Ini statement yang menarik dari seorang politisi Demokrat. Di satu sisi
statement seperti ini patut dihormati dan dipahami terutama ketika
merujuk pada indeks persepsi korupsi di sejumlah negara-negara makmur
yang berhasil mengatasi masalah korupsi melalui pendidikan informal
(dalam keluarga) dan pendidikan formal (Sekolah/universitas).
Kantin
kejujuran yang mulai dibuka di beberapa lembaga pendidikan formal yang
disponsori oleh lembaga penegakkan hukum (Kejaksaan) terinspirasi dari
negara-negara makmur (welfare satetes) yang berhasil mengatasi masalah
korupsi melalui pembiasaan kejujuran dan pendidikan nilai di lembaga
pendidikan formal. Hasil dari pendidikan nilai (value education) dan
pembiasan jujur anak didik menjadi siswa/mahasiswa yang berani dan jujur
dan kelak ketika mereka jadi pemimpin yang jujur dan menjadi teladan
dalam hal kepemimpinan dan penggunaan uang negara/uang rakyat. Di negara
makmur masalah korupsi bisa teratasi sehingga rakyat dapat menikmati
kemakmuran, jaminan sosial (social security dan berbagai hasil
pembangunan secara merata) karena kasus tindak pidana korupsi yang
menyebabkan negara miskin dapat dicegah dan diatasi secara lebih efektif.
Dulu
ada ungkapan "student today leader tomorrow" tapi dengan maraknya kasus
korupsi akhirnya ungkapan ini ada yang memplesetkan menjadi "Student
today corruptor tomorrow". Soekarno pernah berkata, dulu banyak
mahasiswa aktivis yang menjadi tahanan (political prisoner) ketika
mereka masih aktif kuliah sehingga dikatakan dulu waktu kuliah jadi
tahanan dan ketika selesai kuliah jadi pemimpin atau "masuk penjara dulu
baru jadi pemimpin" tapi sekarang seperti apa yang pernah dikatakan
oleh presiden Soekarano suasananya berbeda jadi mahasiswa dulu kemudian
jadi pemimpin lalu jadi tahanan (prisoner) karena tersandung kasus
pidana korupsi.
Dan fenomena ini ternyata telah terbukti
walaupun jumlah kasus yang dimaksudkan belum signifikan. Kasus yang
dimaksud di atas bisa terlihat secara nyata di mana banyak mantan
aktifis mahasiswa yang dulunya sangat idealis dan sering mengkampanyekan
gerakan anti korupsi tapi ironisnya mereka juga akhirnya terlibat
korupsi ketika diberikan kepercayaan untuk menduduki jabatan penting
baik di lembaga pemerintahan maupun di lembaga swasta.
Saya
teringat kata-kata seorang Profesor saya di Australia pada saat saya
akan pamitan dan kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan
S3 (PhD). Beliau menasihati agar berhati-hati kalau menjadi pejabat di
Indonesia jangan sampai anda tergoda dengan kasus penyelewengan uang
negara alias kasus pidana korupsi. Saya sempat kaget tapi memahami apa
yang dimaksud Profesor saya. Saya katakan mudah-mudahan pendidikan
formal dan kultur kejujuran yang saya pelajari di Australia akan mampu
saya terapkan di tanah air ketika kembali. Beliau lanjut berkata mungkin
jika ada kesempatan untuk melakukan korupsi karena sistem penegakkan
hukum (law enforcement) yang belum efektif akan membuat kasus tindak
pidana itu rentan terjadi di negeri anda.
Ada Adigium yang
berbunyi bahwa sebenarnya bukan maraknya kasus korupsi yang berbahaya
tapi sistem dan iklim yang memicu orang melakukan korupsi itu yang jauh
lebih berbahaya dan sebenarnya bukanlah hanya koruptor yang harus
disalahkan tapi sistem dan iklim yang membuat korupsi itu rentan terjadi
itu yang jauh lebih berbahaya dan harus dirubah. Dunia ini menjadi
berbahaya bukan karena makin banyaknya tindak kejahatan (Crime) atau
makin banyaknya penjahat (criminal) tapi karena adanya sistem yang
memicu orang untuk melakukan kejahatan dan apabila kita tidak mampu
merubah atau membiarkan sistem yang kurang baik menjadi lebih baik maka
kita adalah bahagian dari suatu kejahatan itu.
Pernyataan bahwa
Ibas adalah alumni luar negeri (Alumni Australia) dan tidak mungkin
terlibat dengan kasus tindak pidana korupsi merupakan suatu pernyataan
yang secara implisit menghormati dan menghargai bahwa di luar negeri
peserta didik (student) tidak hanya mengalami pengajaran (teaching) tapi
juga mereka megalami pendidikan (education) yang banyak penekanan pada
pendidikan nilai (value education) dan dibiasakan atau terbiasa
mengormati hukum. Penegakkan hukum (UU dan atau peraturan)di negara
makmur betul-betul ditegakkan tanpa pandang bulu sehingga azas "Equality
before the law" yang di negara sedang berkembang dianggap Utopia tapi
di negara makmur bukan utopia tapi betul-betul diterapkan. Dan mereka
yang pernah belajar di negara makmur (welfare state) pasti mengakuinya.
Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi UNTAD, Blogger Sosial-Humaniora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar