Oleh Mochtar Marhum
Pengurus Kahmi (Ketua Bidang Infokom) dan Pengurus Ikatan Sarjana NU (Bidang LitBang) Wilayah Sulawesi Tengah
Dari
perspektif dan konteks global, Saya menyaksikan kebangkitan umat Muslim
cukup signifikan terutama pasca bubarnya blok Fakta warsawa dan krisis
ekonomi/Utang beberapa negara-negara kapitalist. Dan juga terlebih
pasca insiden serangan 11 September.
Revolusi Arab dikenal
dengan jargon Arab Spring atau Arab awakening melalui gerakan people
power dan juga digerakkan oleh kelompok oposisi diikuti dengan gerakan
pemberontakkan (uprising) telah berhasil menjatuhkan beberapa Rezim
Diktator mulai dari Tunisia, Libiya, Mesir, Yaman dan terakhir Syria
yang sampai saat ini gerakan pemberontakan oposisi masih mendapat
tantangan resistensi yang belum terkalahkan oleh Regime Basyar AlAsad.
Fenomena
yang menarik dari Regime-regime yang digulingkan di Jazirah Arab (Arab
World) cukup menarik dan unik karena eks-Rgime yang pernah mejabat
sebagai kepala Pemerintahan majoritas berasal dari kelompok sectarian
atau etnis yang relatif dianggap minoritas dan juga kebanyakan berasal
dari latar belakar perwira militer. Pada umumnya eks-Regime yang pernah
berkuasa memiliki karakter mirip pemimpin yang ada di negara monarki
absolut. Ada yang mempraktekkan Oligarki Politik-Ekonomi dan Dinasti
Politik. Dalam konteks Dinasti Politik (Political Dinasty) Jelang dan
jauh sebelum kejatuhan Regime-Regime yang lama berkuasa di Timur Tengah
tersebutmisalnya, mereka telah mempersiapkan putra-putra mereka yang
siapak akan menggantikan ayah mereka kelak sebagai kepala Pemerintahan.
Dan praktek Dinasti politik ini telah diterapkan di Syria sebelumnya dan
juga rencana dulu akan diterapkan di Irak oleh Regime Sadam tapi
keburuh digulingkan oleh Amerika dan sekutunya melalui doktrin
pre-emptive strike dan unilateral action.
Regime-regime di
negara-negara Jazirah Arab telah berhasil digulingkan melibatkan suatu
gerakan people power yang pejuangnya (Fighter/rebel) tercatat juga
melibatkan tidak hanya masyarakat umum tapi juga aktivist mudah yang
berasal dari Ormas sectarian sperti Element Ikwanul Muslimin atau Hizbut
Tahrir (HT).
Rezim yang mendapat legitimasi sebagai
penyelenggara negara pasca revolusi atau jatuhnya Rezim Diktator juga
melibatkan pemimpin ada yang berlatar belakang dari kader ormas
sectarian Hizbut Tahrir atau Ikhwanul Muslimin. Juga yang tidak kalah
menarik untuk diamati adalah fenoma unik yang terjadi selama priode
uprising (pemberontakkan) di mana kelompok Ormas sectarian dan negara
barat (Western powers) yang mendukung misi menjatuhkan Regime berkuasa,
memiliki persepsi, misi dan visi yang hampir sama dalam konteks dan
upaya menjatuhkan Regime yang berkuasa. Namun, sebaliknya Regime Western
Powers sempat mendapat tantangan berat terutama ketika akan mengucurkan
bantuan persejataan kepada kelompok pemberontak karena mereka ragu
kalau-kalau bantuan persenjataan yang mereka berikan akan jatuh ke
tangan pemberontak yang mereka identifikasi sebagai kelompok atau elemen
Islam garis keras. Dan juga menurut laporan sejumlah media, Western
powers juga sering khawatir jika kelak nanti Regime yang berhasil
digulingkan akan diganti posisinya oleh pemimpin yang berlatar belakang
aktivis dari Kelompok Islam garis keras.
Pertumbuhan jumlah
populasi Muslim dunia cukup signifikan yang sekarang jumlahnya
diberitakan mampu bersaing dengan jumlah populasi sectarian umat kristen
Katolik. Pertumbuhan jumlah populasi Muslim dunia bertambah juga
dikabarkan oleh media karena ada juga bnyak umat non-Muslim yang sudah
mengucapkan syahadat dan masuk Islam seperti diberitakan di beberapa
media masa dan media konvensional dan berita itu juga cukup mengejutkan.
Dari perspektif ekonomi politik, gerakan Syariah Khilafah di
beberapa negara Jazira Arab, Asia Selatan dan Asia tenggara mulai
bangkit karena terinspirasi dan termotivasi oleh romantisme masa
Kekaisaran Otoman (otoman Empire) yang dari perspektif historis sempat
menguasai sebagian wilayah Eropa Barat dan meninggalkan bukti artefak
sejarah Islam sperti di Cordoba Sepanyol. Banyak aktivis Ormas Islam
yang menganggap bahwa solusi alternatif yang paling tepat untuk
mengatasi masalah krisis multidimensi akhir-kahir ini adalah dengan
kembalinya umat Islam ke Konsep Syariah Khilafah dan gerekan ini mulai
dikampanyekan oleh kelompok Ormas sectarian yang cukup dikenal seperti
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Momentum terjadinya krisis
ideologi politik dan krisis ekonomi/utang di sejumlah negara kapitalis
belum lama ini membuat semakin banyak orang yang mendambakan ideologi
yang lebih ideal dan stabil yang menjanjikan masa depan yang cerah.
Gerakan ekonomi syariah juga mulai bangkit ditandai dengan tumbuh dan
mejamurnya bank-bank Syariah dan Muamalat yang telah berkolaborasi
dengan bank konvensional di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu pihak
perbankan convensional Kerajaan Inggris telah memberikan penghargaan
kepada Bank Syariah yang berhasil mengembangkan sayap usaha perbankannya
di daratan Great Britain (Inggris Raya). Namun, sebaliknya usaha BMT
yang sempat diperkenalkan beberapa wialayah di tanah air sempat timbul
tenggelam dan bahkan ada yang gulung tikar.
Fenomena yang
mungkin agak mengejutkan justru dalam konteks politik di Indonesia di
mana Parpol yang dulu pernah berideologi dan mengusung misi Islam serta
dulu agak ekslusif kini secara perlahan mulai bangkit tapi tampil dengan
baju yang berbeda. Tampil lebih terbuka (inclusif) kecuali PKS yang
tetap konsisten dan yang disinyalir berafiliasi dengan Gerakan Hizbut
Tahrir.
Sebaliknya beberapa Parpol sectarian yang lahir dan
dibidani oleh Ormas Sectarian Islam seperti PKB dan PAN (NU dan
Muhammadiya) akhirnya menjadi Parpol terbuka (Inclusif) dan lebih
mengejutkan lagi Parpol yang dulu pernah sangat sectarian dan Ekslusif,
PPP (Partai Persatuan Pembangunan) baru-baru ini telah mendeklarasikan
Parpolnya sebagai partai terbuka. Ini fenoma menarik yang perlu dikaji
secara sosiollogis-historis. Akhir-akhir ini, saya juga menyaksikan di
TV Aljazeera banyak berita tentang kebangkitan Gerakan Sectarian seperti
Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir (HT) yang bangkit di Jazira Arab
(Arab World) seiring dengan hadirnya gerakan revolusi Arab.
Sebagai
akademisi yang pernah belajar di luar negeri dan setiap saat aktif di
media sosial (Mailing List, FB dan Twitter), hampir setia saat saya
mendapakan informasi tentang pertumbuhan populasi dan perkembangan
Muslim dunia dan juga kebangkitan gerakan Islam di Luar Negeri. Gerakan
Islam di luar negeri justru digerakkan oleh teman-teman Mahasiswa
Muslim dari berbagai belahan dunia yang sedang belajar di universitas
dan politeknik di negara-negara barat dan berkolaborasi dengan kelompok
Permanent Resident/Warga Negara atau umat Muslim di negara tempat
belajar mahsiswa Muslim melalui kegiatan pengajian rutin dan
kegiatan-kegiatan sosial.
Saya melihat justru kembangkitan umat
Muslim juga lebih nampak misalnya di negara-negara barat seperti di
Eropa, Amerika Utara dan Australia. Namun, aktivitas mahasiswa dan
masayarakat Muslim di negara-negara di Barat (Western World) sering
mendapat tantangan dan kendala karena terkadang dicurigai akan menjadi
gerakan Islam garis keras atau gerakan yang mendukung kelompok ekstrimis
walaupun kenyataannya tentu banyak yang tidak seperti itu. Aktifitas
mengumpulkan dana (Charity) kemanusian untuk dikirimkan kembali ke
negara-negaranya mahasiswa Muslim bersangkuta juga bahkan sering ada
yang dicurigai aliran dana yang terkumpul mungkin akan disalurkan untuk
gerakan terorisme walaupun kenyataannya dugaan atau kecurigaaan itu
banyak yang tidak benar. Juga kegiatan sosial dan ritual lainnya seprti
pengajian dan aktifitas sosial umat Muslim lainnya di negara-negara
Barat ada yang sering tidak luput dari pengawasan (surveilence).
Umat
Muslim harus bersatu terutama dalam konteks ikut membangun tatanan
dunia yang lebih sejahtera, aman dan damai. Ide Khilafah/Syariah yang
dikampanyekan oleh kelompok Ormas Sectarian yang berafiliasi dengan
Ikwnul Muslimin/Hizbut Tarir merupakan salah satu alternatif
mempersatukan kekuatan umat Muslim dunia tapi ide ini tentu akan
mengalami kendala politik dan kultural yang cukup berat karena tentu
akan mengalami resistensi oleh kekuatan gerakan kelompok pluarilist dan
gerakan aktivist HAM. Di samping itu ide Khilafah tentu akan
berbenturan dengan hukum Internasional dan UU Negara Bangsa (Nation
states). Juga menyangkut RUU Keormasan ternyata banyak kelompok ormas
sectarian yang menyatakan resistensinya. Ada yang menduga RUU
Ke-Oramasan dapat menjegal tumbuh dan berkembangnya gerakan Ormas
sectarian yang ekslusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar