Senin, 10 Desember 2012

Ketua Demokrat: Ibas Yudhoyono Itu Alumni Luar Negeri yang Tak Mungkin Terlibat Korupsi

Ini statement yang menarik dari seorang politisi Demokrat. Di satu sisi statement seperti ini patut dihormati dan dipahami terutama ketika merujuk pada indeks persepsi korupsi di sejumlah negara-negara makmur yang berhasil mengatasi masalah korupsi melalui pendidikan informal (dalam keluarga) dan pendidikan formal (Sekolah/universitas).

Kantin kejujuran yang mulai dibuka di beberapa lembaga pendidikan formal yang disponsori oleh lembaga penegakkan hukum (Kejaksaan) terinspirasi dari negara-negara makmur (welfare satetes) yang berhasil mengatasi masalah korupsi melalui pembiasaan kejujuran dan pendidikan nilai di lembaga pendidikan formal. Hasil dari pendidikan nilai (value education) dan pembiasan jujur anak didik menjadi siswa/mahasiswa yang berani dan jujur dan kelak ketika mereka jadi pemimpin  yang jujur dan menjadi teladan dalam hal kepemimpinan dan penggunaan uang negara/uang rakyat. Di negara makmur masalah korupsi bisa teratasi sehingga rakyat dapat menikmati kemakmuran, jaminan sosial (social security  dan berbagai hasil pembangunan secara merata) karena kasus tindak pidana korupsi yang menyebabkan negara miskin dapat dicegah dan diatasi secara lebih efektif.

Dulu ada ungkapan "student today leader tomorrow" tapi dengan maraknya kasus korupsi akhirnya ungkapan ini ada yang memplesetkan menjadi "Student today corruptor tomorrow". Soekarno pernah berkata,  dulu banyak mahasiswa aktivis yang menjadi tahanan (political prisoner) ketika mereka masih aktif kuliah sehingga dikatakan dulu waktu kuliah jadi tahanan dan ketika selesai kuliah jadi pemimpin atau "masuk penjara dulu baru jadi pemimpin" tapi sekarang seperti apa yang pernah dikatakan oleh presiden Soekarano suasananya berbeda jadi mahasiswa dulu kemudian jadi pemimpin lalu jadi tahanan (prisoner) karena tersandung kasus pidana korupsi.

Dan fenomena ini ternyata telah terbukti walaupun jumlah kasus yang dimaksudkan belum signifikan. Kasus yang dimaksud di atas bisa terlihat secara nyata di mana banyak mantan aktifis mahasiswa yang dulunya sangat idealis dan sering mengkampanyekan gerakan anti korupsi tapi ironisnya mereka juga akhirnya terlibat korupsi ketika diberikan kepercayaan untuk menduduki jabatan penting baik di lembaga pemerintahan maupun di lembaga swasta.

Saya teringat kata-kata seorang Profesor saya di Australia pada saat saya akan pamitan dan kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan S3 (PhD). Beliau menasihati agar berhati-hati kalau menjadi pejabat di Indonesia jangan sampai anda tergoda dengan kasus penyelewengan uang negara alias kasus pidana korupsi. Saya sempat kaget tapi memahami apa yang dimaksud Profesor saya. Saya katakan mudah-mudahan pendidikan formal dan kultur kejujuran yang saya pelajari di Australia akan mampu saya terapkan di tanah air ketika kembali. Beliau lanjut berkata mungkin jika ada kesempatan untuk melakukan korupsi karena sistem penegakkan hukum (law enforcement) yang belum efektif akan membuat kasus tindak pidana itu rentan terjadi di negeri anda.

Ada Adigium yang berbunyi bahwa sebenarnya bukan maraknya kasus korupsi yang berbahaya tapi sistem dan iklim yang memicu orang melakukan korupsi itu yang jauh lebih berbahaya dan sebenarnya bukanlah hanya koruptor yang harus disalahkan tapi sistem dan iklim yang membuat korupsi itu rentan terjadi itu yang jauh lebih berbahaya dan harus dirubah. Dunia ini menjadi berbahaya bukan karena makin banyaknya tindak kejahatan (Crime) atau makin banyaknya penjahat (criminal) tapi karena adanya sistem yang memicu orang untuk melakukan kejahatan dan apabila kita tidak mampu merubah atau membiarkan sistem yang kurang baik menjadi lebih baik maka kita adalah bahagian dari suatu kejahatan itu.

Pernyataan bahwa Ibas adalah alumni luar negeri (Alumni Australia) dan tidak mungkin terlibat dengan kasus tindak pidana korupsi merupakan suatu pernyataan yang secara implisit menghormati dan menghargai bahwa di luar negeri peserta didik (student) tidak hanya mengalami pengajaran (teaching) tapi juga mereka megalami pendidikan (education) yang banyak penekanan pada pendidikan nilai (value education) dan dibiasakan atau terbiasa mengormati hukum. Penegakkan hukum (UU dan atau peraturan)di negara makmur betul-betul ditegakkan tanpa pandang bulu sehingga azas "Equality before the law" yang di negara sedang berkembang dianggap Utopia tapi di negara makmur bukan utopia tapi betul-betul diterapkan. Dan mereka yang pernah belajar di negara makmur (welfare state) pasti mengakuinya.


Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi UNTAD, Blogger Sosial-Humaniora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar