Rabu, 18 Mei 2011

Isu Kebangkitan Bahasa Daerah dan Etnisitas di Era Desentraliasi


ABSTRAK
Pemerintah dan sebahagian masyarakat kabupaten Tolitoli belum merasa
perihatin dengan persoalan isu kebangkitan bahasa dan etnis. Mereka menganggap
bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat menampung aspirasi penduduk lokal untuk
melestariakan dan memelihara bahasa dan budaya daerah di mana bahasa daerah dan
budaya Tolitoli hampir terancam punah akibat, tingkat mobilitas, asimilasi etnis
migrant, modernisasi dan globalisasi. Bahasa daerah Tolitoli dulu kurang
diperhatikan oleh masyarakat penuturnya. Bahasa dan etnisnya juga sempat
termarjinal. Penutur asli bahasa Tolitoli jarang menggunakan bahasa Tolitoli sebagai
alat komunikasi sehari-hari. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekata etnografi. Informan dipilih dari tiga etnis dominan di kabupaten Tolitoli.
Dari hasil studi lapangan ditemukan bahwa isu kebangkitan bahasa dan etnis yang
dulu pada awal tahun 2000an pernah mendominasi momen Pilkada, promosi jabatan
PNS dan rekrumen pegawai di mana isu bahasa dan etnis lokal yang lebih dikenal
dengan istilah politik identitas nampak menonjol tapi sekarang telah berubah dan
tidak lagi ada isu afialiasi etnis dan jargon bahasa lokal. Sebaliknya, masyarakat
semakin sadar dan lebih dewasa dalam bersikap terutama melihat perbedaan bahasa
dan etnis lokal. Namun, tak dapat disangkal bahwa ekses dari otonomi daerah masih
tetap membawa nuansa kedaerahan yang perlu dicermati terutama dari aspek
sosiokultural termasuk komponen bahasa dan budaya lokal.

I. PENDAHULUAN
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah pusat memasukan Provinsi Sulawesi
Tengah sebagai salah satu daerah yang rawan konflik etnis di Indonesia. Tolitoli
adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah. Memiliki latar belakang
multi-bahasa dan multi-etnis. Penonjolan simbol-simbol kedaerahan seperti bahasa
daerah dan identitas etnis pasca pencanangan kebijakan otonomi semakin dirasakan.
Kebijakan Otonomi Daerah yang dicanangkan oleh pemerintah pusat telah
terbukti berdampak pada isu kebangkitan bahasa dan kebangkitan etnis dan juga telah
berpotensi menciptakan dikotonomi etnis dan politik identitas. Kebangkitan bahasa
dan penonjolan politik identitas di Kabupaten Tolitoli dalam erah Otonomi rawan
terjadi terutama pada saat menjelang pemilihan umum (Pemilu), Pemilihan kepala
daerah (Pilkada) dan promosi jabatan di instansi pemerintah. Kebangkitan bahasa dan
etnis yang yang lebih dikenal dengan istilah politik identitas berpeluang menciptakan
deskiriminasi etnis dan potensi konflik social kalau tidak dapat dideteksi dan
dicarikan solusi yang tepat tentu akan sangat mengganggu kelancaran jalannya
pembangunan di Kabupaten Toli-toli.

A. Kebijakan Bahasa dan Potensi Konflik : Perspektif Global
Negara maju dan Negara-negara persemakmuran Inggris memiliki kebijakan
bahasa yang cukup eksplisit. Beberapa literature tentang kebijakan bahasa
menunjukan bahwa implementasi kebijakan bahasa di suatu negara dapat
mengatasi masalah kebahasaan dan etnisitas yang berpotensi menimbulkan
konflik sosial di Masyarakat (Ager, 1996; Corson, 1997; Fishman, 1999).
Menurut Chaer & Agustina (2004:182), tujuan kebijakan bahasa adalah dapat
berlangsungnya komunikasi intrabangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak
social dan emosional yang dapat mengganggu stabilitas bangsa. Selanjutnya
dikemukakan bahwa penonjolan bahasa dan etnis local tertentu di suatu daerah
bisa menimbulkan etnis dan bahasa daerah tertentu akan tersisih dan dan
penuturnya menjadi resah , yang pada gilirannya dapat menibulkan gejolak
politik dan gejolak social. Demikian juga Wijana & Rohmadi (2006:30)
mengemukakakn bahwa melalui suatu kebijakan bahasa, etnik yang beragam
dapat dipersatukan dan potensi konflik etnis dapat diminimalisir.
Sebaliknya banyak negara di Asia termasuk Indonesia tidak memiliki
kebijakan bahasa yang eksplisit yang dapat mengatur masalah kebahasaan dan
etnisitas di masyarakat (Marhum, 2005:261). Hal ini berpotensi menimbulkan
masalah kebahasaan dan etnisitas di mana pada era Otonomi daerah nampaknya
semakin menonjolnya sifat-sifat kedaerahan lokal dengan menampilkan simbol
simbol bahasa daerah dan penonjolan identitas etnis serta terciptanya politik
identitas (Liddle, 1996; Madjid, 1996; Anwar 2005).

B. Isu Tentang Bahasa dan Potensi Konflik Etnis : Konteks Indonesia
Menurut Nelde (2000:290) konflik bahasa dan etnis adalah disebabkan oleh
perbedaan status dan adanya kesitimewaan yang diberikan pada kelompok etnis
dan bahasa yang dominant yang memegang posisi penting dalam pemerintahan.
Lebih lanjut dikatakan oleh Nelde bahwa konflik multietnis dan multibahasa yang
terjadi di Eropa misalnya, disebabkan oleh upaya kelompok entis dominant
menghalangi mobilitas social kelompok etnis lain.

Era otonomi daerah di Indonesia nampaknya menjadi era kebangkitan etnis
dan bahasa daerah (Marhum, 2005: 181). Kebangkitan bahasa dan identitas etnis
di beberapa daerah berpotensi memicu konflik etnis (Budiman, 2006:17-18). Di
sisi lain, pihak pemerintah dan beberapa pakar sosial telah mengklaim bahwa
konflik etnis di Indonesia telah terjadi karena adanya kesenjangan ekonomi dan
kesejahteraan sosial terutama antara kelompok etnis lokal dan etnis pendatang
(Ratnawati, 2000; Hidayat, 2004; Anwar, dkk., 2005). Namun, menurut pendapat
saya mereka nampaknya telah gagal memperhatikan aspek sosiokultural lainnya,
misalnya masalah identitas bahasa dan kebangkitan etnisitas terutama pasca
reformasi dan di era otonomi. Hal ini semakin nampak dan berpotensi memicu
konflik antar etnis. Selanjutnya, pada saat terjadinya konflik sosial di beberapa
wilaya Indonesia yang rawan konlik, sering terjadi penonjolan simbol-simbol
etnisitas dan bahasa daerah sebagai alat komunikasi ekslusif intra etnis lokal yang
terlibat pertikaian (Marhum, 2006; Marhum, 2008). Selanjutnya Budiman
(2006:17) mengatkan kita sudah berhasil menyingkirkan rezim Orde Baru tapi
konflik etnik dan konflik budaya masih rawan terjadi di beberapa daerah seperti di
Sulawesi, Kalimantan dan Maluku. Budiman lebih lanjut mengatakan bahwa telah
terjadi kebagkitan nasional etnik yang di dasarkan pada persamaan bahasa,
budaya dan sejarah.

3. KEBANGKITAN BAHASA DAN ETNIS DI KABUPATEN TOLITOLI
Masyarakat di Tolitoli melihat bahwa adanya kebijakan Otonomi daerah telah
memberikan peluang kepada suku Toltoli untuk melestarikan dan mengembangkan
bahasa daerah Tolitoli. Ada sebahagian masyarakat melihat kebangkitan bahasa dan
etnis Toltoli dari sisi positif. Kelompok masyarakat tersebut menganggap bahwa
sebelum otonomi daerah bahasa dan budaya Tolitoli tenggelam atau hampir tidak
pernah kelihatan. Mereka yang mengatakan seperti ini terutama dari kalangan etnis
Tolitoli. Bahkan ada yang menambahkan bahwa era otonomi daerah adalah era untuk
memperkuat dan melestarikan bahasa dan budaya Tolitoli. Selanjutnya Menurut
informan BO13:
‘Adanya otonomi daerah sebenarnya tidak mempengaruhi sistem
budaya termasuk bahasa lokal. Justru otonomi ini merupakan
muatan NKRI yang menjadi akar penguatan NKRI dari daerah.
Jadi saya melihat bahwa dengan adanya otonomi daerah ini
malah lebih mengharmoniskan kehidupan antara etnis yang ada
di kabupaten Tolitoli’.

Di sisi lain BG 02 menyebutkan bahwa sejak otonomi daerah bahasa dan etnis
Tolitoli telah bangkit. Sekarang di kantor-kantor orang Tolitoli sudah mulai
menggunakan bahasa daerah mereka yaitu bahasa Tolitoli. Kalu dulu orang Tolitoli
malu menggunakan bahasa daerahnya tapi sekarang mereka tidak malu dan bahasa
dan identitas etnis itu makin muncul dalam era otonomi ini.
Hal seperti ini sudah nampak di kota Toltioli di mana dulunya masayarakat
kalangan generasi mudah dari etnis Tolitoli masih segan dan malu menampakan
identitas mereka melalui pemakaian bahasa Toltioli di tempat-tempat umum dan
perkantoran namun setelah otonomi daerah dicanangkan jumlah dan frekwensi
pemakaian bahasa Toltitoli semakin meningkat (BG02).
Di sisi lain BG01 mengemukakan bahwa budaya asli Tolitoli itu mulai muncul.
Munculunya bahasa dan budaya etnis Tolitoli juga lebih nampak dengan adanya
beberapa fasilitas publik dan gedung-gedung yang diberi nama menggunakan bahasa
daerah Tololitoli seperti Sakit Mokopido, Pasar Susumbolan, Gedung Olahrga dan
beberapa gedung perkantoran menggunakan nama dari bahasa daerah Tolitoli. Lebih
lanjut dikatakan oleh BG01:
‘Dengan bangkitnya bahasa dan identitas etnis Tolitoli artinya ke
depan tidak terlalu ini. Cuman, anunya itu e……..e……..apa kalu
menurut saya tidak usah seprti itulah. Kitakan ini orang
nasionalis. Kita ini satu tak usah ditonjol-tonjolkan politik
identitas etnis dan bahasa. Atau mungkin penduduk lokal merasa
terancam dengan penduduk migran. Mudah-mudahanlah tidak
seperti dugaan saya.

Sebagai masayarkat yang berasal dari etnis migran namun sudah lahir dan
dibesarkan di Tolitoli merasa perihatin dengan kondisi kebangkitan etnis dan bahasa
dala era otonomi ini. Nampaknya, ada kekhawatiran dengan terjadi politik identitas
etnis.

Secara umum kebangkitan bahasa dan etnis di kabupaten Tolitoli dalam era
otonomi menurut hasil penelitian lapangan belum berpotensi menimbulkan potensi
konflik etnis yang menghawatirkan. Namun, menurut beberpa informan yang dapat
dipercaya mengemukakan bahwa kebangkitan bahasa dan etnis Toltioli juga telah
menimbulkan kekahawatiran di antara suku-suku migran karena sebahagian mereka
berpandangan bahwa kebangkitan bahasa dan etnis Tolitoli akan menciptakan
fanatisme etnis dan dikotonomi etnis yang bisa berpeluang menciptakan kasus
deskriminasi etnis dan ketidak adilan sosial. Misalnya BG03 mengatakan bahwa sejak
otonomi daerah saya pernah dengar kata-kata yang saya tidak pernah dengarkan
sebelum adanya otonomi daerah. Kata-kata tersebut bernuansa politik identitas yang
merupakan implikasi dari kebangkitan bahasa dan etnis lokal. Lebih lanjut dikatakan
oleh BG03 ada kata-kata yang sering keluar dari mulut penduduk asli Tolitoli yaitu
bila mereka merasa tersudut sangat sering mereka berkata kepada penduduk migran,
‘Jangan kamu macam-macam melarang kami. Kamukan cuman orang pendatang’.
Menurut pendapat TO06, sekarang ini kayaknya ada perubahan signifikan dalam
hal sikap etnis Tolitoli terutama dari kalangan generasi mudah anu yach e e
e…..tadinya mereka malu-malu kucing dalam artian memperkenal identitasnya
melalui media komunkasi bahasa daerah.


Namun, sekarang suasana cukup berubah di mana kalangan kaum muda lebih terbuka
dalam hal penggunaan bahasa daerah Toltioli misalnya, lebih lanjut dikatakn oleh
TO06, ‘di mana kita ketemu di rumah, di kantor juga biasa kalu kita ketemu salam
pertamanya menggunakan bahasa Tolitoli, contohnya kalu kita tanya apa kabar dalam
bahasa Tolitoli, sopaimo kabar anaae?. Yach pio-pio dolea’. Kata-kata tersebut akhirakhir
ini sangat sering digunakan misalnya jika ketemu dengan senior-seniorlah,
teman-teman seperti pak Bupati. Namun, di sisi lain dikatakan oleh TO06, ‘ Bahasa
Tolitoli punya kelemahan yaitu tidak punya scprit seperti bahasa Bugis Makassar,
Jawa dan Bali sehingga dalam penulisan yang akurat atau spelling yang baku belum
bisa dipertanggung jawabkan secara linguistik. Jadi, sebelum otonomi daerah bahasa
Toltoli bisa dikatakan tenggelam dan hampir tidak pernah digunakan di tempattemapat
yang umum. Di samping itu suku Tolitoli masih agak terpinggirkan tidak ada
yang memegang posisi kunci baik di legislatif maupun di eksekutif. Namun, bahasa
dan etnis Tolitoli nampak semakin bangkit ketika ada Bupati yang berasal dari suku
Tolitoli.

Sebahagian besar penduduk migran menganggap bahwa bahasa Tolitoli
termasuk bahasa yang hampir punah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah penuturnya
yang semakin tahun berkurang. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan
bahasa Tolitoli hanya digunakan di beberapa desa terutama di wilayah kecamatan.

Toltioli Utara persisnya di desa Pinjan, Binontoan dan Lakuan. Sedangka di Pusat
Kota Tolitoli sendiri pengguanaan bahasa Toltioli hampir tidak pernah disaksikan
oleh warga migran. Sebaliknya bahasa Bugis dan Dialek Menado telah mendominasi
komunikasi pergaulan di Kota Tolitoli sejak tahun enam puluan. Hal ini disebabkan
karena kuatnya pengaruh etnis Bugis dan bahasa daerahnya dalam kehidupan seharihari
terutama dalam area perdagangan, perkebunan dan kehidupan nelayan di wilayah
Tolitoli. Demikian juga dialek Menado kuat pengaruhnya di Tolitoli karena gaya
bahasanya yang luwes dan agak jenaka serta cukup mudah diterima oleh kalangan
masyarakat yang gaul.

Menurut pemetaan bahasa dan dialek nampaknya, penutur bahasa Tolitoli
jumlahnya semakin hari semakin sedikit jumlah penuturnya hal ini juga diperkuat
oleh hasil penelitian Himelmen (2001), seorang pakar bahasa dari Jerman yang
pernah meneliti tentang kekerabatan bahasa Tolitoli. Himmelman mengatakan bahwa
jumlah penutur bahasa Tolitoli terus menurun jumlahnya dari tahun ke tahun. Namun,
setelah otonomi daerah sebahagian penduduk lokal yang diwawancara mengatakan
bahwa bahasa Tolitoli sudah mulai bangkit sejak bergulirnya otonomi daerah dan
kebetulan banyak elit-elit di pemerintahan kabupaten sekarang ini yang berasal dari
suku Tolitoli asli. Dari segi fakta dan angka, bahasa Tolitoli hanya banyak digunakan
di kecamatan Tolitoli Utara khususnya di desa Pinjan, Binontoan dan lakuan. Di
mana di tiga desa ini bahasa Tolitoli masih sangat kuat pengaruhnya. Sebaliknya, di
banyak kecamatan, bahasa Bugis sangat dominan dan bahakan orang-orang dari etnis
Tolitoli menggunakan bahasa Bugis dalam komunikasi mereka sehari-hari.

Sebaliknya di ibu kota Tolitoli dialek Manado dan dialek Bugis sangat kental. Hampir
semua penduduk dari berbagai etnis termasuk suku Tolitoli cenderung menggunakan
dialek dan logat manado dan Bugis. Di kota Tolitoli sendiri kalu dibagi menurut
Geografisnya dan dari aspek pemetaan logat dan dialek di kelurahan panasakan
cenderung di pengaruhi oleh logat Manado. Di kelurahan baru sebaliknya sangat
dipengaruhi oleh logat dan dialek Bugis. Di kelurahan Tuweley, lebih menarik karena
di kelurahan ini telah berbaur dua logat yang dominan yaitu logat manado dan Bugis.
Sebaliknya di Kelurahan Nalu dan Tambun sejak otonomi daerah bergulir nampaknya
bahasa Tolitoli mulai bangkit jumlah penuturnya. Namun, sebelumnya bahasa dan
dialek Bugis lebih dominan.

Dalam pneggunaan bahasa lokal etnis migran seperti suku Bugis dan suku Buol
misalnya adalah dua suku migran yang masih sangat kuat dalam hal mempertahankan
bahasa daerah di Tolitoli. Suku Bugis yang ada di Tolitoli hampir selalu
menggunakan bahasa daerah mereka terutama dalam konteks yang tidak formal
seperti di Pasar-pasar, di masyarkat dan di rumah masing-masing. Demikian juga
suku Buol yang berdomisili di Tolitoli tetap menggunakan bahasa daerah mereka
dalam konteks yang sama. Namun, segi dialek dan logat ternyata logat Manado yang
berasal dari Sulawesi Utara dan logat Bugis dari Sulawesi Selatan cukup medominasi
komunikasi lisan yang umum di Tolitoli.

Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, pada umumnya sikap
pemerintah terhadap ketahanan bahasa daerah Tolitoli cukup beragam dan tergantung
dari pada individu yang duduk dalam pemerintahan. Pejabat yang berasal dari etnis
Tolitoli misalnya, telah menyadari bahwa bahwa bahasa Tolitoli bisa terancam punah
dan bahkan bisa punah jika tidak ada tindakan nyata dari pihak permerintah untuk
melestarikan bahasa Tolitoli melalui lembaga pendidikna formal. Demikian juga
pihak pemerintah telah memberikan kesempatan sekolah-sekolah dasar di daerah
untuk menggunakan pengajaran di kelas melalui penggunaan dewi bahasa dalam
menjelaskan pelajaran di sekolah terutama untuk anak-anak di daerah terpencil yang
mana bahasa daerah Tolitoli masih sangat dominan dengan tujuan pertama untuk
mempermudah siswa memahami pelajaran dan sekaligus untuk melestarikan bahasa
daerah melalui pendidikan formal.

Sejak bergulirnya kebijakan otonomi daerah telah muncul banyak paguyuban
atau kerukunan keluarga dari suku-suku tertentu di kabupaten Tolitoli. Yang menarik
diamati menurut BG05 ada organisasi sosial kerukunan etnis dominan di kabupaten
Tolitoli yang kepemimpinannya terbagi dua sehingga organsasi itu pecah menjadi dua
yaitu organisasi KKSS versi pemeirntah dan organisasi KKSS versi kelompok
tertentu dari masyarakat. Namun, menurut informan yang dapat dipercaya pecahnya
orgnasiasi KKSS menjadi dua ditengarai sangat berbau politis dan ditunggangi oleh
elit-elit tertentu untuk kepentingan politik.

Dari hasil peneilitian di lapangan, dapat dikatakan bahwa sebenarnya potensi
konflik secara terbuka antar etnis lokal dan etnis migran tidak ada. Namun, dari hasil
wawancara dengan beberapa informan dari etnis lokal dan etnis migran secara
implisit dapat disimpulkan bahwa dominasi etnis Tolitoli dalam sektor pemerintah di
era otonomi ini telah menimbulkan kehawatiran bagi kalangan etnis tertentu yang
jumlahnya cukup dominan dan punya pengaruh signifikan dalam banyak sektor
pembangunan (BG.04 dan BG05).

Potensi konflik nampaknya bisa muncul terutama menjelang kampanye
politik dan bergulirnya calon kepala daerah yang akan memimpin kabupaten Tolitoli.
Pada waktu menjelang Pilkada Bupati tahun 2004 lalu menurut informan TO09
terjadi gesekan politik yang bernuansa SARA yang berupa penonjolan poilitik
identitas. Suasana pada saat itu sempat terjadi tindakan anarkis di mana rumah ketua
KPU yang notabene berasal dari suku Tolitoli diserang dilempari batu. Berunutung
ketua KPU segera menyelematkan diri. Demikian juga pada waktu itu rumah seorang
politik dan aktivis yang berasal dari etnis Bugis sempit dirusaki oleh massa dari etnis
Tolitoli. Jadi menurut informan TO09, ada kelompok dari etnis tertentu yang duluan
memancing suasana tegang. Sebaliknya, dalam suasana kampanye politik menjelang
Pemiliu dan Pilkada di kabupaten Tolitoli sekarang ini sedikit berubah, dimana
ketegangan terjadi bukan diasosiakan dengan afiliasi etnis dan penonjolan identitas
etnis dan bahasa tapi terjadi gesekan yang mengarah pada persaingan partai dan
figure.
 
4. KESIMPULAN
Sikap masyarkat kabupaten Tolitoli terhadap isu kebangkitan bahasa dan etnis
secara umum dapat dilihat dari dua sikap yang berbeda. Di satu sisi, ada sebahagian
masyarakat yang melihat kebangkitan bahasa dan etnis Tolitoli dari sisi positif dan
potensi tercipatanya sikap menghargai multikulturalisme serta mengharapkan
terjadinya asimilasi yang baik antara penduduk lokal dan saudara-saudaranya dari
penduduk migran. Di sisi lain, ada sebahagian masyarakat yang melihat bahwa
kebangkitan bahasa yang juga dikenal sebagai politik identitas berpeluang
menciptakan fanatisme etnik dan lingusitik yang punya potensi menciptakan dikotomi
entis dan deskriminasi etnis.

Kebangkitan bahasa dan etnis tidak akan berpeluang menciptakan konflik etnis
dan ketegangan sosial apabila pemerintah memiliki kemauan politik untuk mengelola
kehidan multikultural dan pluralis di kabupaten Tolitoli. Namun, menurut sebahagian
informan bahwa perlakuan tidak adil dari kelompok elit yang dominan dalam
pemerintahan di kabupaten Tolitoli bisa berpeluang menciptakan potensi konflik
sosial.

Potensi konflik bahasa dan etnis antar penduduk lokal dan penduduk migran
tidak terlihat ekspilisit. Namun, dari hasil studi lapangan dapat disimpulkan bahwa
etnis yang dominan dan sangat berpengaruh dalam memainkan peranan penting dapat
menciptakan potensi konflik etnis jika tidak ada sikap saling pengertian dan toleransi
Elit-elit dari kalangan etnis terntentu yang dominan sewaktu-sewaktu dapat
meciptakan ketegangan sosial dan ketengan politik. Akhirnya, dapat disimpulkan
bahwa isu politik dalam bentuk perebutan kekuasaan lebih dominan dan sangat
berpengaruh dalam hal terciptanya potensi konflik. Dominasi kelompok elit partai
atau organsasi politik lebih dominan akhir-kahir ini dibandingkan dengan isu etnis
dan bahasa.


DAFTAR PUSTAKA
AACLAME (1990), The National Policy on Languages: Report to Minister for
Employment, Education and Training by the Australian Advisory Concil on
Languages and Multicultural Education, Canberra.

Ager D. (1996) Languages Policy in Britain and Frances: The Process of Policy. Cassell
P.1-29.

Anwar, D.F. dkk. (2005). Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-
Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Yayasa Obor Indonesia LIPI, Jakarta.
Budiman, A. (2006), Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005.
Freedom Institute. Jakarta.

Arifin, N. (2008), Dialog Interaktif tentang Politik Identitas dan Otonomi Daerah. Metro
TV. Jakarta.

Bhakti, I.N. (2005), Hak menentukan diri sendiri di Papua: Pilihan antara kemerdekaan
dan Otonomi. Dalam Anwar dkk (Editor), Konflik Kekerasa Internal: Tinjauan
Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.

BPS Tolitoli (2001), Kabupaten ToliToli dalam Angka (District of ToliToli in Figures).
Badan Pusat Statistik Kabupaten ToliToli, Indonesia

Bruthiaux, P. (2002) Predicting challenges to English s a global language in the 21st
century. In Dasgupta & Tonkin (eds), Language Problems & Language Palnning
Journal Vol 26, P. 129-157.
Chaer, A. & Agustina, L. (2004), Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta, 176-183.
Clampitt, S. (1995) Nationalism, Native Language Maintanance and the Spread of
English : A Comparative study of the cases of Guam, the Philippines and Puerto
Rico. (On line Access 16 February 2003).
Http//:www.ponce.inter.edu/vl/thesis/Sharon
Cook, P.A (1994) Cultural Politics of English as an International Language. Longman.
Cooper, R.L (1989) Language Planning and Sosial Change. Cambridge : Cambridge
University Press, p.45.
Corson, D (1997) Language policies for indigenous People, in wodak and Corson (eds),
Encyclopedia of Language and education. Volume 1: Language Policy and
Political Issues in Education, Kluwer Academic Publisher, Netherland, p.77-87.
Cribb, R. (2005), Pluarilisme hukum, desentralisasi, dan akar kekerasan di Indonesia.
Dalam Anwar dkk (Editor), Konflik Kekerasa Internal: Tinjauan Sejarah,
Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Yayasan Obor Indonesia LIPI,
Jakarta.
Crystal D.(1997), English as a Global Language. Cambridge University Press
Crystal, D (2000), Language Death. Cambridge University Press.
Creswell, J.W (2005), Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and
Qualitative Research, Merrill Prentice Hall, New Jersey.
Dijk, K.V. (2005), Mengatasi Separatisme: Apakah ada jalan keluar?. Dalam Anwar dkk
(Editor), Konflik Kekerasa Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan
Kebijakan di Asia Pasifik. Yayasan Obor Indonesia LIPI. Jakarta.
Djite, G.D. (1994), From Language Policy to Language Planning: An Overview of
Languages Other than English. National Languages and Literacy Institute of
Australia, p. 63-67
Durie, M. (2004) the Politics of Maori Self Determination.Oxford University Press, p.59-
75
Fasold, R (1984), the Sociolinguistics of Society. Basil Blacwell publisher, England,
p.213 – 242.
Fishman, J.A (1999), Handbook of Language and Ethnic Identity. Oxford University
Press, New York, p.444-453
Hidayat, S (2004), Kegamangan Otonomi Daerah, Pustaka Quantum, Jakarta, p.59-81.
Keeves, J.P and Sowden, S. (1997), Descriptive data Analysis of, in Keeves, J.P(ed)
Educational Research, Methodology and Measurement: An international Hand
Book: Second Edition, Flinder University, P.296-305.
Himmelman, N.P. (2001), Source Book on Tomini-ToliToli Languages: General
Information and World Lists. The Australian National University, Canberra, p. 19-57.
Hugh,M.dkk. (2002), Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah,
Mengelola dan Mengubah Konflik bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras.PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kivimäki, T. (2005), Penelitian konflik suku dalam masyarkat multi-budaya. Dalam
Anwar dkk (Editor), Konflik Kekerasa Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-
Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Yayasan Obor Indonesia LIPI. Jakarta.
Kopong, E (1995), Culture and Schooling : An Exploratory Study of Curriculum
Decentralisation in Indonesia, Unpublished PhD. Thesis, Flinders University of
South Australia.
Lechner, F.J & Boli, J. (2005), World Culture : Origins and Consequences. Blackwell
Publishing, USA.
Liddle R.W., (1996) Leadership and Culture in Indonesia Politics. Asian Studies
Association of Australia in association with ALLEN & UNWIN Sydney.
Australia, p.15-224
Madjid, N (1999) Politik Indonesia Contemporer. In Nadroh (ed), Wacana keagamaan &
Politik Nurcholis Madjid. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, P.188-226
Marhum, M (2005) Language Policy and Educational Decentralization in Indonesia.
Unpublished Ph.D Disertation. Flinders Universty, South Australia.
Marhum, M (2006), Language Maintenance in the Era of Decentralization in Kabupaten
Tolitoli. A paper presented in the International Conference on Language Gender
and Sustainability in Collaboration with Frankfut University of Germany.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar