Senin, 09 Juli 2012

PERAN BPK,KPK DAN PKK DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KOUPSI DARI PERSPEKTIF GENDER

Masalah tindak pidana korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin merajalela dan bahkan sejumlah pihak mengklaim bahwa korupsi di Indonesia makin menjamur bahkan sudah mirip penyakit kanker. Korupsi di Indonesia sudah makin menjijikan dan membuat kita semakin malu atau bahasa jenakanya korupsi telah memperbesar kemaluan bangsa Indonesia alias sangat memalukan (very-very Embarassing).

Korupsi ada hampir di setiap level dan strata sosial. Mulai dari tukang parkir sampai pejabat tertinggi. Tidak hanya di sektor formal, di sektor non-formal juga ditengarai terlibat korupsi misalnya mulai dari pedagang kaki lima yang tidak membayar retribusi atau membayar tapi duit retribusinya ditilep petugas sampai pemilik swalayan modern misalnya yang kurang taat membayar pajak atau terlibat kasus pengemplangan pajak. Jenis korupsi juga semakin menghebohkan dan memuakkan alias sangta sadis. Kalau dulu ada kasus korupsi bantuan pengungsi dan bencana alam, kini ada korupsi pengadaan kitab suci AlQuran.

Dalam berbagai forum diskusi, seminar, simposium dan koneferensi baik tingkat lokal maupun nasional selalu yang jadi fokus sorotan adalah lembaga-lembaga pemangku kepentingan (stakeholders) yang formal dan punya tugas pokok dan fungsi penanggulangan tindak pidana korupsi seperti Bawasda, BPK dan KPK serta pihak lembaga penegakkan hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan dan kehakiman.

Dalam konteks sektor formal sejumlah pihak sering mengkritisi dan mempertanyakan independensi lembaga audit di tingkat lokal di daerah seperti Bawasda. Banyak yang masih meragukan kinerja, independensi, netralitas dan imparsialitas lembaga tersebut yang bertugas mengaudit penggunaan dana APBD Pemerintah daerah walaupun kita juga harus mengapresiasi dan salut dengan kerja berat dan sangat beresiko yang selalu mereka hadapi. Auditor Baswasda juga selalu diberikan pelatihan manajemen keuangan publik dan bahkan disekolahkan sampai pada level pendidkan formal pascasarjana. Bahkan kerja pokok auditor Bawasda juga selalu berkolaborasi dengan pihak instansi terkait dan tugas pokok bawasda sekalu berkordinasi dan dibacking oleh BPK provinsi.

Namun, kenyataannya di sektor fomal atau di pemerintahan tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak kasus penyelewengan keuangan negara di daerah dan dari waktu ke waktu kita sering menyaksikan drama yang memalukan dan memilukan ketika sejumlah pejabat publik atau kepala daerah diciduk digelandang oleh pihak penegak hukum ke tahanan dalam kondisi yang hina dan tentu sangat-sangat memalukan dan memilukan karena telah menyalahgunakan keuangan negara di daerah misalnya. Dalam hal ini kerja berat pihak penegak hukum (law enforcers) harus diapresiasi atau berhak diberikan rewards tapi jika mereka melanggar poresedur tetap atau melanggar rambu-rambu hukum, mereka juga layak diberikan punishment.

Selama ini pemerintah lupa atau bahkan tidak menyadari lembaga terkecil dan organisasi terkecil non-formal ternyata juga mungkin memiliki peran yang sangat penting dan efektif seperti organisasi PKK atau Darma awainita (ibu-bu Rumah Tangga). Maaf mungkin ini argumentasi yang agak gender bias tapi kebenaran di Indonesia yang kebanyakan jadi pejabat dan terlibat tindak pidana korupsi adalah kaumku alias kaum adam. Ibu-ibu rumah tangga punya kekuatan soft power untuk melakukan diplomasi domestik membujuk suaminya agar tidak terlibat penyelwengan uang negara. Berusaha melakukan deteksi dini terhadap sumber-sumber penghasilan suami yang jumlahnya signifikan dan sumbernya kurang jelas.

Masalah penanggulangan tindak pidana korupsi akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat dan selalu hangat diberitakan di media massa dan media sosial. Rekomendasi yang mungkin lebih efektif untuk masalah penggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia ialah perlu kerjasama (Kolaborasi) yang baik dan berkelanjutan antar lembaga formal institusi pemerintah dan lembaga informal institusi institusi rumah tangga seperti organisasi Darmawanita atau PKK.

Salah satu alternatif simpel untuk penanggulan tinda pidana korupsi adalah melibatkan pihak pemangku kepentingan (stakeholders) dan kolaborator. Ada tiga stakeholders dan kolaborator untuk penanggulangan tindak pidana Korupsi yang mungkin perlu direkomendasikan untuk bekerja sama lebih intensif selain telah bekerjasama dengan pihak penegak hukum dari institusi pemerintah yang konvensional dan konstitusional. Diantara lembaga formal yang memiliki kekuatan (hard power) untuk penanggulangan tindak pidana korupsi adalah BPK dan KPK. Sedangkan PKK sebagai organisasi tempat berkumpulnya ibu-ibu rumah tangga yang memiliki soft power juga harus diberdayakan dan dilibatkan dan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi.

BPK adalah auditor pemerintah yang sangat profesional yg bisa melakukan audit atau deteksi dini jika ada penyelewengan keuangan negara. KPK adalah Investigator super body mlakukan penyelidikan dan penydidika jika terdapat dugaan kasus tindak pidana korupsi dan PKK (ibu-ibu) adalah investigator informal dalam rumah tangga yang bisa mendeteksi awal jika ada penghasilan atau kekayaan suami yang mencurigakan.

Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Academic, Peace Activiest
Konsen dengan Masalah Sosial Humaniora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar