Rabu, 30 Mei 2012

Solusi Alternatif Sengketa Pilkada dan Pemekaran Wilayah di Indonesia


Solusi Alternatif Sengketa Pilkada dan Pemekaran Wilayah di Indonesia Salah satu masalah yang mengganjal pembangunan wilayah di Indonesia dalam era Otonomi ini adalah sering terjadi sengketa PILKADA (Election Dispute) dan sengketa penentuan ibu Kota Kabupaten baru atau ibukota bakal Provinsi pemekran.seperti yang terjadi baru-baru ini di kawasan Timur Indonesia, Maluku Utara, Kabupaten banggai Kepulauan dan pemekaran Sulawesi Timur.
Lebih ironis lagi terjadi ketengan politik untuk menentukan ibukota provinsi
baru ketika provinsi pemekaran baru masih dalam proses pengusulan. Seperti
contoh kasus sengketa penetapan calon ibu kota provinsi Sulawesi Timur
(antara POSO atau LUWUK??) dan ibu kota Banggai kepulauan di Sulawesi Tengah.
Mengingat masih ada budaya di tanah air yang terkadang sangat tidak
demokratis yaitu para politisi sering tidak mau mengakui dua hal pasca pesta
Demokrasi, PILKADA. Para politisi yang tidak demokratis enggan mengakui dua hal yang menjadi fakta yaitu" Mengakui KEKALAHAN dan KESALAHAN.
Persoalan seperti ini sering berbuntut pada sengketa serius dan konflik horizontal seperti yang terjadi sekarang ini di Provinsi Maluku Utara pasca diumumkan hasil pemenang PILKADA. Dampak sengketa PILKADA dan konflik horizontal jelas sangat merugikan dan hal ini sangat dirasakan oleh rakyat kecil yang terus bertambah penderitaannya akibat krisis multidimensi dan melambungnya harga sembako dan BBM.

Oleh sebab itu, barangkali soulsi terbaik untuk sengketa Pilkada adalah
mungkin perlu amandemen kembali Undang-undangdan diperkecil jumlah
parpol serta dibentuknya pemerintahan oposisi yang bisa mengakomodir pesaing
politik yang kalah dalam PILKADA.

Menurut spekulasi saya, terbentuknya pemerintahan oposisi baik di tingkat pusat maupun daerah mungkin akan dapat menjawab masalah sengketa Pilkada di tanah air karena akar konflik pasca PILKADA nampaknya sering dipicu oleh perasaan akan kehilangan jabatan politik bila kalah dalam PILKADA. Dalam sistem pemerintahan opisisi dengan kabinent bayangan seperti yang dianut Australia dan beberapa negara persemakmukran (Commonwealth countries), seperti Malaysia, singapura dan beberapa negara sedang berkembang di Asia Pacifik dan Afrika.
Dalam sistem pemerintahan opisisi parpol yang kalah dalam election (pilkada) akan tetap mendapat jabatan politik dan menjadi kelompok oposisi resmi sehingga tidak akan ada poltisi yang merasa akan kehilangan jabatan atau akan terpinggirkan dalam percaturan politik. Hal ini dapat terlihat di beberapa negara yang menganut sistem pemerintahan opisisi dengan Kabinet bayangan di mana kontestan politik yang kalah dalam election (plkada) tetap akan mendapat jabatan sebagai kelompok opisisi resmi dengan cabinet bayangan yang dipimpin oleh opposition leader (pemimpin oposisi).
Menurut pengamatan saya kemunkginan solusi sengketa PILKADA di tanah air tidak akan selesai kalau setiap pasca PILKADA lawan politik yang kalah tidak mendapat jabatan politik karena kayaknya bangsa kita masih enggan memahami demokrasi substantif yaitu berani dan mau mengakui KEKALAHAN dan KESALAHAN pasca pilkada. Hal ini juga disebakan karena selama ini demokrasi yang kita implementasikan baru sebatas demokrasi prosedural. Lagi pula kemungkinan Checks and Balances dalam pemerintahan dan Pelaksanaan demokrasi substantif di tanah air mungkin akan lebih bermakna jika sistem pemerintahan oposisi terbentuk.

Sedangkan sengketa penetapan ibu kota pemekaran di kabupaten/provinsi baru, nampaknya sering sangat dipicu oleh persepsi yang keliru tentang ibu kota pemerintahan. Hal ini disebabkan di negara-negara sedang berkembang ada persepsi yang keliru tentang ibu kota akibat selama ini telah sering terjadi kesenjangan dalam pembangunan wilayah dan masih ada kesan bahwa ibu kota pemerintahan adalah ibukota segala-galanya yaitu di situ pasti terdapat ibu kota pemerintahan, di situ terdapat pusat bisnis dan industri dan di situ pula terdapat pusat-pusat pendidikan yang excellent.
Sebaliknya hal ini sangat berbeda dengan kondisi di luar negeri yang punya perencanaan wilayah (urban planning) yang baik dan teratur. Di sana pusat pemerintahan dan pusat-pusat perdagangan, industri, bisnis dan pendidikan telah dibangun secara teratur dan terencana sehingga beda dengan kondisi di tanah air di mana ibu kota kabupaten atau provinsi kayaknya menajadi pusat segala-segalanya (pemerintahan, bisnis, dagang dan pendidikan) dan kita kebanyakan mau ibut kota yang punya segala-galanya.
Jadi barangkali, solusinya adalah, sebaiknya dipisahkan pusat pemerintahan dari pusat bisnis, industri, perdagangan dan pendidikan sehingga perencanaan pembangunan wilayah akan terencana baik. Kodisi perencanaan pembangunan wilayah yang tepat seperti ini mungkin akan dapat mengatasi potensi konflik horizontal dan konflik vertical dalam era otonomi di masa-masa yang akan datang.
Akhirnya untuk beberapa kasus penetapan ibu kota dan pemekaran wilayah sebaiknya
pemerintah menetapkan ibu kota kabupaten baru/provinsi baru di wilayah yang
lebih netral dan berada di tengah-tengah antara calon ibu kota pemekaran. Hal ini dapat ditiru dari sejarah Australia ketika akan menetapkan ibu kota pemerintah yaitu akhirnya ditetapkan Canberra sebagai ibu kota pemerintahan yang terletak antara Sydney dan Melbourne karena dulunya Sydney dan Melbourne adalah calon kuat ibu kota Australia.
Bagaimana pendapat anda, kawan?
Anyway, Have a great weekend and keep in touch!

Salam Damai
Mochtar Marhum
Academic, Peace Activist
sumber : milist Kahmi_pro_network  (pbhmi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar