Kamis, 11 April 2013

PROSPEK GERAKAN ISLAM KONTEMPORER DALAM PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK

Oleh Mochtar Marhum
Pengurus Kahmi (Ketua Bidang Infokom) dan Pengurus Ikatan Sarjana NU (Bidang LitBang) Wilayah Sulawesi Tengah

Dari perspektif dan konteks global, Saya menyaksikan kebangkitan umat Muslim cukup signifikan terutama pasca bubarnya blok Fakta warsawa dan krisis ekonomi/Utang beberapa negara-negara kapitalist. Dan juga terlebih pasca insiden serangan 11 September.

Revolusi Arab dikenal dengan jargon Arab Spring atau Arab awakening melalui gerakan people power dan juga digerakkan oleh kelompok oposisi diikuti dengan gerakan pemberontakkan (uprising) telah berhasil menjatuhkan beberapa Rezim Diktator mulai dari Tunisia, Libiya, Mesir, Yaman dan terakhir Syria yang sampai saat ini gerakan pemberontakan oposisi masih mendapat tantangan resistensi yang belum terkalahkan oleh Regime Basyar AlAsad.

Fenomena yang menarik dari Regime-regime yang digulingkan di Jazirah Arab (Arab World) cukup menarik dan unik karena eks-Rgime yang pernah mejabat sebagai kepala Pemerintahan majoritas berasal dari kelompok sectarian atau etnis yang relatif dianggap minoritas dan juga kebanyakan berasal dari latar belakar perwira militer. Pada umumnya eks-Regime yang pernah berkuasa memiliki karakter mirip pemimpin yang ada di negara monarki absolut. Ada yang mempraktekkan Oligarki Politik-Ekonomi dan Dinasti Politik. Dalam konteks Dinasti Politik (Political Dinasty) Jelang dan jauh sebelum kejatuhan Regime-Regime yang lama berkuasa di Timur Tengah tersebutmisalnya, mereka telah mempersiapkan putra-putra mereka yang siapak akan menggantikan ayah mereka kelak sebagai kepala Pemerintahan. Dan praktek Dinasti politik ini telah diterapkan di Syria sebelumnya dan juga rencana dulu akan diterapkan di Irak oleh Regime Sadam tapi keburuh digulingkan oleh Amerika dan sekutunya melalui doktrin pre-emptive strike dan unilateral action.

Regime-regime di negara-negara Jazirah Arab telah berhasil digulingkan melibatkan suatu gerakan people power yang pejuangnya (Fighter/rebel) tercatat juga melibatkan tidak hanya masyarakat umum tapi juga aktivist mudah yang berasal dari Ormas sectarian sperti Element Ikwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir (HT).

Rezim yang mendapat legitimasi sebagai penyelenggara negara pasca revolusi atau jatuhnya Rezim Diktator juga melibatkan pemimpin ada yang berlatar belakang dari kader ormas sectarian Hizbut Tahrir atau Ikhwanul Muslimin. Juga yang tidak kalah menarik untuk diamati adalah fenoma unik yang terjadi selama priode uprising (pemberontakkan) di mana kelompok Ormas sectarian dan negara barat (Western powers) yang mendukung misi menjatuhkan Regime berkuasa, memiliki persepsi, misi dan visi yang hampir sama dalam konteks dan upaya menjatuhkan Regime yang berkuasa. Namun, sebaliknya Regime Western Powers sempat mendapat tantangan berat terutama ketika akan mengucurkan bantuan persejataan kepada kelompok pemberontak karena mereka ragu kalau-kalau bantuan persenjataan yang mereka berikan akan jatuh ke tangan pemberontak yang mereka identifikasi sebagai kelompok atau elemen Islam garis keras. Dan juga menurut laporan sejumlah media, Western powers juga sering khawatir jika kelak nanti Regime yang berhasil digulingkan akan diganti posisinya oleh pemimpin yang berlatar belakang aktivis dari Kelompok Islam garis keras.

Pertumbuhan jumlah populasi Muslim dunia cukup signifikan yang sekarang jumlahnya diberitakan mampu bersaing dengan jumlah populasi sectarian umat kristen Katolik. Pertumbuhan jumlah populasi Muslim dunia bertambah juga dikabarkan oleh media karena ada juga bnyak umat non-Muslim yang sudah mengucapkan syahadat dan masuk Islam seperti diberitakan di beberapa media masa dan media konvensional dan berita itu juga cukup mengejutkan.

Dari perspektif ekonomi politik, gerakan Syariah Khilafah di beberapa negara Jazira Arab, Asia Selatan dan Asia tenggara mulai bangkit karena terinspirasi dan termotivasi oleh romantisme masa Kekaisaran Otoman (otoman Empire) yang dari perspektif historis sempat menguasai sebagian wilayah Eropa Barat dan meninggalkan bukti artefak sejarah Islam sperti di Cordoba Sepanyol. Banyak aktivis Ormas Islam yang menganggap bahwa solusi alternatif yang paling tepat untuk mengatasi masalah krisis multidimensi akhir-kahir ini adalah dengan kembalinya umat Islam ke Konsep Syariah Khilafah dan gerekan ini mulai dikampanyekan oleh kelompok Ormas sectarian yang cukup dikenal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Momentum terjadinya krisis ideologi politik dan krisis ekonomi/utang di sejumlah negara kapitalis belum lama ini membuat semakin banyak orang yang mendambakan ideologi yang lebih ideal dan stabil yang menjanjikan masa depan yang cerah. Gerakan ekonomi syariah juga mulai bangkit ditandai dengan tumbuh dan mejamurnya bank-bank Syariah dan Muamalat yang telah berkolaborasi dengan bank konvensional di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu pihak perbankan convensional Kerajaan Inggris telah memberikan penghargaan kepada Bank Syariah yang berhasil mengembangkan sayap usaha perbankannya di daratan Great Britain (Inggris Raya). Namun, sebaliknya usaha BMT yang sempat diperkenalkan beberapa wialayah di tanah air sempat timbul tenggelam dan bahkan ada yang gulung tikar.

Fenomena yang mungkin agak mengejutkan justru dalam konteks politik di Indonesia di mana Parpol yang dulu pernah berideologi dan mengusung misi Islam serta dulu agak ekslusif kini secara perlahan mulai bangkit tapi tampil dengan baju yang berbeda. Tampil lebih terbuka (inclusif) kecuali PKS yang tetap konsisten dan yang disinyalir berafiliasi dengan Gerakan Hizbut Tahrir.

Sebaliknya beberapa Parpol sectarian yang lahir dan dibidani oleh Ormas Sectarian Islam seperti PKB dan PAN (NU dan Muhammadiya) akhirnya menjadi Parpol terbuka (Inclusif) dan lebih mengejutkan lagi Parpol yang dulu pernah sangat sectarian dan Ekslusif, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) baru-baru ini telah mendeklarasikan Parpolnya sebagai partai terbuka. Ini fenoma menarik yang perlu dikaji secara sosiollogis-historis. Akhir-akhir ini, saya juga menyaksikan di TV Aljazeera banyak berita tentang kebangkitan Gerakan Sectarian seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir (HT) yang bangkit di Jazira Arab (Arab World) seiring dengan hadirnya gerakan revolusi Arab.

Sebagai akademisi yang pernah belajar di luar negeri dan setiap saat aktif di media sosial (Mailing List, FB dan Twitter), hampir setia saat saya mendapakan informasi tentang pertumbuhan populasi dan perkembangan Muslim dunia dan juga kebangkitan gerakan Islam di Luar Negeri. Gerakan Islam di luar negeri justru digerakkan oleh teman-teman Mahasiswa Muslim dari berbagai belahan dunia yang sedang belajar di universitas dan politeknik di negara-negara barat dan berkolaborasi dengan kelompok Permanent Resident/Warga Negara atau umat Muslim di negara tempat belajar mahsiswa Muslim melalui kegiatan pengajian rutin dan kegiatan-kegiatan sosial.

Saya melihat justru kembangkitan umat Muslim juga lebih nampak misalnya di negara-negara barat seperti di Eropa, Amerika Utara dan Australia. Namun, aktivitas mahasiswa dan masayarakat Muslim di negara-negara di Barat (Western World) sering mendapat tantangan dan kendala karena terkadang dicurigai akan menjadi gerakan Islam garis keras atau gerakan yang mendukung kelompok ekstrimis walaupun kenyataannya tentu banyak yang tidak seperti itu. Aktifitas mengumpulkan dana (Charity) kemanusian untuk dikirimkan kembali ke negara-negaranya mahasiswa Muslim bersangkuta juga bahkan sering ada yang dicurigai aliran dana yang terkumpul mungkin akan disalurkan untuk gerakan terorisme walaupun kenyataannya dugaan atau kecurigaaan itu banyak yang tidak benar. Juga kegiatan sosial dan ritual lainnya seprti pengajian dan aktifitas sosial umat Muslim lainnya di negara-negara Barat ada yang sering tidak luput dari pengawasan (surveilence).

Umat Muslim harus bersatu terutama dalam konteks ikut membangun tatanan dunia yang lebih sejahtera, aman dan damai. Ide Khilafah/Syariah yang dikampanyekan oleh kelompok Ormas Sectarian yang berafiliasi dengan Ikwnul Muslimin/Hizbut Tarir merupakan salah satu alternatif mempersatukan kekuatan umat Muslim dunia tapi ide ini tentu akan mengalami kendala politik dan kultural yang cukup berat karena tentu akan mengalami resistensi oleh kekuatan gerakan kelompok pluarilist dan gerakan aktivist HAM. Di samping itu ide Khilafah tentu akan berbenturan dengan hukum Internasional dan UU Negara Bangsa (Nation states). Juga menyangkut RUU Keormasan ternyata banyak kelompok ormas sectarian yang menyatakan resistensinya. Ada yang menduga RUU Ke-Oramasan dapat menjegal tumbuh dan berkembangnya gerakan Ormas sectarian yang ekslusif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar