Rabu, 18 Mei 2011

Kenapa Alergi Dengan Pemilihan?

Saya yakin dan percaya seandainya masyarakat Yokya menerima rekomendasi Pemerinta Pusat agar Gubernur DIY dipilih, pasti majoritas rakyat Yokya dijamin 100 % akan memilih Sultan karena Sultan sangat dihormati dan dicintai rakyat Yokya.

Kenapa masih alergi dengar kata Monarki?, betul sekarang ini tidak ada lagi sistem Monarki di Republik ini secara Deyure tapi mungkin secara Defacto masih ada praktek Monarki di Republik ini terutama jika kita tidak mau mengindahki aturan bernegara yang diatur dalam konstitusi negara kita dan hanya mempertimbingkan aspek sejarah atau sama sekali mengabaikan makna Demokrasi dan konstitusi.

Perdebatan masalah UUK DIY atau RUUK DIY harus dilakukan secara objektif, independent, impartial dan harus mempertimbangkan Aspek Demokrasi, Konstitusi dan Historis.

Juga ada pertanyaan penting: kenapa masyarakat masih alergi dengan mekanisme pemilihan Gubernur DIY?, bagi orang yang paham dengan ajaran Demokrasi pasti heran kenapa di negara Republik Indonesia yang menganut Demokrasi masih ada daerah yang menghendaki jabatan politik atau jabatan publik harus ditetapkan (appointed) dan bahkan bisa dijabat tanpa dibatasi periode jabatan serta secara ekslusif hanya dibatasi khusus untuk kalangan keluarga Sultan.

Seandainya ideologi politik Indonesia dan sistem pemerintahan di Republik ini tidak menganut paham Demokarisi dan bentuk pemerintahan di negeri ini sama seperti Korea Utara atau di negara lain yang bukan negara Demokrasi atau hanya sama dengan negara Monarki absolut, maka mekanisme penetapan jabatan politik itu tidak boleh dipermasalahkan.

Namun ingat negara kita adalah negara Demokrasi dan bentuk Republik bukan Monarki. Negara ini harus diatur oleh konstitusi dan juga harus menghormati aspek historis. Jangan karena pertimbangan sejarah negara dan penyelenggara negara harus melanggar konstitusi Demokrasi.

Alangkah bijaknya orang terdidik di Yokya dan para elit jika mau memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang makna konstitusi dan demokrasi secara lugas dan sederhana ketimbang hanya terus meninabobokkan mereka dengan aspek historis dan romantisme masa lalu masa kolonial dan pasca kolonial.

Bentuk penetapan adalah anomaly Demokrasi prosedural dan tentu menjadikan pembangunan Demokrasi di tanah air menjadi setback (mundur). Ingat banyak kesultanan atau kerajaan dan keluarga bangsawan darah biru di Republik tercinta ini rela dan tulus bergabung dengan RI dan semua generasi darah biru itu menerima Demokrasi Prosedural tanpa syarat bahkan banyak dari mereka yang ikut Pemilukada.

Banyak yang memahami bahwa keistimewaan suatu daerah di nusantara adalah keistimewaan Kultural dan historis tapi bukanlah keistimewaan untuk jabatan politik atau jabatan publik.

Jabatan kesultanan adalah jabatan kultural-historis dan bisa diwarisi secara turun temurun berdasarkan garis keturunan (heriditas) tapi jabatan politik dalam alam demokrasi sama sekali tidak boleh diwarisi secara turun temurun kecuali jika negara kita menganut Monarki Absolut atau atau negara kita menganut sistem sosialis totalitarian seperti tradisi yang berlaku di Korea Utara.

Namun, masalah RUUK DIY harus bisa dicarikan solusi terbaik tanpa saling menuding dan saling menyalahkan. Terus terang saya juga termasuk orang Indonesia dari suku non-jawa (Sulawesi) yang penuh perhatian dan prihatin dengan isu ini. Saya adalah akademisi yang non partisan dan tidak punya kepentingan politik dengan DIY tapi sebagai warga RI saya inginkan Demokrasi berjalan sebagaimana mestinya dan tanpa harus terjadi setback.

Salam NKRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar