Pasca
Konflik Horisontal dan Konflik Komunal (Sectarian Conflict) dan
akhirnya ditindaklanjuti dengan solusi tepat deklerasi Malino yang
digagas oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu itu, suasana Poso menjadi
lebih aman dan masyarakat yang multikultur, multietnis dan multireligi
telah mulai hidup rukun dan damai. Upaya povokasi dan tindakan adudomba
yang konon perna dilakukakan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan
agar Poso tetap tidak aman tidak berhasil karena masyarakat Poso telah
sadar dan merasakan pentingnya hidup rukun dan damai. Akhir-akhir ini
justru berita keamanan Poso terusik karena adanya konflik bersenjata
antara kelompok Sipil bersenjata (Teroris) dan pihak petugas kemanan (konflik vertikal).
Koran
Harian Radar SulTeng (JawaPos Grup) yang terbit di Palu, ibu Kota
Provinsi Sulawesi Tengah hari ini memuat foto-foto dan berita berjudul
"Lima Warga Poso Babak Belur Setelah ditahan Polisi 7X24 Jam". Di lain
sisi gambar-gambar sadis polisi yang jadi korban sipil bersenjata
(Terorist) yang sama juga beredar secara transparant di sejumlah media
sosial BBM (Blackberry Massanger). Ada adigium "violance is
common enemy" ingat segala bentuk aksi kekerasan
baik itu dilakukan secara individual maupun institusional dan tentu
telah melanggar hukum dapat dianggap sebagai musuh bersama.
Dalam laporan harian Radar SulTeng yang terbit
hari ini diberitakan bahwa sejumlah warga Poso ditahan dan ada yang
babak belur setelah ditahan dan diinterogasi oleh Polisi pasca insiden
penembakan anggota Brimob yang beroprasi di Kalora dan menewaskan 4
orang anggota Brimob belum lama ini. Tindakan penahanan sejumlah warga
Poso karena mereka dicurigai terlibat dalam aksi kekerasan (Terorisme)
yang menewaskan empat orang anggota Brimob belum lama ini diberitakan di
sejumlah media lokal di Sulawesi Tengah. Juga sebelumnya berita di
media sempat terjadi penculikan dua personil Polisi yang menewaskan dua
Polisi Intel POLRES Poso yang ditemukan tewas dan dicurigai terkubur
hidup-hidup di desa Tamanjeka Poso yang dituduh dilakukan oleh kelompok
teroris. Juga tahun lalu dua Polisi tewas meregang nyawa setelah
dibrondong peluru kelompok Teroris di depan Bank BCA Palu Sulawesi
Tengah di saat mereka lagi bertugas menjaga keaman Bank BCA.
Insiden
kekerasan dan penggunaan senjata api oleh sipil bersenjata yang dicap
sebagai kelompok teroris di Indonesia dalam dekade terakhir ini dinilai
cukup meningkat. Dan Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Poso dalam
sejumlah pemberitan media lokal dan media internasional diberitakan
menjadi tempat pelatihan terorisme (Terorist Breeding Grounds). Namun,
oleh sejumlah aktivist menganggap bahwa betul ada berita yang memuat
fakta kebenaran tentang aksi dan pelatihan terorisme di Poso tapi
sejumlah berita di media juga dianggap ada yang dibesar-besarkan karena
mungkin menggunakan prinsip "Bad News is a good news".
Kebijakan
Counterorisme di Indonesia pasca insiden serangan Twin Tower di New
Yokr (Peristiwa 11 September) penerapannya semakin ditingkatkan apalagi
menyusul peristiwa aksi terorisme di sejumlah daerah di Indonesia.
Misalnya kasus pengeboman Gereja dan kasus penembakan sejumlah pendeta
dan sejumlah pengeboman Hotel mewah di ibu kota Jakarta dan pengeboman
Kedutaan Besar Filipina, Australia, insiden Bom Bali 1 dan Bom Bali 2
beberapa waktu lalu.
Kebijakan counterterorisme merupakan
praktek penggabungan taktik, teknik dan strategi untuk menghadapi dan
mengatasi aksi terorisme. Kebijakan counterterorisme merupakan program
kerjasama melibatkan pihak pemerintah, Militer dan Polisi untuk
mengantisipasi terjadinya ancaman dan serangan aksi terorisme. Namun,
kebijakan Counterterorisme harus direviewed dan dievaluasi
efektifitasnya. Kebijakan Counterterorisme masih kurang melibatkan
partisipasi masyarakat. Penerapan kebijakan Counterorisme yang
melibatkan pasukan combatant sperti Tentara, Brimob dan Densus 88 yang
oleh kalangan teman-teman Jurnalis, akademisi dan Aktivis LSM dianggap
masih bersifat refresif dan opresif (Penindakan dan penindasan) mungkin
dengan kebijakan yang bersifat refresif dan opresif seperti ini akan
sulit merebut simpati dan empati dari rakyat dan tentu juga akan
mustahil merebut hati rakyat (Winning the heart and mind of the people).
Solusi alternatif terbaik adalah melibatkan masyarakat sebagai
stakeholders keamanan (security) bukan menjauhi masyarakat atau bahkan
mencurigai masyarakat tanpa alasan dan fakta yang benar. Upaya program
Deradikalisasi yang melibatkan sejumlah kementrian terkait dan Ormas
keagamaan dianggap cukup produktif tapi masih kurang efektif. Program
Edukasi melalui pendidikan Damai dan Pendidikan Harmoni yang melibatkan
NGO dan Lembaga Pendidikan formal merupakan upaya yang sangat inspiratif
dan efektif tapi penekanannya harus pada implementasi dan follow up dan
bukan bersifat doktrinisasi. Tindakan pencegahan (Preventive) dan
tindakan penyerangan teroris sebelum mereka melakukan aksi kekerasan
(Pre-empptive) juga merupakan upaya yang cukup efektive tapi sering
dianggap counterproductive terutama ketika aksi itu mungkin kurang
mendapat simpati dari masyarakat setempat karena dilakukan dengan aksi
sangat refresif dan offensive.
Kebijakan Counterterorisme jangan
hanya menjadi counterproductive karena hanya akan sia-sia dan tentu
kurang mendapat simpatik dari masyarakat. Jangan ciptakan kondisi Racial
Profiling dan Negative stereotyped yang bisa menciptkan image bahwa
hanya kelompok tertentu (Muslim atau kelompok tertentu) memiliki
kecenderungan terlibat dengan aksi kekerasan terorisme dan dicurigai
sebagai teroris padahal kenyataan banyak juga aksi kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok militan dan individu dan mereka bukan dari
kalangan Muslim.
Kebijakan Counterterorisme tidak akan menjadi
counterproductive tapi menjadi lebih efektif dan berhasil guna jika
pemerintah mampu secara maksimal dan intens melibatkan warga masyarakat
dalam upaya pencegahan dan penindakan aksi terorisme. Selama ini
pemerintah baru melibatkan Ormas-ormas tertentu dalam kegiatan upaya
pencegahan aksi terorisme. Masyarakat sebagai stakeholders harus diberi
kepercayaan dan pemberdayaan untuk terlibat langsung dalam upaya
pencegahan aksi terorisme.
Masyarakat adalah key instrument dan
sekaligus key informant. Masyarakat jangan dicurigai atau dijauhi bahkan
lebih parah lagi jika diitimidasi dan dikerasi (dianiaya) dalam upaya
pencegahan aksi terorisme. Jika masyarakat dijauhi, dicurigai tanpa
alasan yang tepat dan apalagi dilakukakan interogasi dengan cara
kekerasan sehingga menimbulkan berita yang kurang menarik simpatik
masyarakat, upaya pencegahan aksi terorisme melalui kebijakan
counterterorisme akan menjadi bertengan dengan harapan atau conterproductive (Tidak efektif).
Mari wujudkan Indonesia yang damai dan Sulawesi Tengah yang harmonis dan damai. Dan selamat menyambut tahun baru 2013.
Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi
UNTAD, Aktivis Damai dan Tim Ahli Pusat Penelitian Perdamaian dan
Pengelolaan Konflik (P4K UNTAD), Duta Alumni Australia (Australian
Alumni Embassador) dan Blogger Isu Sosial Humaniora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar