Selasa, 03 Juli 2012

KENAPA PEMERINTAH INGIN MENYERAGAMKAN YANG BERAGAM ?

Di Indonesia kebijakan publik sering dibuat dan diinginkan bentuknya seragam seperti nomenklatur Desa yang dibahas teman-teman di milist ini. Misalnya istilah atau nomenklatur Desa yang istilahnya banyak digunakan di Pulau Jawa juga nomenklaturnya mau diterapkan di luar pulau Jawa untu kata desa.

Padahal istilah atau kata desa di beberapa wilaya adat di Indonesia jargon atau nomenkalurnya berbeda. Misalnya di Bali mereka juga  punya istilah yang mungkin beda dengan istilah Desa. Ada istilah Banjar bukan Desa dan demikian juga di Sumatra Barat ada istilah Nagari dan mungkin juga istilah dan konteks desa adat di Papua menggunakan istilah yang berbeda. Demikian juga di Kalimantan. Apakah ini karena hegemoni dan atau dominasi termninolgi adat Jawa yang kuat pengaruhnya?

Sebenarnya topik yang sama di atas ini juga  sudah pernah didiskusikan di Almamater saya, Universitas Flinders  Australia dan waktu itu kami pengurus perhimpunan mahasiswa Indonesia Australia Selatan (PPIASA) mengundang pembicara seorang pakar Antropologi pembangunan yang juga konsultan berkerja di Asia Foundation. Tema diskusi di Kampus waktu itu berkaitan dengan isu Otonomi daerah.

Dalam konteks kebijakan publik, di Indonesia sering kebijakan publik ingin menyeragamkan bentuk yang mungkin tidak mutlak untuk diseragamkan karena input dan perspektif kultural dan historis yang berbeda. Misalnya juga dalam kebijakan pendidikan menengah, Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dulu membuat kebijakan Ujian Nasional yang menetapkan kelulusan siswa SMA se-Indonesia berdasarkan hasil ujian Nasional. Kebijakan tersebut ingin menyeragamkan kualitas output sekolah seluruh Indonesia dari pelosok tanah, termasuk di desa tertinggal sampai di kota yang sudah maju tanpa mempertimbangkan keragaman input dan proses di sekolah. Pemerintah tidak menyadari atau mungkin menyadari tapi karna kemauan politik (Politik will) sehingga menerapkan kebijakan ujian nasional tersebut dan akhirnya menjadi kontroversi dan polemik di tengah masyarakat dan di berbagai media. Namun, setelah berjalan beberapa tahun dan mendengarkan berbagai masukan dari berbagai stakeholders pendidikan akhirnya bentuk dan format pelaksanaan ujian nasional dari tahun terus diperbaiki dan akhirnya menjadi lebih baik dan diterima oleh kalangan masyarakat yang lebih luas walaupun mungkin masih ada sebahagian masyarakat yang belum puas.

Hal yang sama di atas juga dengan kebijakan Ditjen Dikti Kemendiknas baru-baru ini yang mewajaibkan setiap Program Studi dari semua perguruan tinggi di Indonesia baik swasta maupun negeri yang akan menamatkan alumninya baik level pendidikan sarjana maupun level pendidikan pascasarjana wajib membuat publikasi pada jurnal terkareditasi.  Mahasiswa yang akan menyelesaikan studi diwajibkan membuat publikasi ilmiah baik itu bentukanya jurnal cetakan (Printed) maupun jurnal elektronik. Dan jurnal yang berstatus, lokal, Nasional maupun internasional dan ini tergantung level atau strata pendidikan peserta didik yang akan menyelesaikan studinya tanpa mempertimbangkan dan mungkin tanpa mempelajari secara lebih dalam tentang kesiapan dan kondisi program studi dan karakteristik alumni yang akan diwajibkan membuat publikasi ilmiah.

Dari ketiga contoh kasus dalam konteks kebijakan publik di bidang Pemerintahan Desa dan Pendidikan, kita bisa bersepkulasi bahwa pemerintah kelihatan sering ingin menyergamkan yang mungkin belum bisa atau tidak harus diseragamkan. Misalnya, istilah nomenklatur desa yang biasa digunakan di sejumlah wilayah di pulau Jawa. Di luar Jawa jargonnya juga beda. Misalnya di Provinsi Sumatra Barat dan Provinsi Bali juga memiliki instilah desa adat yang sudah digunakan secara turun temurun dan kenapa jargon atau nomenklatur nama desa harus diseragamkan. Demikian juga dalam konteks ujian nasional yang tadi dibahas di atas. Sungguh suatu yang tidak pantas menyeragmkan kualitas output sekolah ketika input dan proses pendidikan di Indonesia masih beragam. Ada yang sudah maju, sedang berkembang dan ada yang masih tertinggal. Demikian juga kebijakan publikasi ilmiah di perguruan tinggi. Di satu sisi saya mendukung gagasan inspiratif dari pemerintah yang ingin menaikkan jumlah publikasi perguruan tinggi Indonesia menyamai negara-negara yang sudah mapan publikasi ilmiahnya. Namun, keinginan pemerintah untuk menyeragamkan output publikasi ini mungkin masih kurang fair karena kayaknya belum mempertimbangkan matang-matang jumlah jurnal ilmiah yang sudah terkareditasi yang ada dan jumlah alumni yang akan mempublikasikan karya ilmia mereka. Ironisnya kewajiban publikasi ilmiah bagi semua mahasiswa yang akan menyelesaikan studi. Publikasi ilmiah mungkin kewajibannya hanya lebih  tepat diwajibkan bagi mahasiswa yang akan bekerja atau sudah sementara bekerja sebagai dosen, peneliti atau perencana dan di luar dari profesi yang disebutkan tadi mungkin karya publikasi kurang efektif dan bahkan hanya jadi mubazir.

Jadi kelihatan ironis dan kurang efektif jika membuat suatu keputusan (decision making) atau membuat suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan matang-matang imlpikasi dan atau dampak dari kebijakan dan keputusan yang dibuat.


Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi, Aktivis Damai
Konsen dengan Isu Sosial-Humaniora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar