Selasa, 29 November 2011

HEDONISME VS PROFESIONALISME

Sejumlah media di tanah air belum lama ini melaporkan gaya hidup hedonisme sejumlah pejabat publik. Ada berita tentang kelakuan hedonisme yang dipertontokan oleh sejumlah wakil rakyat (Politisi senayan) seperti yang dalam laporan beberapa media di tanah air. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah sangat ironis terjadi  ketika rakyat masih banyak yang miskin dan menderita. Kata kawan saya gaya hidup seperti ini mungkin kita  bisa plesetkan dengan pameo "Biar miskin asal sombong".

Gaya hidup Hedonisme banyak terdapat di negara-negara makmur (welfare states) dan menurut mereka gaya hidup seperti ini wajar. Masyarakat negara-negara makmur bekerja keras dan berkarya secara profesionalisme selama har Senin-Jumat (Weekdays) dan menikmati kesenangan dunia dengan fasilitas yang mereka miliki selama akhir pekan (Weekend). Jadi weekdays adalah hari profesionalisme dan weekend adalah hari hedonisme.

Banyak yang berpendapat bahwa hidup ini juga harus seimbang dan oleh sebab itu kehidupan ini harus diimbangi dengan bekerja keras dan juga harus menikmati kesenangan (pleasure) yang didapatkan dari hasil kerja keras dan dari duit yang halal dan fasilitas yang legal.

Namun, masih ada persepsi yang berbeda di kalangan masyarakat negara sedang berkembang yang mengklaim bahwa masyarakat di negara maju senang hura-hura dan plesiran (hedonisme). Bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka mengklaim bahwa hedonisme adalah gaya hidup yang senang menghambur-hamburkan kekayaan untuk memperoleh kesenangan duniawi. Padahal pandangan ini mungkin kurang sesuai dengan apa yang dimaksudkan dengan hedonisme menurut pemahaman masyarakat di negara-negara makmur. Di samping itu banyak masyarakat agamis menentang kehidupan yang hura-hura dan glamour dan mereka menganggap bahwa ini merupakan konsep dari hedonisme.

Kehidupan yang hura-hura dan glamour oleh mayarakat di negara makmur  menggunakan fasilitas dan modal finansial pribadi yang halal dan juga fasilitas publik atau fasilitas  milik negara secara legal. Namun, yang sering dipersoalkan dibeberapa negara sedang berkembang termasuk Indonesia disinyalir masih ada sejumlah pejabat publik memfaatkan jabatan dan fasilitas negara untuk aktivitas yang berbau henonisme.

Untuk membuktikan kebenaran ini. Saya kira masih perlu verifikasi atau masih perlu ditelusuri lebih jauh apa betul ada sejumlah pejabat publik di negeri ini masih suka mempertotonkan gaya hidup yang hedonis di tengah-tengah sorotan akan kinerja dan integritas mereka yang masih memprihatinkan.