Kamis, 26 April 2018

BUDAYA LITERASI DI MASYARAKAT YANG BERBUDAYA


Oleh Mochtar Marhum
SEJARAH BUDAYA LITERASI
Banyak bangsa yang telah lama memiliki peradaban maju. Mereka punya budaya literasi yang telah lama berkembang dan tetap terpelihara bahkan sejak zaman purba.
Dalam catatan sejarah, budaya literasi telah berkembang sejak masa pra-sejarah dan sejak manusia menggunakan bahasa. Di Cina Budaya Literasi lahir sejak 1300 SM, di Mesir sejak 2300 SM dan di Meksiko sejak 600 SM.
Bangsa Arab yang eksis di lebih dua puluh negara dan terletak di Timur Tengah dan Afrika telah lama memiliki budaya dan sistem literasi yang maju, demikian juga bangsa Cina, Jepang, India dan Thailand dan Indonesia.
Bangsa Eropa telah jauh lebih lama memiliki pradaban dan budaya literasi yang berkembang. Budaya literasi Bangsa Eropa pada umunya telah ditularkan ke negara-negara koloninya di Amerika Utara, di Asia-Oceania, Afrika dan Amerika Latin. Banyak suku bangsa yang telah lama memiliki huruf (script) dan angka (numeric) dan menggunakan bahasa ibu (Mother Tongue). Budaya baca tulis telah lama diajarkan.
Kemajuan suatu bangsa juga ditandai dengan berkembangnya budaya literasi di berbagai aspek kehidupan. Bangsa-bangsa yang maju dulu ditandai dengan peradaban literasi. Dan zaman dulu telah ada banyak suku dan bangsa yang memiliki peradaban literasi. Di wiliayah Asia Selatan dan Asia Tenggara huruf sansekerta telah lama berkembang dan sampai saat ini masih dirawat dan dibudayakan.
Di Indonesia sendiri etnis yang dominan memiliki bahasa daerah dan hurufnya sendiri (Ethnic Language Script) seperti Suku Bugis-Makassar, Jawa dan Bali serta suku-suku yang dominan di Sumatra juga memiliki bahasa daerah dan budaya literasi yang berkembang. Bahasa daerah dan budaya literasi lokal tetap terpelihara dan diajarkan di lembaga pendidika formal.
Dulu budaya literasi dikembangkan melalui mekanisme yang berbau hardcopy dan manual. Sebaliknya di zaman now budaya literasi berkembang pesat melalui teknologi digital, mekanisme soft copy dan electeonic file.
DAMPAK BUDAYA LITERASI
Pernah ada penelitian dosen Ilmu Kedokteran di Amerika tentang budaya literasi dan upaya pencegahan penyakit kepikunan yang berhubungan dengan kemampuan nalar seseorang.
Dari hasil termuan (research findings) ditemukan bahwa masyarakat yang rajin nulis dan membaca akan terhindar dari penyakit kepikunan dan mereka pada umumnya punya kemampuan berfikir atau bernalar lebih cepat.
Era zaman now dengan teknologi Digital masyarakat lebih mudah melakukan aktivitas literasi dengan instan melalui teknologi informasi. Mereka menggunakan laptop, smart phone atau tablet untuk mengembangkan budaya litersi.
Zaman now mungkin banyak orang yang lebih senang akses internet dan berselancar di dunia maya menggunakan Gadget. Indonesia menempati urutan ke empat ranking dunia pengguna internet dan media sosial terbanyak.
Banyak yang mungkin lebih senang nulis status di medsos pakai Smart Phone dari pada gunakan Laptop atau Komputer (PC) seperti zaman old. Dan process nulis dan baca menggunakan smart phone mungkin jauh lebih cepat.
Juga zaman now banyak orang yang sudah terbiasa nulis dengan kecepatan nulis di atas rata-rata apalagi kalau pernah mengikuti tes nulis melalui tes bahasa yang berstandar internasional. Atau mungkin pernah mengikuti pelatihan jurnalistik dan keterampilan literasi.
Ada mungkin yang mampu nulis status di FB hanya membutuhkan waktu sekitar satu menit atau nulis artikel yang panjang sampai 250 kata (sekitar dua halaman lebih kertas Quarto) dan hanya menggunakan Iphone bukan laptop.
Mungkin ada pula yang mampu nulis artikel atau esai yang panjang hanya membutuhkan waktu sekitar 20 sampai 30 menit untuk menyelsaikan tulisan tersebut tapi terkadang mungkin belum diedit atau belum prove reading.
BUDAYA LITERASI DI PERGURUAN TINGGI
Yang pernah mengikuti pendidikan tinggi di luar negeri terutama di negara-negara English Speaking Countries pasti sudah terbiasa dan terlatih nulis cepat karena dulu mungkin pernah mengikuti latihan nulis cepat liwat writing skills melalui pelatihan tes TOEFL (Tes of English as A Foreign Language) dan IELTS (International English Language Test System) tapi menggunakan data bukan fiksi.
Di perguruan tinggi rata-rata mahasiswa diajarkan keterampilan bahasa (language skills) dan pada umum keterampilan bahasa yang terkait dengan budaya literasi diajarkan di kampus terutama di Program Studi Bahasa, Budaya dan Sastra atau Ilmu Budaya (Humaniora) dan di Program Studi Pendidikan Bahasa.
Namun, juga pada umunya semua mahasiswa di setiap program studi diajarkan matakuliah bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan fokus pada keterampilan menulis dan membaca melalui critical reading dan critical thinking.
Budaya literasi juga sangat erat kaitannya dengan mata kuliah yg berhubungan seperti mata kuliah menulis (writing skill), Keterampilan membaca (Advanced Reading), mata kuliah Languages for Journalism (Penggunaan Bahasa di Media), Interpretation and Translation (Ilmu Tafsir dan Terjemahan).
Beban mengajar dosen beda dengan beban ngajar guru sekolah dasar atau guru sekolah menengah karena dosen biasa rata-rata ngajar hanya satu atau dua mata kuliah sehari beda denga guru jamnya kayak jam orang masuk kantor. Sehingga rata-rata dosen punya waktu relatif lebih banyak untuk digunakan mengembangkan aktivitas budaya literasi terutama kegiatan membaca dan menulis.
BUDAYA LITERASI DI MEDIA SOSIAL
Zaman now terkait dengan budaya literasi, rata-rata orang kalau nulis biasa menggunakan media sosial dan menulis status atau posting gunakan Smart phone pasti lebih cepat dan apalagi hanya share berita dari media mainstream.
Banyak yang berteman/berlangganan dengan banyak media mainstream di FB jdi kalu ada berita yg menarik tinggal di-share biar ikut budayakan Literacy di medsos.
Cuman mengembangkan bidaya literasi juga harus bersamaan mengembangkan budaya santu. Misalnya kalau nulis dan nyentil teman-teman di media sosial janganlah vulgar alias kasar dan juga jangan lupa ngaca biar tidak ngaco tulisannya di status. Sebab kalau nulis tidak ngaca atau tidak mampu prove reading atau editting (ngaca) tidak heran kalau bisa terjadi insiden pelaporan atau lebih sadis terkadang terjadi kasus main hakim alias kasus penganiayaan mungkin timbul karena kasus keterainggngan misalnya.
Namun, hal-hal yang terkait dengan insiden dan aksi yang kurang terpuji tersebut sebaiknya tidak terjadi karena kalau ada yang tersinggung atau tidak berkenan dengan suatu tulisan sebaiknya yang bersangkutan minta klarifikasi atau menggunakan semacam hak jawab.
Kalau nulis status di medsos atau artikel sebaiknya punya kemampuan menggunakan Diksi (Diction) atau kemampuan memilih kosa kata yang tepat dan nulis harus sangat berhati-hati (Prudent) biar tidak ada teman yg merasa tersakiti atau tersinggung.
Menulis dengan gaya humoris dan jenaka mungkin salah satu pendekatan yang terbaik dan nulis dengan gaya diplomatis juga mungkin bisa menghindari insiden kesalah-fahaman atau ketersinggungan. Dan melalui gaya diplomatis, mungkin informasi yang ingin kita sampaikan bisa diterima oleh pembaca yang melek literasi.
Penulis: Kolumnis Free-lance dan Akademisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar