Selasa, 03 November 2015

KENAPA PEMERINTAH TERUS DISUDUTKAN DENGAN MASALAH KABUT ASAP ?

Oleh: Mochtar Marhum
Banyak media asing yang ikut meliput serta turut memberitakan masalah kabut asap di Indonesia. Di laman headline salah satu media asing tertulis "The Biggest environmental crime in 21st Century" kasus kabut asap di Indonesia dianggap sebagai kejahatan lingkungan terbesar di abad ke-21. Bahkan majalah ASIAN REVIEW memuat covernya dengan gambar presiden Jokowi dan Tulisan LOST IN HAZE.
Setiap kritikan yang konstruktif dan apalagi memberikan solusi untuk setiap permasalahan pemerintahan harus diacungi jempol dan diapresiasi. Semua kebijakan dan program pemerintah harus diawasi dan dikritisi jika menyimpang dari visi dan misi serta nawacita. Kritikan terhadap semua kebijakan dan program pemerintah itu wajib dilakukan agar supaya roda pemerintahan selaku berjalan di rel yang benar (On the right track).
Namun, terkait dengan masalah kabut asap, mungkin masih banyak yang tidak menyadari bahwa UU dan PERDA yang mengisinkan pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan ada yang dibuat oleh Rezim Pemerintahan sebelumnya tapi pemerintahan Jokowi-JK tetap disalahkan dan tentu dimintai pertanggungjawaban berkaitan dengan kasus kabut asap akibat pembakaran hutan. Sikap dan tindakan masyarakat seperti ini tentu dapat dimaklumi sejauh mereka tidak hanya menghujat pemerintah dengan cara yang di luar kesantunan atau sangat vulgar.
Mungkin mereka yang setiap saat mencela dan menghujat pemerintahan Jokowi-JK terkait masalah penanganan kabut asap merupakan kader partai oposisi pemerintah atau mereka adalah pembenci Jokowi (Jokowi haters) dan akan merasa puas jika Jokowi-JK dihujat habis-habisan atau mungkin merekan menginginkan ketidakmampuan Jokowi-Jk menangani kabut asap bisa dijadikan alasan untuk mendesak Jokowi-Jk mundur.
Mereka mungkin hanya melihat semua kejelekan dan kelemahan pemerintah. Karena barangkali mereka telah memiliki prasangka buruk (negative prejudice) terhadap pemerintah sehingga semua kebijakan dan program pemerintah seakan-akan semuanya jelek walaupun tentu adapula yang baik tapi mereka sengaja menutup mata dan telinga serta enggan menilai semua sisi kebaikan dan prestasi yang dicapai pemerintahan Jokowi-Jk.
Evaluasi atau penilaian terhadap kinerja pemerintahan sebaiknya tidak bias dan apalagi dibayangi sikap dendam masa lalu karena sikap seperti itu hanya akan menghasilkan penilaian yang tidak obejktif dan terkesan sangat tendensius. Evaluasi dan penilaian terhadap kinerja pemerintah yang ideal adalah ketika menilai tidak hanya menilai kelemahan dan kekurangan pemerintah tapi juga mengapresiasi kelebihan dan pestasi yang telah dicapai pemerintah serta menilai peluang dan tantangan pemerintah ke depan. Namun, jika sikap penilaian itu sudah diawali dengan sikap buruk sangka (Negative Prejudice) dan pesimistis pasti mereka hanya memberikan penilaian yang semuanya jelek dan salah.
penulis bukan politisi dari partai yang memerintah (the rulling party) tapi sejak Jokowi dilantik jd Presiden, suka tidak suka mau tdk mau kita semua tentu harus mengakaui bahwa Jokowi adalah Presiden dan JK adalah wakil Presiden. Menyangkut penanganan kabut asap yang melulu disalahkan pemerintah (eksekutif), ada yang menyinggung bahwa politisi dan kader partai belum nampak terlihat terlibat langsung dalam upaya pemadaman kabut asap atau mungkin di saat jelang kampanye baru bisa terlihat orang yang berpakaian seragam partai iku berpartisipasi langsung dalam upaya pemdaman kabut asap karena ada udang dibalik batu.
Kini dikotomi koalisi pemerintahan secara perlahan tapi pasti mulai memudar. Isu koalisi merah putih dan koalisi Indonesia hebat semakin pudar apalagi di daerah di mana hiruk pikuk menyambut pesta pilkada langsung makin mengaburkan dikotomi koalisi karena telah terjadi pernikahan koalisi antara partai pendukung Capres-Cawapres yang lalu di daerah dan keluhatan antara KMP dan KIH kelihat telah berdamai dan tambah harmonis memberi dukungan kepada calon kepala daerahnya masing-masing. Tidak ada lagi dikotomi koalisi merah putih versus koalisi Indonesia hebat saat ini di daerah.
Ingat kasus pembakaran hutan oleh Korporasi sudah berlangsung sejak Zaman Pemerintahan Orde Baru dan masalah kabut asap kita yang alami hampir setiap tahun. Semua UU dan PERDA yg mengisinkan pembakaran hutan bukan di buat di Era pemerintahan Jokowi tapi justru telah dibuat sebelum Jokowi-Jk memerintah. Kini DPR ingin membuat Pansus kabut asap tapi aneh sebab kenapa pansus ini baru dibuat sedangkan masalah kabut asap sudah lama berlangsung dan dialami hampir setiap tahun.
Mungkin akan terkesan aneh dan kelihatan ada sikap anomaly ketika perusahaan besar terlibat pembakaran hutan dan pemerintah daerah mengisinkan dan memfasilitasi semua upaya pembakaran hutan untuk buka lahan perkebunan sawit tapi semua selalu dianggap merupakan kesalahan pemerintah pusat semata. Namun juga, walaupun WALHI telah merilis daftar korporasi yang terlibat kasus pembakaran hutan tapi daftar korporasi yang terlibat pembakaran hutan dari versi pemerintah belum ada sehingga sebahagian masyarakat ada yang merasa masih curiga dengan sika dan upaya serius pemerintah menindak pelaku kejahatan lingkungan yang telah melakukan pembakaran hutan dan menimbulkan kabut asap nasional yang membuat banyak orang menderita. Namun, yang jelas masyarakat juga menginginkan adanya kejelasan wewenang pemerintah pusat dan daerah dalam kasus penanganan kabut asap.
Beberapa media yang sempat beredar menulis berita yang mengejutkan bahwa ada kader-kader dari partai oposisi yg terlibat dalam kasus pembakaran hutan bahkan ada media yg menyebutkan kasus pembakaran hutan diduga ada unsur kesengajaan agar semua menyalahkan jokowi-jk dan meminta mereka mundur. Namun, yang jelas sebaiknya politisi harus memikirkan masa depan bangsa dan negara dan bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Penulis: Akademisi, Peneliti dan Internet Blogger Concerned dgn isu-isu Sosial-Humaniora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar