Rabu, 24 Oktober 2018

TRAUMA HEALING, DISEMINASI BENCANA DAN KEHENDAK ALLAH


(Palu, 21 Oktober 2018)
Oleh Mochtar Marhum
Trauma healing adalah tindakan medis yang sangat baik dan paling tepat diterapkan pasca bencana dasyat.
Namun, memberikan pemahaman kepada masyarakat terdampak bencana tentang perspektif Teologi dan fenomena Geologi dengan bahasa yang jelas dan lugas jauh lebih penting.
Mungkin tidak ada gunanya upaya trauma healing tanpa memberikan pemahaman yang inspiratif kepada masyarakat terdampak tentang penyebab terjadinya Gempa, Tsunami dan Fenomena Liquefaksi di wilayah terdampak bencana Palu, Sigi dan Donggala (PASIGALA).
Pencerahan atau pemahaman yang diberikan haruslah dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat awam dan lebih baik lagi kalau menggunakan media gambar atau video animasi.
Diseminanasi, sosialisasi dan pencerahan kepada masyarakat haruslah mencakup perspektif Teologi (Agama) dan juga dari konteks Geologi (Sains) atau ilmu pengetahuan.
Serta penting juga mengkalrifikasi kisah Mitologi yang selama ini telah melegenda dan sangat dipercaya masyarakat awam pada umumnya.
Akibat trauma yang ditimbulkan oleh bencana dasyat, nampaknya masih banyak masyarakat yang belum berani tidur dalam kamar di rumah mereka masing-masing karena mungkin takut terjebak apalagi mereka yang memiliki hunian rumah yang bertingkat.
Masih banyak masyarakat yang belum memahami fenomena Geologi dan siklus gempa. Mungkin masih banyak yang mengira bahwa gempa sedasyat tanggal 28 September 2018 akan terulang dalam waktu dekat karena masih kurang sosialisasi dan diseminasi tentang pemahaman fenomena alam dan siklus gempa yang terjadi.
Saat ini lebih banyak upaya tindakan trauma healing dari pada memberikan pemahaman sederhana tentang bencana gempa, tsunami dan liquefaksi.
Akibat trauma yang berkepanjangan, masih banyak masyarakat terdampak yang tidur di ruang tamu dan garasi mobil mereka.
Sebelumnya sehari pasca gempa, banyak yang sempat mengungsi di lapangan terbuka atau di jalan-jalan depan rumah mereka dan tidur dengan beralas tikar dan tenda darurat seadanya.
Akibat terjadinya bencana dasyat, mungkin luka fisik bisa sembuh dalam waktu yang relatif singkat sejauh seseorang bukan penderita diabetes melitus (DB).
Namun, tentu lain pula halnya dengan trauma atau Luka physihis yang disebabkan pernah merasakan dan menyaksikan langsung dasyatnya gempa di wilayah terdampak. Pasti luka trauma itu tidak akan bisa sembuh dalam waktu singkat oleh sebab itu diperlukan tindakan trauma healing atau suatu proses penyembuhan akibat trauma.
Akibat trauma sehingga rentan timbul penyakit semacam perasaan halusinasi sehingga walaupun hanya kucing berkejaran di atas atap atau pelafon rumah atau liwat sejumlah mobil truk yg memuat bantuan pengungsi serta mungkin ada motor berkenalpot Bogart liwat didepan rumah, mereka mungkin kira gempa lagi terjadi.
Selama ini kebijakan yang diterapkan pasca gempa di daerah terdampak lebih didominasi dengan tindakan medis berupa trauma healing dan paling banyak pasiennya anak-anak di bawa umur yang rentan mengalami trauma.
Mungkin upaya sosialisasi dan diseminasi penyebab terjadinya bencana alam dengan bahasa yang sangat sederhana, lugas dan mudah dipahami masyarakat masih minim.
Tidak ada gunanya program trauma healing kalau masih banyak masyarakat yang belum mendapat pencerahan dan pemahaman yang jelas tentang penyebab terjadinya gempa dan dan dampak atau akibat yang ditimbulkannya.
Kearifan lokal, local knowledge and local wisdom juga sangat dibutuhkan karena masyarakat lokal sejak dulu telah diceritakan dan diajarkan oleh leluhur mereka tentang kisah gempa dan bencana alam yang pernah terjadi dan bagaimana menghindarinya seperti yang pernah dialami masyarakat di Pulau Nias Sumatra dulu ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh dan dengan bekal kearifan lokal banyak masyarakat yang selamat.
Ironisnya di masyarakat modern yang telah dilengakapi dengah teknologi canggih justru banyak korban ketika terjadi gempa dan tsunami.
Mungkin early warning system tidak berfungsi dan perangkat pelampung bouy telah dicuri orang usil yang belum memahami mamfaat dari alat canggih tersebut.
Akhirnya harus pula disadari bahwa kehendak Allah lebih canggih dari pada teknologi dan ilmu geologi.
Fenomena Alam yang terjadi setiap saat haruslah dipahami oleh setiap masyarakat Indonesia dan apalagi Indonesia berada di jalur cincin api (Ring of Fire) yang setiap saat rentan terjadi Gempa.
Penulis: Kolumnis Free-lance dan Akademisi UNTAD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar