Jumat, 30 Maret 2018

ISU PEMILHAN REKTOR PERGURUAN TINGGI NEGERI DAN TRANSFORMASI PENDIDIKAN TINGGI MENUJU PARADIGMA YANG INKLUSIF DAN DEMOKRATIS


Oleh: Mochtar Marhum
Kebijakan Pemilihan Rektor di Perguruan Tinggi Negeri saat ini telah jauh berbeda jika dibandingkan dengan kebijakan pemilihan Rektor PTN di masa lalu terutama masa sebelum Era Reformasi.
Persyaratan untuk menjadi Rektor di Perguruan Tinggi Negeri yang telah berstatus BHMN juga berbeda dengan persyaratan Pemilihan Rektor di Perguruan Tinggi yang masih berstatus BLU.
Di Perguruan Tinggi BHMN persyaratannya sudah lebih terbuka dan modern mirip kebijakan pemilihan Rektor di Perguruan Tinggi di negera-negara maju yang mengutamakan paradigma terbuka dan mengandalkan merit system (Manajemen Terbuka) dan jauh dari paradigma suka tidak suka (like or dislike) apalagi pendekatan nepotisme.
Sebaliknya Perguruan Tinggi Negeri yang berstatus BLU masih belum banyak berubah secara signifikan walaupun harus tunduk pada aturan dari Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi terutama menyangkut keikutsertaan pejabat kementrian dalam menentukan keterpilihan seorang rektor PTN.
Kini dalam hal pemilihan rektor PTN intervensi 35% suara dari kementrian juga menjadi pertimbangan utama untuk keterpilihan rektor PTN. Dan juga persyaratan teknis lainnya yang umum antara lain calon rektor PTN harus berusia misalnya maksimum sekitar 56 tahun, bergelar Doktor dan punya pangkat akademik Lektor Kepala dengan ruang pangkat/golongan minina IV/a. Persyaratan lainnya pernah jadi ketua jurusan atau yang sederajat dan pernah jadi wakil dekan atau wakil rektor atau yang sederajat.
Paradigma pemilihan rektor PTN saat ini juga sudah lebih terbuka dan mengutamakan akuntabilitas dan transparansi. Misalnya semua calon rektor PTN harus membuat laporan kekayaan secara jujur dan transparan dan kemudian akan diverifikasi oleh komisoner KPK atau petugas yang berwenang.
Kembali ke masa lalu, disadari bahwa fakta sejarah membuktikan bahwa dulu Rezim Dirjend Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Sekarang Kementrian) dulu pernah dikuasai oleh pejabat Kementrian yang punya background akademisi dari Perguruan Tinggi non-kependidikan (LPTK) atau Non-IKIP seperti dari UI, IPB, ITB, UNPAD, ITS, UNAIR, ITS dan dua perguruan tinggi di luar jawa yaitu UNHAS dan UNAND (Universitas Andalas Padang).
Ada dugaan bahwa hegemoni dan dominasi pejabat di Departemen Pendidikan berasal dari akademisi yang punya latar belakang Non-LPTK (Non-Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan) mungkin telah mempengaruhi pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan untuk menetapkan bursa calon Rektor Perguruan Tinggi negeri se-Indonesia saat itu.
Banyak yang bersepekulasi dan mengatakan bahwa itulah sebabnya sehingga mereka sesuka hatinya membuat kebijakan yang mungkin secara implisit menolak calon Rektor PTN dari background LPTK. Dan di zaman old itu pula, banyak dosen dan alumni IKIP, FKIP dan STIKIP merasa termarjinal tapi semoga dugaan itu hanya bersifat baper (sensitif) atau mungkin hanya perasaan oknum.
Ada contoh nyata yang mungkin menarik dan bisa dijadikan pengalaman dan refleksi yang sangat berharga menyngkut isu pemilihan rektor di UNTAD dulu. Mungkin berdasarkan kebijakan yang implisit dari Dirjend Pendidikan Tinggi ketika itu sehingga Prof. Aminuddin Ponulele yang waktu itu dosen (Guru Besar) di FKIP UNTAD harus dipindahkan ke Fakultas Pertanian dan kemudian baru diusulkan jadi Rektor UNTAD. Dan akhirnya beliau berhasil menjadi Rektor UNTAD selama dua priode sebelum menjadi Gubernur Sulawesi Tengah dan Ketua DPRD Sulawesi Tengah sampai saat ini.
Kini sejak era reformasi paradigma dan kebijakan pendidikan tinggi mulai berubah dan dosen LPTK juga telah diberi berpeluang bisa jadi Rektor dan apalagi pasca kebijakan perubahan Perguruan Tinggi LPTK (IKIP) seluruh Indonesia ditransformasi menjadi Universitas Negeri oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Oleh Kementrian Agama diadakan Reformasi dan Transformasi sejumlah Peguruan Tinggi Keislaman (IAIN) di Indonesia menjadi universitas negeri, Universitas Islam Negeri (UIN) menyusul dilakukakn reformasi pendidikan tinggi dan perubahan kebijakan kurikulum yang lebih berorientasi pada kajian subject content termasuk kajian ilmu murni (Pure Science).
Jadwal dan kegiatan pemilihan rektor UNTAD sebagai salah satu PTN di kawasan timur Indonesia kini telah dibuka. Tahapan rekrutmen bakal calon (Balon) kini juga telah dimulai. Sejumlah calon yang memenuhi syarat kini telah digadang-gadang untuk maju bertarung di Pemilihan Rektor UNTAD bulan Sepetember 2018.
Isu yang berkembang, sempat viral dan jadi tranding topik di sejumlah grup medsos internal antara lain isu peluang alumni jadi rektor dan isu peluang akademisi dari LPTK ikut bertarung.
Namun, banyak yang berharap semoga racun hoaks dan isu SARA tidak akan dijadikan komoditas politik dan jadi senjata pamungkas untuk meraih ambisi kursi Rektor UNTAD dan tentu juga diharapkan tidak akan jadi polutan yang bisa mencemari bursa pemilihan rektor UNTAD 2018
Penulis: Akademisi UNTAD dan Ketua Forum Dosen Indonesia Sulawesi Tengah (DPD FDI SULTENG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar