Selasa, 03 April 2018

ANTARA KASUS PENIPUAN BERKEDOK AGAMA DAN KASUS PENISTAAN AGAMA BERDIMENSI POLITIK


Oleh Mochtar Marhum
Sejak zaman Old sampai Zaman Now isu agama sering menjadi polemik terutama ketika isu agama dibawa ke ruang publik.
Kasus kejahatan berkedok agama termasuk kasus penipuan dan kasus penistaan agama hampir selalu menjadi headline berita di media mainstream dan tagline di media sosial.
Kasus penistaan agama (Blasphemy) di negara yang berpenduduk majoritas Muslim di Timur Tengah, Asia Selatan dan Benua Afrika sering rentan terjadi. Kasus penistaan agama terutama sering terjadi di negara-negara yang masyarakatnya konservatif, sangat religius dan memghormati nilai-nilai agama.
Di beberapa negara Asia Selatan seperti Pakistan, Parsia (Iran) dan Timur Tengah, kasus penistaan agama hukumannya sangat berat dan demikian juga di beberapa negara di Jazirah Arab, kasus penistaan agama hukumannya juga bahkan lebih berat lagi.
Sebaliknya di negara-negara Demokrasi Liberal yang masyarakatnya Sekuler dan di negara komunis, kasus penistaan agama hampir tidak pernah kedengaran.
Di negara-negara komunis tentu pada umumnya masyarakatnya tidak punya urusan lagi dengan agama dan sebaliknya di negara-negara sekuler masyarakatnyanya makin jauh dengan kehidupan spiritual bahkan banyak yang mulai atheis dan nampaknya kehidupan materialistik jauh lebih menonjol ketimbang kehidupan spiritual.
Namun, dari perspektif sejarah masa lalu kasus penistaan agama dahulu kala di negara-negara barat seperti di Eropa Barat juga sangat sensitif dan sangsi hukuman bagi pelaku penistaan agama juga cukup berat.
Beberapa kasus kejahatan berkedok agama kelihatan lebih berdimensi isu Sosial-Ekonomi contoh kasus penipuan travel umro (First Travel, SBL dan Abu Tour), kasus korupsi Alquran, kasus Penipuan Komunitas Kanjeng Dimas dan Kasus Gatot Brajamuati yang juga pernah jadi guru spiritual di kalangan artis.
Kasus Penistaan Agama Mungkin Lebih Berdimensi Ke Isu Sosial-Politik contoh kasus Ahok saat Kampanye Pilkada DKI tahun lalu yang kini Ahok telah divonis Penjara dan yang lagi hangat disoroti media dan jadi polemik saat ini yaitu kasus Puisi Sukmawati yang diduga mengandung unsur penistaan agama.
Dua kasus tersebut mungkin kelihatan sangat sexy dan sensitif. Dikatakan sexy karena laris jadi bahan berita di media dan dikatakan sensitif karena merupakan isu SARA yang bisa berpotensi memicu konflik sosial.
Isu agama masih jadi isu yang paling laris dan telah jadi trending topik yang paling genit di media sosial dan media mainstream.
Di mata orang bijak dan orang baik, isu agama tidak akan dikembangkan menjadi isu yang provokatif dan agitatif apalagi di tahun politik yang sering mudah terjadi kerawanan sosial.
Masih banyak orang yang belum trampil menggunakan kata-kata yang tepat dalam bertutur baik secara lisan maupun tulisan terutama dalam kalimat dan phrase (Diction) dan masih banyak yang belum mampu berhati-hati menggunakan kata-kata dalam bertutur (PRUDENT).
Di luar niat dalam mengartikulasikan gagasan atau pendapat seseorang, dari perspektif linguistik, kasus penistaan agama dan fitnah mungkin bisa jadi disebabkan juga oleh persoalan Diksi (Diction) dan Prudent.
Di mata orang terpelajar dan intelektual isu agama dapat dipahami dan bisa dijadikan pengalaman dan pelajaran penting kepada masyarakat agar lebih berhati-hati.
Namun, semua kasus yang telah terindikasi merupakan pelanggaran hukum haruslah diserahkan kepada pihak penegak hukum untuk selanjutnya diprocess (due process of law). Nanti Pengadilan yang akan memutuskan apakah seseorang itu bersalah (Guilty) atau tidak bersalah (Innocent) berdasarkan sejumlah bukti, fakta dan kesaksian di pengadilan nati.
Yang jadi pertanyaan penting saat ini ialah apakah ada yg mungkin ingin menjadikan kedua kasus tersebut sebagai komoditas politik dan alat propaganda di tahun politik ?.
Penulis: Kolumnis Independent dan Akademisi UNTAD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar