Selasa, 21 Februari 2017

POLITIK IDENTITAS DALAM PERSPEKTIF PIMORDIALISME


Oleh Mochtar Marhum
Euporia kebangkitan Etnis dan kultur melalui politik identitas mulai terlihat pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan digulirkan kebijakan otonomi daerah.
Di beberapa daerah politik identitas ada yang mulai nampak terutama dalam hal promosi jabatan dan rekrutmen pada sektor formal. Posisi strategis di beberapa daerah yang mengusung politik identitas di didominasi oleh figur-figur dari kelompok suku tertentu atau clan dinasty tertentu. Bersamaan terlihat praktek oligarki politik di beberapa daerah tertentu.
Kata fanatik yang berkonotasi politik tentu berkaitan dengan kebijakan dan perencanaan (Policy and planning).
Jargon Politik dan fanatik kesukuan di satu sisi bisa baik karena dapat membangkitan semangat primordialisme tapi di sisi lain bisa menjadi ancaman bagi persatuan masyarakat jika bersifat eklusif dengan dubumbui ikatan emosional kesukuan.
Ethnic, cultural and linguistic revival (Kebangkitan Etnis, budaya dan bahasa daerah) tidak bisa hanya melalui kebijakan atau prencanaan dari atas (Top Down Policy) dan ini hanya bersifat artificial dan tidak alami, sulit dan sifatnya keropos dan mudah gagal fakta sejarah telah membuktikannya.
Kebangkitan etnis justru kelihatan baru pada tataran elit terutama mereka yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan punya posisi yang sangat berpengaruh di masyarakat.
Idealnya kebangkitan etnis, kultur dan bahasa harus bersifat alami dari masyarakat bawa atau Bottom up, namun paradigma Bottom agak mustahil terwujud jika masyarakat bawa banyak yg masih terbelakang dan kurang perhatian dari pemerintah untuk memajukan mereka liwat program perbedayaan masyarakat. Peranan pendidikan formal cukup signifikan dalam hal ini.
Politik identitas itu lazim terjadi di negara sedang berkembang dan membawa efek plus dan munus. Efek plusnya ketika kelompok etnis tertentu bisa bangkit dan berkembang tapi mampu menciptakan kesejahteraan dan keharmonisan kehidupan sosial. Sebaliknya efek minusnya bisa muncul jika para elit politik hanya memiliki pandangan ekskusif dan menghidupkan praktek nepotisme. Promosi jabatan dan rekrutmen pegawai tidak berdasarkan kebutuhan (needs) tapi lebih terpengaruh dengan keinginan (wants).
Penulis: Akademisi UNTAD (Dosen dan Peneliti), Concerned dgn Isu Sosial Humaniora, Konsentrasi Bidang Ilmu Bahasa, Budaya, Etnis dan Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar