Kamis, 27 Desember 2012

KASUS KEKERASAN DI POSO SULAWESI TENGAH - (COUNTERTERORISME Jangan Jadi COUNTERPRODUCTIVE)

Pasca Konflik Horisontal dan Konflik Komunal (Sectarian Conflict) dan akhirnya ditindaklanjuti dengan solusi tepat deklerasi Malino yang digagas oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu itu, suasana Poso menjadi lebih aman dan masyarakat yang multikultur, multietnis dan multireligi telah mulai hidup rukun dan damai. Upaya povokasi dan tindakan adudomba yang konon perna dilakukakan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan agar Poso tetap tidak aman tidak berhasil karena masyarakat Poso telah sadar dan merasakan pentingnya hidup rukun dan damai. Akhir-akhir ini justru berita keamanan Poso terusik karena adanya konflik bersenjata antara kelompok Sipil bersenjata (Teroris) dan pihak petugas kemanan (konflik vertikal).

Koran Harian Radar SulTeng (JawaPos Grup) yang terbit di Palu, ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah hari ini memuat foto-foto dan berita berjudul "Lima Warga Poso Babak Belur Setelah ditahan Polisi 7X24 Jam". Di lain sisi gambar-gambar sadis polisi yang jadi korban sipil bersenjata (Terorist) yang sama juga beredar secara transparant di sejumlah media sosial BBM (Blackberry Massanger). Ada adigium "violance is common enemy" ingat segala bentuk aksi kekerasan baik itu dilakukan secara individual maupun institusional dan tentu telah melanggar hukum dapat dianggap sebagai musuh bersama.

Dalam laporan harian Radar SulTeng yang terbit hari ini diberitakan bahwa sejumlah warga Poso ditahan dan ada yang babak belur setelah ditahan dan diinterogasi oleh Polisi pasca insiden penembakan anggota Brimob yang beroprasi di Kalora dan menewaskan 4 orang anggota Brimob belum lama ini. Tindakan penahanan sejumlah warga Poso karena mereka dicurigai terlibat dalam aksi kekerasan (Terorisme) yang menewaskan empat orang anggota Brimob belum lama ini diberitakan di sejumlah media lokal di Sulawesi Tengah. Juga sebelumnya berita di media sempat terjadi penculikan dua personil Polisi yang menewaskan dua  Polisi Intel POLRES Poso yang ditemukan tewas dan dicurigai terkubur hidup-hidup di desa Tamanjeka Poso yang dituduh dilakukan oleh kelompok teroris. Juga tahun lalu dua Polisi tewas meregang nyawa setelah dibrondong peluru kelompok Teroris di depan Bank BCA Palu Sulawesi Tengah di saat mereka lagi bertugas menjaga keaman Bank BCA.

Insiden kekerasan dan penggunaan senjata api oleh sipil bersenjata yang dicap sebagai kelompok teroris di Indonesia dalam dekade terakhir ini dinilai cukup meningkat. Dan Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Poso dalam sejumlah pemberitan media lokal dan media internasional diberitakan menjadi tempat pelatihan terorisme (Terorist Breeding Grounds). Namun, oleh sejumlah aktivist menganggap bahwa betul ada berita yang memuat fakta kebenaran tentang aksi dan pelatihan terorisme di Poso tapi sejumlah berita di media juga dianggap ada yang dibesar-besarkan karena mungkin menggunakan prinsip "Bad News is a good news". 

Kebijakan Counterorisme di Indonesia pasca insiden serangan Twin Tower di New Yokr (Peristiwa 11 September) penerapannya semakin ditingkatkan apalagi menyusul peristiwa aksi terorisme di sejumlah daerah di Indonesia. Misalnya kasus pengeboman Gereja dan kasus penembakan sejumlah pendeta dan sejumlah pengeboman Hotel mewah di ibu kota Jakarta dan pengeboman Kedutaan Besar Filipina, Australia, insiden Bom Bali 1 dan Bom Bali 2 beberapa waktu lalu.

Kebijakan counterterorisme merupakan praktek penggabungan taktik, teknik dan strategi untuk menghadapi dan mengatasi aksi terorisme. Kebijakan counterterorisme merupakan program kerjasama melibatkan pihak pemerintah, Militer dan Polisi untuk mengantisipasi terjadinya ancaman dan serangan aksi terorisme. Namun, kebijakan Counterterorisme harus direviewed dan dievaluasi efektifitasnya. Kebijakan Counterterorisme masih kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Penerapan kebijakan Counterorisme yang melibatkan pasukan combatant sperti Tentara, Brimob dan Densus 88 yang oleh kalangan teman-teman Jurnalis, akademisi dan Aktivis LSM dianggap masih bersifat refresif dan opresif (Penindakan dan penindasan) mungkin dengan kebijakan yang bersifat refresif dan opresif seperti ini akan sulit merebut simpati dan empati dari rakyat dan tentu juga akan mustahil merebut hati rakyat (Winning the heart and mind of the people).

Solusi alternatif terbaik adalah melibatkan masyarakat sebagai stakeholders keamanan (security) bukan menjauhi masyarakat atau bahkan mencurigai masyarakat tanpa alasan dan fakta yang benar. Upaya program Deradikalisasi yang melibatkan sejumlah kementrian terkait dan Ormas keagamaan dianggap cukup produktif tapi masih kurang efektif. Program Edukasi melalui pendidikan Damai dan Pendidikan Harmoni yang melibatkan NGO dan Lembaga Pendidikan formal merupakan upaya yang sangat inspiratif dan efektif tapi penekanannya harus pada implementasi dan follow up dan bukan bersifat doktrinisasi. Tindakan pencegahan (Preventive) dan tindakan penyerangan teroris sebelum mereka melakukan aksi kekerasan (Pre-empptive) juga merupakan upaya yang cukup efektive tapi sering dianggap counterproductive terutama ketika aksi itu mungkin kurang mendapat simpati dari masyarakat setempat karena dilakukan dengan aksi sangat refresif dan offensive.

Kebijakan Counterterorisme jangan hanya menjadi counterproductive karena hanya akan sia-sia dan tentu kurang mendapat simpatik dari masyarakat. Jangan ciptakan kondisi Racial Profiling dan Negative stereotyped yang bisa menciptkan image bahwa hanya kelompok tertentu (Muslim atau kelompok tertentu) memiliki kecenderungan terlibat dengan aksi kekerasan terorisme dan dicurigai sebagai teroris padahal kenyataan banyak juga aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok militan dan individu dan mereka bukan dari kalangan Muslim.

Kebijakan Counterterorisme tidak akan menjadi counterproductive tapi menjadi lebih efektif dan berhasil guna jika pemerintah mampu secara maksimal dan intens melibatkan warga masyarakat dalam upaya pencegahan dan penindakan aksi terorisme. Selama ini pemerintah baru melibatkan Ormas-ormas tertentu dalam kegiatan upaya pencegahan aksi terorisme. Masyarakat sebagai stakeholders harus diberi kepercayaan dan pemberdayaan untuk terlibat langsung dalam upaya pencegahan aksi terorisme.

Masyarakat adalah key instrument dan sekaligus key informant. Masyarakat jangan dicurigai atau dijauhi bahkan lebih parah lagi jika diitimidasi dan dikerasi (dianiaya) dalam upaya pencegahan aksi terorisme. Jika masyarakat dijauhi, dicurigai tanpa alasan yang tepat dan apalagi dilakukakan interogasi dengan cara kekerasan sehingga menimbulkan berita yang kurang menarik simpatik masyarakat, upaya pencegahan aksi terorisme melalui kebijakan counterterorisme akan menjadi bertengan dengan harapan atau conterproductive (Tidak efektif).

Mari wujudkan Indonesia yang damai dan Sulawesi Tengah yang harmonis dan damai. Dan selamat menyambut tahun baru 2013.


Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi UNTAD, Aktivis Damai dan Tim Ahli Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K UNTAD), Duta Alumni Australia (Australian Alumni Embassador) dan Blogger Isu Sosial Humaniora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar