasa sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan membangun empati masyarakat akan dapat saling tolong menolong dan bekerja sama. Jadi krisis yang terjadi pada bangsa Indonesia juga dapat disebut krisis kepercayaan dan empati (Asia Week, December 1998).

Gotong Royong sebagai modal sosial dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila merupakan suatu kebersamaan sebagai faktor kohesif yang dapat mengeliminir efek negatif dari prinsip keterbukaan dan otonomi sebagai prinsip utama Demokrasi dan mengelaminir juga  prinsip yang sangat rentan terhadap disintegrasi bangsa. Kebersamaan yang dapat menjadi modal sosial (social capital) dalam memaksimalkan potensi bangsa untuk tidak menjadi pecundang (loser) tetapi menjadi gainer dalam proses globalisasi (Fukuyama, 1999: 11-14). Berdasarkan modal sosial seharusnya terbangun kepercayaan, gotong royong dan toleransi serta akan mendukung lhirnya tokoh-tokoh masyarakat yang bisa jadi panutan untuk menjadi mediator rekonsiliasi setiap terjadinya konflik sosial. Namun, ternyata selama ini bangsa ini dibangun hanya lebih banyak mengandalkan modal finansial dan lebih bangga dengan pembangunan infrastruktur perdagangan seperti toko-toko, mall-mall dan berbagai fasilitas publik dan ketimbang modal sosial yang juga sangat dibutuhkan dalam pembangunan bangsa seperti yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Hari Minggu tanggal 28 Oktober Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 84 Tingkat Nasional dan Jambore Pemuda ASEAN dipusatkan di Palu Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Namun, sungguh ironis dua hari kemudian terjadi kerusuhan masa antara kampung telah terjadi pembakaran rumah, kendaraan dan perang antar kampung menggunakan senjata tajam dan senjata tradisional lainnya. Insiden perkelaihan warga yang melibatkan warga dari kampung Tatura dan Tinggede terjadi di daerah yang cukup padat penduduk dan terjadi dekat jalan raya yang letaknya sangat strategis sehingga telah mengganggu arus kendaraan lalulintas.

Kini sejak terjadi konflik sosial berbagai akronim dan dan jargon jenaka muncul misalnya, kawan saya seorang pengurus HIPMI SulTeng katakan, "PAD Kota Palu meningkat". Mendengar kata PAD banyak warga yang merasa bangga karna dikira PAD yg dimaksud (Pendapatan Asli Daerah) tapi ternyata PAD yang diamksud meningkat adalah (Perkelahian Antar Desa). Kalau PAD meningkat Otomatis DAK juga akan meningkat" tapi PAD bukan singkatan dari "Pendapatan Asli Daerah dan DAK bukan singkatan dari Dana Alokasi Khusus". PAD (Perkelaihan Antar Desa) dan DAK (Dendam Antar Kampung".

Ada adigium yg menyatakan "Negara semakin terancam bahaya bukan karna makin banyaknya orang yg melakukan pelanggaran hukum tapi sebaliknya negara semakin terancam bahaya karena ada orang yg membiarkan pelanggaran hukum itu terjadi". Juga ada adigium yang menyatakan "Kejahatan itu bukan diciptakan oleh masyarakat tapi kejahatan itu diciptakan oleh sistem yang tidak benar dan jika kita tidak mampu merubah sistem yang tidak benar maka kita juga adalah bahagian dari suatu kejahatan".

Kini ada juga ungkapan patriotisme versus pesimisme berkaitan dgn peringatan sumpah pemuda dan konflik sosial yg terjadi di beberap wilayah di Indonesia:

1. Pemuda dulu berperang melawan penjajah tapi sekarang berperang melawan saudara.

2. Pemuda dulu bersumpah "Torang samua Basudara" kini sumpah itu telah diplesetkan menjadi "Torang samua bunuh saudara".

Jangan sampai nilai-nilai Sumpah Pemudah berubah jadi nilai-nilai Sampah Pemuda. Saatnya rapatkan barisan dan bangkitkan semangat persatuan dan persaudaraan untuk meraih kejayaan bangsa Indonesia yang maju.

Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi, Blogger Sosial Humaniora

Sabtu, 27 Oktober 2012

HARI RAYA KURBAN DAN HARI SUMPAH PEMUDA - KOMITMENT PEMBERANTASAN TIPIKOR


Tanggal 26 Oktober umat Muslim di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha dan tanggal 28 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah pemuda.

Pada Hari Raya Qurban (Idul Adha) dan peringatan Hari Pemudah mungkin suatu bentuk pengorbanan terbaik dan sumpah setia paling tulus kepada bangsa dan negara tercinta para pemuda harus rela mengorbankan tidak hanya harta tapi juga termasuk status sosial yang disandangnya saat ini seperti jabatan (Bagi Pejabat Publik).

Kini yang jadi pertanyaan besar adalah maukah pejabat-pejabat publik di negeri ini yang telah terindikasi terlibat kasus TIPIKOR (Tindak Pidana Korupsi) dengan suka rela dan gagah berani mau  mengundurkan diri dari jabatan yang telah diamanahkan sebagai tanda pengorbanan di hari raya Idul Kurban dan jelang hari sumpah pemuda menunjukkan sumpa setia pada komitment mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini.

Selamat merayakan Hari Raya Idul Qurban Jumat 26 Oktober dan memperingati Hari Sumpah Pemuda Minggu 28 Oktober dan semoga momentum peringatan kedua hari besar ini bisa menjadikan inspirasi yang sangat bersejarah untuk merubah Indonesia menjadi lebih bersih dan lebih berwibawa di masa yang akan datang.


Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi, Blogger Isu Sosial-Humaniora

SUMPAH PEMUDA VERSUS SAMPAH PEMUDA


Indonesia harus tetap BERSIH dan BERSATU. Indonesia harus bersih dari kasus tindak pidana korupsi dan bersih dari pencemaran lingkungan (Polusi). Keberagaman Indonesia bukan menjadi ancaman persatuan dan kesatuan bangsa tapi harus menjadi modal sosial dan kultural untuk Indonesia yang besar dan bersatu.

Generasi muda harus mampu memelihara persatuan dan kesatuan dengan cara menghindari aksi tawuran. Pemuda jangan terlibat aksi terorisme dan anarkisme. Generasi muda jangan pernah terlibat tindak pidana korupsi (Tipikor). Nilai-nilai sumpah pemuda harus terus terpelihara dan diamalkan agar makna SUMPAH PEMUDA tidak akan berubah menjadi SAMPAH PEMUDA.

Pemudah jangan didiskriminasi dan harus diberi peran penting dalam pembangunan. Ingat PEMUDA JAYA INDONESIA TERUS BERJAYA. Semoga pemuda tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

"Selamat Hari Sumpah Pemuda Ke-84"


Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi, Blogger Sosial Humaniora
(Eks-Peserta Pertukaran Pemuda antar Bangsa AIYEP 1988/1989)

LINTAS DISIPLIN ILMU Vs MONO DISIPLIN ILMU DAN ORIENTASI PERGURUAN TINGGI BERKELAS DUNIA

Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bulan depan akan menyelenggarakan Konferensi dengan tema “Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon Ilmu”. Topik ini sangat menarik untuk didiskusikan oleh para tenaga akademisi dan pemangku kepentingan pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut hemat saya ada beberapa hal yang membuat isu ini sangat relevan dan menarik untuk didiskusikan:

Pertama, adanya kebijakan pendidikan tinggi yang mewajibkan setiap tenaga akademik (dosen) harus tersertifkikasi sama dengan tenaga profesional lainnya. Pada awal diterapkan sertifikasi dosen, banyak yang ragu dengan kualifikasi yang mereka miliki. Misalnya ada seorang dosen yang qualifikasi ijazahnya kurang linier atau bahkan tidak linear dengan kualifikasi Ijazah jenjang yang lebih tinggi Magister/Masters (S2) atau Doktor/PhD (S3). Sejak diterapkan kebijakan sertifikasi dosen sampai saat ini tidak ada masalah yang terlalu serius terutama berkaitan dengan masalah linieritas. Bahkan Ditjen Dikti dan tim asesor Sertifikasi Dosen telah memberikan kebijakan yang cukup fleksible sejauh dosen yang memiliki kualifikasi ijazah atau background ilmunya masih berada pada pohon atau rumpun ilmu yang masih terkait.

Kedua, masalahnya mungkin akan berbeda ketika seorang dosen yang memiliki Ijazah atau stratafikasi ilmu yang relatif berbeda atau berbeda sama sekali dengan kualifikasi Ijazah pada jenjang yang lebih tinggi dan jika yang bersangkutan akan mengusulkan kenaikan pangkat fungsional ke Lektor Kepala atau Guru Besar akan mengalami persyaratan dan perlakuan yang relatif berbeda. Kasus seperti ini misalnya banyak dialami oleh teman-teman dosen di Perguruan Tinggi Negeri.

Ketiga, rigiditas lineritas kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia mungkin telah membentuk persepsi dan mindset yang berbeda jika dibandingka dengan pendidikan tinggi di luar negeri yang lebih fleksibel serta menghormati kedua aspek kebijakan kajian monodisiplinary dan kajian interdisiplinaryi ilmu. Juga persoalan yang mungkin telah lama terbentuk karena kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia pada umumunya masih lebih berorientasi pada program studi (Prodi Oriented) dan orientasi mono-displinary yang lebih menekankan pada kebijakan by Coursewok (Kuliah) ketimbang program by research (Penelitian) seperti perguruan tinggi di luar negeri. Namun, harus pula diakui bahwa perguruan tinggu di Jawa dan di Sumatra Utara khususnya yang telah berstatus BHP ada yang telah menerapkan kebijakan program pendidikan Tinggi By Research dengan berorientasi pada program research lintas disiplin (Interdisiplinary studies).

Keempat, dulu ada isu teaching university versus research university. Universitas yang sudah maju seperti yang ada di Jawa telah berorientasi pada bobot program research yang lebih tentu pada level Magister dan Doktor sehingga membedakan dari universitas yang lebih orientasi pada program teaching saja. Sebaliknya Pendidikan Tinggi yang menawarkan program Non-Gelar atau diploma yang berorientasi pada program vokasi atau kejuruan berorientasi pada praktek lapangan, magang dan teaching sedangkan Universitas harus berimbang antara program teaching dan research tapi fakta membuktikan bahwa di Indonesia bobot SKS mata kuliah masih jauh lebih banyak dari pada bobot Research (Skripsi atau Tesis) misalnya.

Kelima, baru-baru ini Ditjen Dikti mempromosikan world class university. Perguruan tinggi di Indonesia harus bisa masuk menjadi univeristas berkelas dunia. Untuk menopang kebijakan ini pemerintah bersama DPR telah menyiapkan RUU Pendidikan Tinggi dan Sebelumnya Ditjend Dikti mengeluarkan edaran agar semua mahasiswa yang akan menyelesaikan studi diwajibkan membuat publikasi ilmiah melalui jurnal cetak maupun jurnal elektronik baik untuk level nasional maupun level internasional. Pemerintah juga telah menawarkan sejumlah hibah penelitian kepada dosen-dosen di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga penelitian untuk telribat melakukan penelitia baik itu melalui kajian mono-disiplinary maupun kajian interdisiplinary. Pemerintah terus mendorong kegiatan publikasi hasil penelitian dosen-dosen dan peneliti untuk diterbitkan di Jurnal Nasional terakreditasi maupun jurnal internasional. Untuk mengembangkan program kerjasama antara perguruan tinggi dalam rangka persiapan perguruan tinggi Indonesia masuk kategori world class university, pemeritah mendorong perguruan tinggi di Indonesia untuk menjalin kerjasama di bidang pendidikan dan riset dengan perguruan tinggi di luar negeri. Perguruan Tinggi di Indonesia diberikan peluang untuk berusaha agar supaya dapat merekrut mahasiswa asing dari berbagai negara untuk datang menimbah ilmu di universitas-univeersitas yang ada di Indonesia.

Menjadi universitas yang berkelas dunia (World Class) harus dierphatikan beberapa hal seperti menyangkut  kurikulum diupayakan kalau bisa ada adaptasi dan atau adopsi kurikulum dari perguruan tinggi yang sudah maju di luar negeri. Mindset akademik juga harus berubah dan lebih terbuka menerima inovasi dan perubahan. Atmosfir akademik di setiap perguruan tinggi harus lebih kondusif, produktif, harmonis dan menyenangkan. Input, proses dan output pendidikan tinggi harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat atau kebutuhan pasar kerja baik tingkat lokal, nasional maupun global. Akreditasi Program studi, Fakultas dan Universitas (Institusi) harus menerapkan kebijakan Pendidikan Tinggi secara Bottom-up dan Top-down. Masyarakat sebagai stakeholders pendidikan tinggi harus punya peran yang lebih dalam hal penilaian substansial penyelenggaraan pendidikan tinggi serta yag tak kalah pentingnya adalah perguruan tinggi harus bisa mandiri (self-managed dan self-reliant).


Salam Perubahan
Mochtar Marhum,
Akademisi UNTAD dan Blogger
Isu Sosial Humaniora

Selasa, 16 Oktober 2012

Trend Figur Kepala Daerah dalam Era Demokrasi Langsung

Event Pemilukada DKI Jkt dan pelantikan Gubernur dan wakil Gubernur terpilih kemarin menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat. Dua figur kepala daerah dan wakilnya berasal dari daerah telah berhasil menggantikan posisi kandidat incumbent Fauzi Bowo. Kandiat incumbent adalah putra daerah dan beliau harus menerima kenyataan yang mungkin pahit setelah kalah bersaing dalam event Demokrasi Langsung Pemilukada dua putaran itu.

Yang unik dan menarik dari Jokowi-Ahok, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang baru dilantik adalah Jokowi mantan Walikota Solo berasal dari luar DKI JKt belum pernah bertugas di Jakarta. Beliau berlatar belakang Sarjana Kehutanan UGM, beragama Islam dan berasal dari suku Jawa. Sedangkan Ahok berasal dari Sumatra, mantan Bupati Bangka Belitung pernah bertugas di Jakarta sebagai Legislator (Politisi Senayan). Beliau memiliki latar belakang pendidikan Magister Manajemen, beragama Kristen Protestan dan dari keturunan Tionghoa.Mereka adalah Pasangan Kepala daerah yang berlatar belakang multikultur dan dari latar belakang yang cukup heterogen. Selama masa kampanye pernah mengalami cobaan dan terpaan kampanye hitam (negative campaign) terutama berkaitan dengan isu SARA yang berhasil dihembuskan oleh individu dan kelompok-kelompok yang tidak menginginkan mereka memimpin DKI Jkt.

Yang jelas terpilihnya Jokowi-Ahok memang cukup unik karena mereka belum pernah jadi kepala daerah di DKI Jakarta dan popularitas serta track-record mereka dalam konteks kepemimpinan dan reputasi mereka hanya diketahui oleh kalangan masayarakt DKI via media sosial dan media massa serta cerita masyarakat dari mulut ke mulut walapun mungkin ada juga segelintir dari masyarakat DKI yang sudah mengenal mereka dari dekat. Dalam Islam ada istilah "Manjada Wa jada" yaing artinya siapa saja yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Demikian juga di Amerika ada ungkapan "American Dream" maksudnya siapa saja bekerja keras dan bersungguh-sungguh pasti apa yang diimpikan akan tercapai.

Jokowi-Ahok sudah bekerja keras dan bersungguh-sunguh selama jadi kepala daerah (Walikota dan Bupati) sehingga mereka mampu menorehkan prestasi yang baik dan sangat berkesan di tengah masyarakat. Reputasi dan prestasi mereka selama jadi kepala daerah telah menjadi catatan putih mewangi yang mampu mengalahkah isu dan rumor kampanye hitam di masyarakat. Reputasi dan prestasi Jokowi-Ahok telah menyebar sampai ke masyarakat DKI JKt yang pada saat itu sedang berusaha menggapai impian untuk memiliki figur pemimpin yang didambakan. Masyarakat DKI bersungguh-sungguh ingin melihat DKI Jkt bisa menuju ke Perubahan yang cukup signifikan karena selama ini mereka telah mengalami penderitaan yang cukup berat terutama berkaitan dengan masalah klasik dan konvensional seperti masalah banjir, sampah, pengangguran, kemacetan dan kriminalitas termasuk masalah premanisme serta tentu masih banyak lagi permasalahan lainnya yang solusinya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dari perspektif Demokrasi Prosedural pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) bersama wakil-wakilnya baik liwat parlemen seperti yang pernah diterapkan di Indonesia dulu maupun pemilihan secara langsung oleh rakyat tentu juga memiliki kelebihan dan kekurangannya (Plus-Minus atau Strengths and weaknesses). Pemilihan kepala daerah liwat parlemen (DPRD) mungkin dianggap lebih efisient dari segi waktu dan relatif hematdari segi anggaran serta lebih kurang resiko mobilisasi masa. Namun, dalam konteks elektoral tentu peran the rulling party atau anggota fraksi majoritas di parlemen sangat menentukan terpilihnya kandidat kepala daerah walaupun kasus anomali politik bisa terjadi jika anggota parlemen berani membelot dari arus utama (Mainstream).

Media ramai memberitakan wacana mengembalikan prosedur pemilihan kepala daerah liwat parlemen seperti masa lalu. Wacana pemilihan kepala daerah liwat parlemen terutama ditujukan pada mekanisme pemilihan Gubernur karena pertimbangan keamanan dan juga pertimbangan perspektif Geopolitik dan pemerintahan yaitu fungsi jabatan Gubernur dalam konteks dekonsentrasi di mana Gubernur juga dianggap sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Pemilihan kepala daerah liwat parlemen diasumsikan bisa menekan resiko konflik antar pendukung calon kepala daerah karna mobilisasi massa dari tim sukses kandidat relatif tidak sebesar mobilisasi masa pendukung pada kasus pemilihan langsung sehingga lebih menguntungkan bisa menekan potensi konflik sosial atau konflik komunal yang disinyalir sering mengarah ke aksi anarkisme, vandalisme dan tindakan kekerasan (Political violance). Namun, menurut sejumlah pakar ada juga beberapa kelemahan dari pemilihan liwat parlimen antara lain rawan terjadi praktek money politics dalam bentuk sogok dan gratifikasi. Kandidat yang diusung oleh partai yang dominan di Parlemen kelihatan memiliki peluang besar sebagai kandidat pemenang. Praktek pemilihan kepala pemerintahan liwat parlemen merupakan tradisi yang lazim dipraktekkan di negara yang menganut sistem parlementer.

Dari perspektif legitimasi rakyat sebagai pelaksana konstitusi (Constituent), pemilihan kepala pemerintahan liwat parlemen, legitimasinya dianggap relatif lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan langsung oleh rakyat (Direct Democracy). Juga dalam konteks loyalitas dan akuntabilitas, kelihatannya pemimpin yang dipilih liwat parlemen mungkin relatif akan lebih loyal dan akan merasa lebih bertanggung jawab (accountable) kepada partai atau fraksi yang mengusungnya ketimbang kepada rakyat sebagai pelakasana konstitusi sperti layaknya dalam sistem Demokrasi.

Sejak Indonesia menerapkan Demokrasi langsung di mana rakyat dilibatkan secara langsung memilih calon kepala daerah yang diinginkan telah sering terjadi euforia politik terutama saat berlangsungnya pesta Demokrasi pemilukada di setiap daerah di negeri. Rakyat berpesta dan bersuka cita mengusung dan ikut berkampanye membangga-banggakan jagoan yang tentu mereka dambakan akan sukses terpilih jadi kepala daerah. Suasana kampanye sangat meriah karena diisi dengan acara pidato politik (Political speech) dan full entertainment melibatkan artis lokal dan bahkan artis ibukota. Dari beberapa informasi di media ternyata banyak rakyat yang lebih tertarik mengikuti kampanye politik bukan karena tertarik dengan content atau subtansi pidato politik tapi lebih tertarik karena adanya sajian hiburan artis ibukota. Disinilah keunikan mekanisme kampanye politik di Indonesia jelang Pemilukada karena content program entertainment porsinya bersaing secara significant dengan content pidato politik. Sayangnya rakyat umumnya kelihatan lebih tergiur dengan acara entertaintment (hiburan) dan kalaupun mereke memperhatikan pidato politik kandidat pada event kampanye mungkin karena dalam pidato tersebut kandidat sering mengumbar janji-janji manis dan menggiurkan kepada rakyat melalu visi misi dan program pembangunan yang mereka janjikan kepada rakyat. Kandidat lebih mengutamakan upaya membujuk keinginan dan kebutuhan rakyat
Ketimbang merujuk pada kepentingan dan keinginan rakyat.

Dalam konteks pemilihan langsung dewasa di negeri ini kelihatan ada ada fenomena menarik di mana figur kepala daerah yang terpilih kelihatan cenderung lebih banyak dari kalangan figur pemimpin yang merakyat yaitu pemimpin yang sangat dekat dengan rakyat secara alami alias bukan dibuat-dibuat (pencitraan), pemimpin yang memiliki sympati dan empaty serta selalu sudi berkomunikasi langsung dengan rakyat. Mau menegur atau menyapa rakyat secara langsung serta mau turun ke masyarakat dan melihat kesulitan atau masalah apa yang sering dialami rakyat. Figur kepala daerah menjadi figur menjadi jauh lebih populer dan menjadi idola rakyat ketimbang profil partai politik yang mengusung mereka. Figur pemimpin yang cenderung jadi pilihan rakyta dalam pemilukada dewasa ini adalah figur pemimpin yang egaliter dan jauh dari sikap arogansi dan elitis. Figur pemimpin yang mau mendengar jeritan rakyat atau mau mendengarkan tuntutan rakyat.

Dalam era Demokrasi langsung pemimpin diharapkan mampu dan mau berkomunikasi langsung dengan rakyat sehingga mereka juga tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh rakyat. Jadi kebutuhan dan keinginan rakyat tidak lagi sering diwakili oleh wakil rakyat melalui penyampaian aspirasi rakyat di parlemen. Pemimpin yang terpilih liwat pemilihan langsung oleh rakyat dirasakan lebih aspiratif dan keinginan figur yang dikehendaki adalah figur riel yang betul-betul diidam-idamkan oleh rakyat. Itulah figur pemimpin yang aspiratif dan preferensinya yang bersifat aspirasi bootom-up langsung oleh rakyat (bukan liwat wakil rakyat) tapi sebaliknya pemilihan kepala daerah liwat parlemen keliatan cukup elitis dan preferensi figur pemimpin cenderung lebih bersifat aspirasi yang top-down. Figur pemimpin yang terpilih liwat parliment mungkin akan relatif cenderung berdasarkan keinginan dan kebutuhan wakil rakyat dan atau mungkin bukan figur yang diinginkan rakyat. Dalam era pemilihan langsung, kelihatan mirip konteks rewards and punishment, misalnya rakyat akan memberikan rewards dalam bentuk akan menjatuhkan kembali pilihan mereka pada figur pemimpin yang mereka kehendaki karena mau mendengar kesulitan dan permasalah rakyat.

Kepala daerah yang berprestasi dan dekat dengan rakyat kemungkinan besar akan terpilih kembali pada pemilukada berikutnya. Namun, hal ini mungkin akan terwujud dengan catatan jika mereka mencalonkan kembali serta jika tidak terjadi kasus rekayasa politik dan rekayasa hukum oleh lawan-lawan politik yang mungkin telah menderita Phobia politik alias takut akan kalah dalam pertarungan Pemilukada. Sehingga berbagai upaya dan tipudaya dilakukan berusaha menjatuhkan figur kandidat yang lebih populer di mata rakyat seperti melalui upaya pembusukan politik (Political Decay). Pemimpin yang zolim dan sering menyakiti atau mengecewakan rakyat, akan mendapat hukuman sosial dari rakyat dalam setiap event pemilukada karena kemungkinan besar banyak rakyat yang tidak akan memilih kembali mereka pada pemiluda berikutnya tapi fenomena seperti ini tentu tentu tidak bisa digeneralisasikan.

Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi, Blogger Sosial Humaniora