Selasa, 17 April 2018

ANTARA TOKOH POLITIK, TOKO DAGANG DAN ISU SARA


Oleh Mochtar Marhum
Orang yang bijak, cerdas, religius dan sangat mencintai negeri ini setiap bertutur pasti sangat berhati-hati. Selalu memilih kata-kata yang tepat (Diksi) dan selalu prudent yaitu sangat berhat-hati setiap mengartikulasikan ide dan argumentasinya.

Jadilah tokoh politik, toko bangsa dan tokoh agama yang baik yaitu selalu menciptakan suasana yang sejuk dan harmonis walaupun saat ini telah memasuki tahun politik dan susana suhu politik semakin meningkat dan sering menimbulkan ketegangan dan riak-riak.

Beda Tokoh Politik dan Toko Dagang. Kalau tokoh politik mengandalkan modal sosial dan toko dagang mengandalkan modal finansial.

Tokoh politik sering mengharapkan keuntungan politik (political benefit) dan menghindari kebuntungan politik (Political loss). Sebaliknya toko dagang mengharapkan keuntungan finansial (Financial profit) dan selalu menghindari kerugian komersial (Bussines loss).

Idealnya tokoh politik dan toko dagang tidak mengeksploitasi tahun politik untuk memperoleh keuntungan yang merugikan bangsa ini.

Toko politik mungkin ada yang menjual wacana pergantian rezim tahun 2019 dan toko dagang mungkin ada yang menjual kaus bertuliskan "2019 Ganti Presiden" dan semua itu merupakan hak semua pihak dan dijamin oleh Undang-Undang apalagi di negara demokrasi semua warga negara berhak mengeluarkan pendapat politik yg diinginkan dan sekaligus berhak meraup pendapatan komersil yang diharapkan.

Beda dengan di negara sistem totalitarian dan sebagian di negara dgn sistem Monarki Absolut atau feodal. Di mana rakyat sering sulit mengeluarkan pendapat dan juga sangat sering sulit merauf pendapatan.

Mengeluarkan pendapat yg terindikasi mengandung content atau ujaran yg menyinggung pemerintah bisa dibui dan sadisnya lagi sering tanpa melalui due process of law yang fair.

Di negara yg disebut di atas tadi, bisnis dikuasai oleh royal family alias keturunan dara biru dan di negara sistem totalitarian hanya elit politik di inner cyrcle yang menikmati kesejahteraan plus. Rakya jelita lebih nyaman hidupnya dibandingkan rakyat jelata.

Zaman now di tahun politik nampak dengan jelas ada indikasi upaya penggiringan Sentimen Agama dan upaya memainkan isus SARA. Menarik isu SARA dan Sentimen agama ke ruang publik sama dengan memantik api provokasi dan agitasi untuk memancing timbulnya benih-benih hostility (permusuhan) di masyarakat.

Isu SARA dan dugaan penggiringan sentimen agama di tahun politik menjadi alat propaganda dan komoditas politik yg paling laris tapi akibat atau resiko yg ditimbulkan bisa sangat-sangat berbahaya.
Harus diwaspadai karena Isu SARA dan Sentimen Agama tidak hanya bisa mencedrai prinsip Demokrasi tapi juga dampaknya tentu sangat berbahaya dan merugikan semua pihak karena bisa berpotensi memecah belah persatuan bangsa dan atau bahkan bisa berpotensi membawa ancaman disintegrasi bangsa.

Idealnya politisi dan simpatisannya lebih dominan hanya mengemukakan kelebihan dan potensi yg dimiliki pemimpin yg idolakan dan menghindari isu SARA dan Sentimen agama di ruang publik.
Mau memperkenalkan kepada khalayak luas semua prestasi dan program kerja yang ideal dari pemimpin yang diidolaknnya.

Juga selalu mau menerima kritikan yang konstruktif, inovatif dan inspiratif tapi bukan hujatan dan fitnah yang merugikan kubuh lawan politik.

Penulis: Kolumnis dan Akademisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar