Kamis, 06 Desember 2018

MINIMALIS KORBAN BENCANA DI ERA MILENIAL


(Palu, 3 Desember 2018)
Oleh Mochtar Marhum
Kemarin ada beberapa status di Medsos disertai gambar Gempa Magnitudo 7,0 Skala Richter menghantam wilayah Alaska, salah satu negara bagian Amerika Serikat. Meme di Medsos oleh orang Palu dibumbui narasi jenaka "Om Koro Lagi Jalan-jalan ke Amerika" (Om Koro = Sesar Aktif PaluKoro).
Pagi ini berita Internasional TV iNews melaporkan Gempa berskala 7,4 Skala Richter tidak menimbulkan korban jiwa. Mungkin bagi orang awam banyak yang heran kenapa gempa yang bermagnitudo sangat signifikan itu tidak menimbulkan korban jiwa?
        Padahal kalau dilihat berita dan gambar yang viral, jelas gambarnya sangat mencekam dan cukup memprihatinkan. Yang mana digambarkan pula banyak jalan yang terbela-bela dan bahkan ada yang runtuh.
        Yang jadi pertanyaan menarik, apakah tidak terdapat korban jiwa karena gempa yang terjadi di Alaska belum lama ini tidak menimbulkan Tsunami dan juga tidak ada fenomena likuefaksi di wilayah terdampak ? Atau mungkin karena penerapan kebijakan Mitigasi Bencana dan perencanaan keadaan darurat (Contigency Plan) berhasil diterapkan.
      Mungkin juga perlu diketahui bahwa telah banyak negara yang memiliki peta rawan bencana dan peta rawan bencana tersebut selalu diupdate dan disosialisasi secara luas kepada masyarakat.
      Gempa dan Tsunami pada umumnya telah dikenal luas masyarakat dunia. Dan upaya mitigasi, pendidikan tanggap bencana dan Rencana Contigensi (Contigency Plan) pada umunya telah dikenal luas. Standar Operating Procedure (SOP) sudah banyak yang faham. Misal ketika terjadi gempa, masyarakat harus mengamankan diri seperti harus berlari ke tanah lapang yang luas dan jauh dari ancaman reruntuhan bangunan atau pohon tumbang. Juga kalau lagi berada di dalam gedung harus berlindung di bawa meja atau mencari sudut yang aman yang dikenal dengan istilah teknis Segi Tiga Kehidupan (Triangle of Life). Sedangkan jika ada gempa dan terjadi Tsunami, masyarakat diminta menjauhi bibir pantai dan naik ke tempat yang lebih tinggi atau naik ke tempat yang aman dan posisinya tentu jauh lebih tinggi.
      Namun, semua tips dan teori mitigasi bencana dan pendidikan tanggap bencana ini sama sekali tidak berlaku untuk fenomena likuifaksi karena upaya mitigasi ini justru mungkin akan lebih fatal akibatnya karena semua upaya mungkin akan dipatahkan oleh gulungan lumpur likuifaksi karena fenomena ini juga menimbulkan tanah terbelah dan menutup kembali, tanah amblas dan menyedot semua bangunan dan semuanya isinya dan tanah bak diblender dan semua yang ada didalamnya bisa remuk.
      Fenomena Likuefaksi juga seperti yang pernah diberitakan oleh sejumlah media mainstream, pernah juga terjadi di New Zeland, Korea, Jepang dan Amerika. Namun, menarik untuk diamati dan harus bisa menjadi inspirasi untuk negara yang wilayahnya terdapat rawan bencana.
       Bencana Likuefaksi di negara-negara tersebut tidak pernah atau jarang menelan korban jiwa karena tanah likuefaksi (Liquifaction Soils) telah dideteksi lebih awal melalui suatu kajian Geoteknologi dan melibatkan kajian disiplin ilmu terkait. Peta rawan bencana dibuat dan regulasi atau semacam PERDA diterapkan dengan sangat ketat yang melarang adanya pemukiman penduduk di wilayah rawan bencana.
      Hanya melalui penerapan kebijakan Mitigasi bencana dan contigency plan yang lebih efektif bisa menyelamat ribuan bahkan jutaan umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar