Kamis, 06 Desember 2018

ARGON PALU YANG MAKIN FENOMENAL DAN MENDUNIA


(29 Nopember 2018)
Oleh Mochtar Marhum
Tepat dua bulan lalu tragedi Gempa Dasyat telah berlalu. Perasaan duka yang dalam masih menyelimuti masyarakat kota Palu.
Ada banyak kisa sedih dan tragedi kemanusian yang telah diartikulasikan dan diekspresikan liwat berbagai media. Kesedihan dan duka yang dalam akhirnya diupayakan untuk dihibur dan dihalau melalui jargon-jargon pemberi semangat untuk bangkit dan berbenah diri dari keterpurukan pasca bencana super dasyat tersebut.
Saatnya masyarakat tidak bole selalu ditakut-takuti dengan berbagai berita hoax dan kabar palsu seperti akan terulangnya bencana dasyat.
Upaya Trauma healing untuk menyembuhkan luka duka masyarakat Palu yang merasa Pilu karena telah terjadinya Gempa, Tsunami dan Likuifaksi yang telah mengorbankan ribuan nyawa dan triliunan harta benda.
Cerita dan kisah yang jenaka dan menghibur perlu pula dinarasikan dan diviralkan untuk mengobati perasaan Pilu warga Palu dan sekitarnya.
Saya ingat dulu pernah ada seorang kawan waktu pertama kali berkunjung ke Jakarta sekitar tahun 1990an, dia sempat dikerjain teman-temanya di sana dengan pertanyaan yang ambigius dan membingungkannya.
Ada yang sempat nanya begini, "Ada Gubernur diPalu?"
Kawanku Jawab, "ada bang"
Pertanyaannya berlanjut, "Ada Profesor diPalu ?"
Dengan serius kawan saya menjawab dan dengan nada yang agak tinggi dan sedikit bingung, "Tentu ada bang"
Seketika itu juga kawan-kawannya tertawa......hehehehehehehe...ternyata mereka cuman bercanda...
Pasca Gempa Dasyat di Kota Palu dan Sekitarnya, Muncul Jargon Sosial Yg Menggunakan Kata PALU antara Lain Seperti
PALUKUAT
PALUBANGKIT
Lalu ada teman yang menanggapi. Dia bilang, "Waktu terjadi Gempa dan Tsunami di Aceh, tokoh masyarakat Aceh seperti Surya Palo dan sahabat-sahabatnya asal Aceh sepakat menggunakan Jargon yang menyentuh perasaan sympati dan empati masyarakat luas di Indonesia dan dunia yaitu "ACEH MENANGIS".
Dan Gempa dan Gempa dan Tsunami di Aceh masuk kategori Bencana Nasional sehingga jauh lebih banyak orang yang memberikan sympati dan empatinya.
Sebaliknya Jargon Palu Bangkit dan Palu Kuat, oleh sebagian teman-teman mengatakan bahwa Jargon tersebut masih kurang efektif untuk memberikan efek sympati dan empaty masyarakat luas baik secara nasional maupun internasional.
Jauh sebelum terjadi Gempa Dasyat tersebut, sudah ada kata-kata yang menggunakan kata Palu dan sering digunakan oleh warga masyarakat di daratan pulau

MINIMALIS KORBAN BENCANA DI ERA MILENIAL


(Palu, 3 Desember 2018)
Oleh Mochtar Marhum
Kemarin ada beberapa status di Medsos disertai gambar Gempa Magnitudo 7,0 Skala Richter menghantam wilayah Alaska, salah satu negara bagian Amerika Serikat. Meme di Medsos oleh orang Palu dibumbui narasi jenaka "Om Koro Lagi Jalan-jalan ke Amerika" (Om Koro = Sesar Aktif PaluKoro).
Pagi ini berita Internasional TV iNews melaporkan Gempa berskala 7,4 Skala Richter tidak menimbulkan korban jiwa. Mungkin bagi orang awam banyak yang heran kenapa gempa yang bermagnitudo sangat signifikan itu tidak menimbulkan korban jiwa?
        Padahal kalau dilihat berita dan gambar yang viral, jelas gambarnya sangat mencekam dan cukup memprihatinkan. Yang mana digambarkan pula banyak jalan yang terbela-bela dan bahkan ada yang runtuh.
        Yang jadi pertanyaan menarik, apakah tidak terdapat korban jiwa karena gempa yang terjadi di Alaska belum lama ini tidak menimbulkan Tsunami dan juga tidak ada fenomena likuefaksi di wilayah terdampak ? Atau mungkin karena penerapan kebijakan Mitigasi Bencana dan perencanaan keadaan darurat (Contigency Plan) berhasil diterapkan.
      Mungkin juga perlu diketahui bahwa telah banyak negara yang memiliki peta rawan bencana dan peta rawan bencana tersebut selalu diupdate dan disosialisasi secara luas kepada masyarakat.
      Gempa dan Tsunami pada umumnya telah dikenal luas masyarakat dunia. Dan upaya mitigasi, pendidikan tanggap bencana dan Rencana Contigensi (Contigency Plan) pada umunya telah dikenal luas. Standar Operating Procedure (SOP) sudah banyak yang faham. Misal ketika terjadi gempa, masyarakat harus mengamankan diri seperti harus berlari ke tanah lapang yang luas dan jauh dari ancaman reruntuhan bangunan atau pohon tumbang. Juga kalau lagi berada di dalam gedung harus berlindung di bawa meja atau mencari sudut yang aman yang dikenal dengan istilah teknis Segi Tiga Kehidupan (Triangle of Life). Sedangkan jika ada gempa dan terjadi Tsunami, masyarakat diminta menjauhi bibir pantai dan naik ke tempat yang lebih tinggi atau naik ke tempat yang aman dan posisinya tentu jauh lebih tinggi.
      Namun, semua tips dan teori mitigasi bencana dan pendidikan tanggap bencana ini sama sekali tidak berlaku untuk fenomena likuifaksi karena upaya mitigasi ini justru mungkin akan lebih fatal akibatnya karena semua upaya mungkin akan dipatahkan oleh gulungan lumpur likuifaksi karena fenomena ini juga menimbulkan tanah terbelah dan menutup kembali, tanah amblas dan menyedot semua bangunan dan semuanya isinya dan tanah bak diblender dan semua yang ada didalamnya bisa remuk.
      Fenomena Likuefaksi juga seperti yang pernah diberitakan oleh sejumlah media mainstream, pernah juga terjadi di New Zeland, Korea, Jepang dan Amerika. Namun, menarik untuk diamati dan harus bisa menjadi inspirasi untuk negara yang wilayahnya terdapat rawan bencana.
       Bencana Likuefaksi di negara-negara tersebut tidak pernah atau jarang menelan korban jiwa karena tanah likuefaksi (Liquifaction Soils) telah dideteksi lebih awal melalui suatu kajian Geoteknologi dan melibatkan kajian disiplin ilmu terkait. Peta rawan bencana dibuat dan regulasi atau semacam PERDA diterapkan dengan sangat ketat yang melarang adanya pemukiman penduduk di wilayah rawan bencana.
      Hanya melalui penerapan kebijakan Mitigasi bencana dan contigency plan yang lebih efektif bisa menyelamat ribuan bahkan jutaan umat manusia.