Senin, 08 April 2013

Perspektif Media dan Kasus Hukum Rimba

Kemarin pagi TV ONE menayangkan dialog tentang kasus serangan ke LP Cebongan. Even dialog itu mungkin bisa dianggap kurang fair dan tidak berimbang karena Nara sumber yg diundang semua memiliki ikatan emosional dengan oknum yg terlibat serangan ke Cebongan karena katakan tidak ada nara sumber yg, netral dan independent (Impartial).

Dapat dianggap lebih ideal, berimbang, proporsional dan Profesional jika suatu tayangan dialog di TV swasta ternama jika juga melibatkan nara sumber yang independent dan berimbang sehingga dialog itu bisa menjadi lebih objektif dan fair. Masyarakat tentu berhak mendapatkan akses informasi yang  mencerahkan, lebih objektif dan berimbang.

Saya berlangganan TV Indovision dan hampir setiap saat menyaksikan program dialog-dialog TV luar negeri dan nara sumber yang dilibatkan selalu berimbang dan harus ada nara sumber yang independent dan impartial (Netral) sehingga masyarakat tidak pernah mencurigai kalau tayangan seperti itu adalah tayangan mungkin katakan semacam pesanan untuk tujuan membentuk opini publik (Public Opinion).

Yang tampil kemarin pagi Jendral Purnawiran Doktor Hendro Priyono dan seorang akdemisi UI (Putra Purnawirawan TNI). Di satu sisi terus ternag saya apresiasi dengan dialog yang bagus dan mencerahkan itu tapi di sisi lain tentu saya menduga mungkin ada juga masyarakat  yang mempertanyakan objektifitas statement dan argumentasi narasumber dalam even dialog TV One tersebut karena posisi dan satus narasumber semua katakan  tidak impartial (independent/netral). Dan katakan tentu karena faktor physikologis dan ikatan emosional mungkin akan  sulit membuat statemnt dan argumentasi yang lebih objektif.

Juga media seharusnya cover both sides karena peristiwa LP cebongan tentu tidak berdiri sendiri dan tentu juga harus dipahami kenapa kasus hukum rimba atau misalnya serangan LP Cebongan itu bisa terjadi di lembaga permasyarakat yang merupakan tempat yang dianggap paling aman yang bisa melindungi tahanan yang notabene juga punya hak dan hak-hak mereka sebagai tahanan juga harus mendapat perlindungan.

Menurut sejumlah pakar dan praktisi media bahwa dari hasil survey LSI salah satu Lembaga Survey ternama, sungguh  hasilnya cukup mengejutkan karena ternyata tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum di Indonesia mulai menurun sehingga ada spekulasi bahwa masyarakat telah memahami dan bahkan mentolerir aksi brutal pembantaian di LP cebongan karena menurut mereka dalam beberapa kasus terkait hukum tidak ditegakkan sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Misalnya ada yang melaporkan ternyata di antara korban pembantaian yang diidentifikasi preman pernah membunuh dan memperkosa tapi hanya mendapt hukuman yang relatif ringan.

Banyak masyarakat yang hampir kehilangan kepercayaan pada sistem penegakkan hukum sehingga kasus main hakim sendiri dan semacam praktek kelompok vigalante di negeri ini makin memprihatinkan. Bedah editorial Media Indonesia pagi ini berjudul "Titik Nadir Hukum". Informasi yang sangat mencerahkan tapi juga beritanya memprihatinkan dan laporan bedah editorial ini harus menjadi feedbacks dan refleksi bagi pihak penegak hukum (law enforcers) dan stakeholders terkait.

Banyak kasus di mana ada sejumlah terdakwa yang telah diputuskan dipengadilan ternyata ada yang hanya mendapat hukuman yang relatif dianggap ringan dan lebih ironis lagi bahkan ada pihak penegak hukum yang tersandung tindak pidana korupsi (Tipikor) misalnya sehingga sejumlah pakar mengatakan bahwa masyarakat telah kecewa dengan sitem penegakkan hukum di Indonesia akibatnya setiap terjadi kasus hukum rimba atau kasus main hakim sendiri, masyarakat dapat memahami dan bahkan ironis lagi ada yang mentolerir kasus hukum rimba.

Insiden kasus LP Cebongan harus menjadi pelajaran berharga sebagai feedbacks untuk perbaikan sistem penegakkan hukum di Indonesia. Aparat TNI dan Polri yang jadi korban serangan rakyat sipil dan preman misalnya harus juga mendapat liputan dan sorotan media secara berimbang dan masyarakat juga harus menaruh simpati terhadap setiap  kasus main hakim sendiri yang melibatkan rakyat sipil dan kelompok preman.

Aksi premanisme dan tindakan main hakim sendiri oleh warga sipil yang telah mengorbankan aparat negara juga harus dikecam sehingga pemberitaan media dan argumentasi dan statement pakar/pengamat di media bisa dianggap profesional dan proporsional serta objektif dan fair.

Dalam dialog di TV One pagi ini seorang komisoner Police Watch dan seorang politisi Parlemen menyatakan bahwa akhir-akhir ini banyak preman dimamfaatkan oleh aparat atau pejabat. Yang ironis lagi ada pernyataan bahwa banyak yang memamfaatkan preman karena preman bisa dan biasa melanggar hukum sedangkan petugas atau aparat tidak bisa atau tidak biasa ehingga banyak yang lebih cenderung memamfaatkan jasa preman.  Ada juga pameo yang dan plesetan yang menyatakan "Aparat itu adalah aset negara tapi preman itu aset siapa atau siapa yang backing Preman?".

Di negara Demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum punya azas equality before the law or the law is above everyone. Tidak ada satupun warga negara yang kebal hukum (impunity) dan juga tentu tidak bole ada pembenaran (justifikasi) terhadap semua bentuk tindakan kejahatan di muka bumi (there is no justification for any crime or what so ever).

Ada adigium yang menyatakan "negara semakin berbahaya bukan karena jumlah penjahat semakin banyak tapi negara semakin berbahaya karena ada yang membiarkan kejahatan itu terus terjadi.

Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Academic, Peace Activist and Blogger on Social Humanity Issues

Tidak ada komentar:

Posting Komentar