Kemarin pagi TV ONE menayangkan dialog tentang kasus serangan ke
LP Cebongan. Even dialog itu mungkin bisa dianggap kurang fair dan tidak
berimbang karena Nara sumber yg diundang semua memiliki ikatan
emosional dengan oknum yg terlibat serangan ke Cebongan karena katakan
tidak ada nara sumber yg, netral dan independent (Impartial).
Dapat
dianggap lebih ideal, berimbang, proporsional dan Profesional jika
suatu tayangan dialog di TV swasta ternama jika juga melibatkan nara
sumber yang independent dan berimbang sehingga dialog itu bisa menjadi
lebih objektif dan fair. Masyarakat tentu berhak mendapatkan akses
informasi yang mencerahkan, lebih objektif dan berimbang.
Saya
berlangganan TV Indovision dan hampir setiap saat menyaksikan program
dialog-dialog TV luar negeri dan nara sumber yang dilibatkan selalu
berimbang dan harus ada nara sumber yang independent dan impartial
(Netral) sehingga masyarakat tidak pernah mencurigai kalau tayangan
seperti itu adalah tayangan mungkin katakan semacam pesanan untuk tujuan
membentuk opini publik (Public Opinion).
Yang tampil kemarin
pagi Jendral Purnawiran Doktor Hendro Priyono dan seorang akdemisi UI
(Putra Purnawirawan TNI). Di satu sisi terus ternag saya apresiasi
dengan dialog yang bagus dan mencerahkan itu tapi di sisi lain tentu
saya menduga mungkin ada juga masyarakat yang mempertanyakan
objektifitas statement dan argumentasi narasumber dalam even dialog TV
One tersebut karena posisi dan satus narasumber semua katakan tidak
impartial (independent/netral). Dan katakan tentu karena faktor
physikologis dan ikatan emosional mungkin akan sulit membuat statemnt
dan argumentasi yang lebih objektif.
Juga media seharusnya cover
both sides karena peristiwa LP cebongan tentu tidak berdiri sendiri dan
tentu juga harus dipahami kenapa kasus hukum rimba atau misalnya
serangan LP Cebongan itu bisa terjadi di lembaga permasyarakat yang
merupakan tempat yang dianggap paling aman yang bisa melindungi tahanan
yang notabene juga punya hak dan hak-hak mereka sebagai tahanan juga
harus mendapat perlindungan.
Menurut sejumlah pakar dan praktisi
media bahwa dari hasil survey LSI salah satu Lembaga Survey ternama,
sungguh hasilnya cukup mengejutkan karena ternyata tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap penegakkan hukum di Indonesia mulai menurun sehingga
ada spekulasi bahwa masyarakat telah memahami dan bahkan mentolerir
aksi brutal pembantaian di LP cebongan karena menurut mereka dalam
beberapa kasus terkait hukum tidak ditegakkan sebagaimana yang
diharapkan masyarakat. Misalnya ada yang melaporkan ternyata di antara
korban pembantaian yang diidentifikasi preman pernah membunuh dan
memperkosa tapi hanya mendapt hukuman yang relatif ringan.
Banyak
masyarakat yang hampir kehilangan kepercayaan pada sistem penegakkan
hukum sehingga kasus main hakim sendiri dan semacam praktek kelompok
vigalante di negeri ini makin memprihatinkan. Bedah editorial Media
Indonesia pagi ini berjudul "Titik Nadir Hukum". Informasi yang sangat
mencerahkan tapi juga beritanya memprihatinkan dan laporan bedah
editorial ini harus menjadi feedbacks dan refleksi bagi pihak penegak
hukum (law enforcers) dan stakeholders terkait.
Banyak kasus di
mana ada sejumlah terdakwa yang telah diputuskan dipengadilan ternyata
ada yang hanya mendapat hukuman yang relatif dianggap ringan dan lebih
ironis lagi bahkan ada pihak penegak hukum yang tersandung tindak pidana
korupsi (Tipikor) misalnya sehingga sejumlah pakar mengatakan bahwa
masyarakat telah kecewa dengan sitem penegakkan hukum di Indonesia
akibatnya setiap terjadi kasus hukum rimba atau kasus main hakim
sendiri, masyarakat dapat memahami dan bahkan ironis lagi ada yang
mentolerir kasus hukum rimba.
Insiden kasus LP Cebongan harus
menjadi pelajaran berharga sebagai feedbacks untuk perbaikan sistem
penegakkan hukum di Indonesia. Aparat TNI dan Polri yang jadi korban
serangan rakyat sipil dan preman misalnya harus juga mendapat liputan
dan sorotan media secara berimbang dan masyarakat juga harus menaruh
simpati terhadap setiap kasus main hakim sendiri yang melibatkan rakyat
sipil dan kelompok preman.
Aksi premanisme dan tindakan main
hakim sendiri oleh warga sipil yang telah mengorbankan aparat negara
juga harus dikecam sehingga pemberitaan media dan argumentasi dan
statement pakar/pengamat di media bisa dianggap profesional dan
proporsional serta objektif dan fair.
Dalam dialog di TV One
pagi ini seorang komisoner Police Watch dan seorang politisi Parlemen
menyatakan bahwa akhir-akhir ini banyak preman dimamfaatkan oleh aparat
atau pejabat. Yang ironis lagi ada pernyataan bahwa banyak yang
memamfaatkan preman karena preman bisa dan biasa melanggar hukum
sedangkan petugas atau aparat tidak bisa atau tidak biasa ehingga banyak
yang lebih cenderung memamfaatkan jasa preman. Ada juga pameo yang dan
plesetan yang menyatakan "Aparat itu adalah aset negara tapi preman itu
aset siapa atau siapa yang backing Preman?".
Di negara Demokrasi
yang menjunjung tinggi supremasi hukum punya azas equality before the
law or the law is above everyone. Tidak ada satupun warga negara yang
kebal hukum (impunity) dan juga tentu tidak bole ada pembenaran
(justifikasi) terhadap semua bentuk tindakan kejahatan di muka bumi
(there is no justification for any crime or what so ever).
Ada
adigium yang menyatakan "negara semakin berbahaya bukan karena jumlah
penjahat semakin banyak tapi negara semakin berbahaya karena ada yang
membiarkan kejahatan itu terus terjadi.
Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Academic, Peace Activist and Blogger on Social Humanity Issues
Tidak ada komentar:
Posting Komentar