Sabtu, 05 Mei 2018

MENGGUGAT KEPERCAYAAN MEDIA MAINSTREAM DAN MEDIA NON-MAINSTREAM


Oleh Mochtar Marhum
Ketegangan penikmat media mulai nampak sejak event Pilkada DKI sampai tahun politik 2018 dan jelang Pilpres 2019.
Isu SARA (P), berita bohong (hoax) dan berita palsu (fake news) bisa menjadi bumbu penyedap tapi juga sekaligus bisa menjadi racun perusak persatuan Indonesia.
Segregasi sosial-politik yang diciptakan oleh Demokrasi Elektoral dan Demokrasi Prosedural telah mengkotak-kotakkan masa yang yang identik dengan baju kotak-kotak dan baju kaus menjadi kelompok yang punya pandangan politik berbeda dan ketegangan itu kelihatan semakin mengkristal.
Euporia penikmat media di tahun politik terbagi menjadi dua kategori yaitu mereka yang masih percaya pada media mainstream dan mereka yang tetap percaya pada media abal-abal, media partisan dan media sektarian.
Yang punya integritas moral dan masih menghormati etika pemberitaan pasti selalu hanya mengandalkan pemberitaan dari media yang sumber beritanya akurat, valid dan dapat diandalkan (reliable).
Yang kurang tabaayyun dan punya fanatisme politik Identitas mungkin masih lebih sering mengandalkan media abal-abal, media partisan dan media sektarian.
Mereka juga sering lebihk asik menikmati pemberitaan yang bias dan tendensius di ruang-ruang tetutup di WAG dan Grup media sosial lainnya dan cenderung menikmati ego sektarian kehebatan kelompok mereka dan sekaligus bersamaan menyoroti kelemahan dan kekurangan lawan politik mereka. Media yang mereka gemari ini kelihatan bisa selalu memuaskan sahwat politik partisan.
Sebaliknya yang jadi pendukung salah satu kelompok atau figur calon pemimpin yang diidolakan kemungkinan punya pilihan dan feeling bercampur (mixed), misalnya bisa jadi dia masih percaya media mainstream kalau media itu kebetulan memuat berita yang memuji dan mengharumkan nama kelompok atau figur pemimpin yang didukungnya.
Namun, sebaliknya jika media mainstream mengkritisi atau memuat berita tentang kelemahan figur pemimpin yang diidolakan atau kelompoknya, mungkin mereka akan akan meninggalkannya sesaat dan beralih ke media yang jadi alat propaganda seperti media abal-abal, media partisan dan media sektarian dari pada media mainstream.
Banyak yang ingin mendapatkan informasi berita yang benar dari media mainstream tapi terkadang juga masih banyak yang menikamati berita dan cerita yang disajikan oleh media abal-abal, media partisan dan media sektarian.
Media menjadi sarana yang paling efektif dalam menyampakan berita dan cerita di tahun politik. Ada beberapa tipe media yang sering digunakan sebagai sumber berita terutama di media sosial yaitu media mainstream, media abal-abal, media partisan dan media sektarian.
Banyak yang mengandalkan media mainstream karena merupakan media yang relatif lebih dapat dipercaya dan bereputasi. Media ini merupakan produk jurnlistik terikat pada aturan dan Undang-Undang dan jurnalistnya harus menghormati kode etik jurnalistik.
Pada umunya media mainstream dimiliki oleh pemilik modal, ada yang independen dan atau imparsial tapi ada juga sebagian media mainstream dimiliki oleh pemilik modal yang diduga punya afiliasi dengan parpol tertentu.
Sebaliknya media abal-abal, media partisan dan media sektarian pada umumnya dimiliki oleh kelompok tertentu dan bisa jadi underbow parpol tertentu, kelompok simpatisan parpol atau diduga bahkan ada yang dimiliki oleh kelompok ormas tertentu. Dan biasanya media ini diduga sering juga digunakan sebagai alat propaganda politk oleh politisi, simpatisan atau pendukungnya.
Media mainstream menyampaikan berita dalam bentuk teks, angka-angka, gambar dan fakta kebenaran data empiris walaupun terkadang pula ditemukan datanya nyaris akurat dan atau sama sekali tidak akurat.
Media mainstream pada umumnya harus menghormati Undang-Undang Pers. Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur tentang prinsip, ketentuan dan hak-hak penyelenggara pers di Indonesia. Dan harus cover both sides dalam setiap peliputan berita dan pemberitaan.
Sebagai Muslim tentu lebih percaya pada AlQur'an dan Hadist dari pada semua media pemberitaan. Namun, dalam konteks keduniaan di tahun politik, untuk memgakses berita tentang isu politik, tentu masih banyak yang lebih percaya pada media mainstream dari pada media abal-abal, media partisan dan media sektarian.
Media yang digunakan sebagai alat propaganda politik belum tentu berita yang disampaikan akurat. Atau bisa jadi berita yang disampaikan sumber datanya tidak akurat dan tidak jelas. Beritanya bahkan terkadangbsangat bias, subjektif, partisan dan jelas-jelas sangat memihak.
Terkadang sebagian berita dari media abal-abal masih sangat diragukan kebenarannya karena dianggap bukan produk jurnalistik. Juga bisa jadi contentnya mungkin ada yang disusupi dengan berita bohong (Hoax) atau berita palsu (fake news).
Sebaiknya masyarakat haruslah lebih percaya pada media mainstream seperti Republika, Jawa Pos, Kompas, Tempo, Detik, CNN Indonesia, Tribune dll.
Semua Media Mainstream pada umumnya taat pada aturan atau UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebab kalau mereka melanggar akan dikenakan sangsi bahkan bisa juga kena sangsi yang terberat dan medianya dibredel sehingga tdk bisa lagi beroperasi.
Media partisan atau media sektarian terkadang hanya digunakan sebagai alat propaganda politik. Dan untuk lebih meyakinkan pembacanya atau menarik minat, sangat sering media ini melebel medianya dengan agama tertentu mungkin juga dengan tujuan primordialisme dan membangkitkan jalinan ikatan emosional sesam kelompoknya.
Budaya literasi media yang ideal ditandai dengan kecenderungan hanya suka memposting sumber berita yang datanya akurat dan pada umumnya diambil dari media mainstream.
Mungkin saat ini di tahun politik tidak heran kalau masih ada kelompok tertentu yang masih cenderung memamfaatkan media partisan dan apalagi media abal-abal sebab hanya media inilah yang bisa memenuhi tuntutan kepuasan libido partisan mereka.
Namun, tentu harus diingat dan juga harus disadari bahwa semua media seperti ini pasti beritanya tdk netral bahkan mungkin bisa direkayasa untuk memenuhi misi agenda propaganda politik partisan.
Jika diperhatikan berita di media mainstream, pada umumnya berita yang disampaikan sangat berimbang. Misalnya biasa media ini memuat berita yang content beritanya terkadang mengkritisi kebijakan pemerintah atau kelemahan pemerintah tapi juga terkadang memuat berita tentang kelemahan kelompok oposisi pemerintah. Dan di sisi lain biasa juga memuat berita tentang kelebihan dan prestasi kedua kubu baik itu kubu pemerintah maupun kubu opisisi.
Media partisan hanyanya jadi alat propaganda politik dan paling banyak beritanya hanya berat sebelah bahkan mungkin ada beritanya yang telah direkayasa dengan tujuan untik menaikkan tingkat elektabilitas parpol atau figur pemimpin yang didukungnya.
Dan oleh sebab itu media partisan, media sektarian dan media abal-abal sebenarnya tidak layak dijadikan rujukan sumber berita yang bisa mencerahkan, mencerdaskan, imparsial dan independen untuk memajukan budaya literasi di masyarakat Indonesia tapi sebaliknya hanyalah bisa dijadikan alat propaganda politik karena terkadang content beritanya sangat agitatif dan provokatif dan tentu media ini bukan termasuk produk jurnalistik.
Meskipun, juga terkadang masih ada media partisan dan media sektarian yang memiliki sumber beritanya terkadang juga ada yang akurat dan berita yang sama juga telah dimuat di sejumlah media mainstream.
Dan content berita seperti disebutkan di atas tentu bisa dijadikan rujukan dan apalagi kalau berita yang sama telah dimuat di beberapa media mainstream. Media mainstream mungkin bisa dijadikan justifikasi atau bumper bagi media abal-abal, media partisan dan media sektarian yang memuat berita yang lagi jadi trending topik.
Jadi jika ada yang memposting berita menggunakan media abal-abal, media mainstream dan media partisan tapi masih diragukan keabsahan berita tersebut, lebih baik suruh tunjukkan website atau portal on line yang memuat berita yang masih diragukan kebenarannya.
Juga sangat sering ada yang hanya memposting gambar, foto hasil screen shot atau meme berita tanpa disertai sumber portal atau website media on line. Dan kasus seperti ini pernah ada yang hanya merupakan hasil rekayasa sehingga dianggap menjadi berita bohong (Hoax) dan berita palsu (fake news).
Menjadikan rujukan media abal-abal sama dengan menjadikan karya tulis ilmiah seorang mahasiswa atau seorang dosen tapi hanya mengandalkan sumber referensi yang rujukannya dari blog majalah bobo yang abal-abal.
Selamat menikmati hari libur di hari buru "HAPPY MAYDAY".
Penulis: Columnist Free-lance dan Akademisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar