Selasa, 16 Oktober 2012

Trend Figur Kepala Daerah dalam Era Demokrasi Langsung

Event Pemilukada DKI Jkt dan pelantikan Gubernur dan wakil Gubernur terpilih kemarin menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat. Dua figur kepala daerah dan wakilnya berasal dari daerah telah berhasil menggantikan posisi kandidat incumbent Fauzi Bowo. Kandiat incumbent adalah putra daerah dan beliau harus menerima kenyataan yang mungkin pahit setelah kalah bersaing dalam event Demokrasi Langsung Pemilukada dua putaran itu.

Yang unik dan menarik dari Jokowi-Ahok, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang baru dilantik adalah Jokowi mantan Walikota Solo berasal dari luar DKI JKt belum pernah bertugas di Jakarta. Beliau berlatar belakang Sarjana Kehutanan UGM, beragama Islam dan berasal dari suku Jawa. Sedangkan Ahok berasal dari Sumatra, mantan Bupati Bangka Belitung pernah bertugas di Jakarta sebagai Legislator (Politisi Senayan). Beliau memiliki latar belakang pendidikan Magister Manajemen, beragama Kristen Protestan dan dari keturunan Tionghoa.Mereka adalah Pasangan Kepala daerah yang berlatar belakang multikultur dan dari latar belakang yang cukup heterogen. Selama masa kampanye pernah mengalami cobaan dan terpaan kampanye hitam (negative campaign) terutama berkaitan dengan isu SARA yang berhasil dihembuskan oleh individu dan kelompok-kelompok yang tidak menginginkan mereka memimpin DKI Jkt.

Yang jelas terpilihnya Jokowi-Ahok memang cukup unik karena mereka belum pernah jadi kepala daerah di DKI Jakarta dan popularitas serta track-record mereka dalam konteks kepemimpinan dan reputasi mereka hanya diketahui oleh kalangan masayarakt DKI via media sosial dan media massa serta cerita masyarakat dari mulut ke mulut walapun mungkin ada juga segelintir dari masyarakat DKI yang sudah mengenal mereka dari dekat. Dalam Islam ada istilah "Manjada Wa jada" yaing artinya siapa saja yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Demikian juga di Amerika ada ungkapan "American Dream" maksudnya siapa saja bekerja keras dan bersungguh-sungguh pasti apa yang diimpikan akan tercapai.

Jokowi-Ahok sudah bekerja keras dan bersungguh-sunguh selama jadi kepala daerah (Walikota dan Bupati) sehingga mereka mampu menorehkan prestasi yang baik dan sangat berkesan di tengah masyarakat. Reputasi dan prestasi mereka selama jadi kepala daerah telah menjadi catatan putih mewangi yang mampu mengalahkah isu dan rumor kampanye hitam di masyarakat. Reputasi dan prestasi Jokowi-Ahok telah menyebar sampai ke masyarakat DKI JKt yang pada saat itu sedang berusaha menggapai impian untuk memiliki figur pemimpin yang didambakan. Masyarakat DKI bersungguh-sungguh ingin melihat DKI Jkt bisa menuju ke Perubahan yang cukup signifikan karena selama ini mereka telah mengalami penderitaan yang cukup berat terutama berkaitan dengan masalah klasik dan konvensional seperti masalah banjir, sampah, pengangguran, kemacetan dan kriminalitas termasuk masalah premanisme serta tentu masih banyak lagi permasalahan lainnya yang solusinya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dari perspektif Demokrasi Prosedural pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) bersama wakil-wakilnya baik liwat parlemen seperti yang pernah diterapkan di Indonesia dulu maupun pemilihan secara langsung oleh rakyat tentu juga memiliki kelebihan dan kekurangannya (Plus-Minus atau Strengths and weaknesses). Pemilihan kepala daerah liwat parlemen (DPRD) mungkin dianggap lebih efisient dari segi waktu dan relatif hematdari segi anggaran serta lebih kurang resiko mobilisasi masa. Namun, dalam konteks elektoral tentu peran the rulling party atau anggota fraksi majoritas di parlemen sangat menentukan terpilihnya kandidat kepala daerah walaupun kasus anomali politik bisa terjadi jika anggota parlemen berani membelot dari arus utama (Mainstream).

Media ramai memberitakan wacana mengembalikan prosedur pemilihan kepala daerah liwat parlemen seperti masa lalu. Wacana pemilihan kepala daerah liwat parlemen terutama ditujukan pada mekanisme pemilihan Gubernur karena pertimbangan keamanan dan juga pertimbangan perspektif Geopolitik dan pemerintahan yaitu fungsi jabatan Gubernur dalam konteks dekonsentrasi di mana Gubernur juga dianggap sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Pemilihan kepala daerah liwat parlemen diasumsikan bisa menekan resiko konflik antar pendukung calon kepala daerah karna mobilisasi massa dari tim sukses kandidat relatif tidak sebesar mobilisasi masa pendukung pada kasus pemilihan langsung sehingga lebih menguntungkan bisa menekan potensi konflik sosial atau konflik komunal yang disinyalir sering mengarah ke aksi anarkisme, vandalisme dan tindakan kekerasan (Political violance). Namun, menurut sejumlah pakar ada juga beberapa kelemahan dari pemilihan liwat parlimen antara lain rawan terjadi praktek money politics dalam bentuk sogok dan gratifikasi. Kandidat yang diusung oleh partai yang dominan di Parlemen kelihatan memiliki peluang besar sebagai kandidat pemenang. Praktek pemilihan kepala pemerintahan liwat parlemen merupakan tradisi yang lazim dipraktekkan di negara yang menganut sistem parlementer.

Dari perspektif legitimasi rakyat sebagai pelaksana konstitusi (Constituent), pemilihan kepala pemerintahan liwat parlemen, legitimasinya dianggap relatif lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan langsung oleh rakyat (Direct Democracy). Juga dalam konteks loyalitas dan akuntabilitas, kelihatannya pemimpin yang dipilih liwat parlemen mungkin relatif akan lebih loyal dan akan merasa lebih bertanggung jawab (accountable) kepada partai atau fraksi yang mengusungnya ketimbang kepada rakyat sebagai pelakasana konstitusi sperti layaknya dalam sistem Demokrasi.

Sejak Indonesia menerapkan Demokrasi langsung di mana rakyat dilibatkan secara langsung memilih calon kepala daerah yang diinginkan telah sering terjadi euforia politik terutama saat berlangsungnya pesta Demokrasi pemilukada di setiap daerah di negeri. Rakyat berpesta dan bersuka cita mengusung dan ikut berkampanye membangga-banggakan jagoan yang tentu mereka dambakan akan sukses terpilih jadi kepala daerah. Suasana kampanye sangat meriah karena diisi dengan acara pidato politik (Political speech) dan full entertainment melibatkan artis lokal dan bahkan artis ibukota. Dari beberapa informasi di media ternyata banyak rakyat yang lebih tertarik mengikuti kampanye politik bukan karena tertarik dengan content atau subtansi pidato politik tapi lebih tertarik karena adanya sajian hiburan artis ibukota. Disinilah keunikan mekanisme kampanye politik di Indonesia jelang Pemilukada karena content program entertainment porsinya bersaing secara significant dengan content pidato politik. Sayangnya rakyat umumnya kelihatan lebih tergiur dengan acara entertaintment (hiburan) dan kalaupun mereke memperhatikan pidato politik kandidat pada event kampanye mungkin karena dalam pidato tersebut kandidat sering mengumbar janji-janji manis dan menggiurkan kepada rakyat melalu visi misi dan program pembangunan yang mereka janjikan kepada rakyat. Kandidat lebih mengutamakan upaya membujuk keinginan dan kebutuhan rakyat
Ketimbang merujuk pada kepentingan dan keinginan rakyat.

Dalam konteks pemilihan langsung dewasa di negeri ini kelihatan ada ada fenomena menarik di mana figur kepala daerah yang terpilih kelihatan cenderung lebih banyak dari kalangan figur pemimpin yang merakyat yaitu pemimpin yang sangat dekat dengan rakyat secara alami alias bukan dibuat-dibuat (pencitraan), pemimpin yang memiliki sympati dan empaty serta selalu sudi berkomunikasi langsung dengan rakyat. Mau menegur atau menyapa rakyat secara langsung serta mau turun ke masyarakat dan melihat kesulitan atau masalah apa yang sering dialami rakyat. Figur kepala daerah menjadi figur menjadi jauh lebih populer dan menjadi idola rakyat ketimbang profil partai politik yang mengusung mereka. Figur pemimpin yang cenderung jadi pilihan rakyta dalam pemilukada dewasa ini adalah figur pemimpin yang egaliter dan jauh dari sikap arogansi dan elitis. Figur pemimpin yang mau mendengar jeritan rakyat atau mau mendengarkan tuntutan rakyat.

Dalam era Demokrasi langsung pemimpin diharapkan mampu dan mau berkomunikasi langsung dengan rakyat sehingga mereka juga tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh rakyat. Jadi kebutuhan dan keinginan rakyat tidak lagi sering diwakili oleh wakil rakyat melalui penyampaian aspirasi rakyat di parlemen. Pemimpin yang terpilih liwat pemilihan langsung oleh rakyat dirasakan lebih aspiratif dan keinginan figur yang dikehendaki adalah figur riel yang betul-betul diidam-idamkan oleh rakyat. Itulah figur pemimpin yang aspiratif dan preferensinya yang bersifat aspirasi bootom-up langsung oleh rakyat (bukan liwat wakil rakyat) tapi sebaliknya pemilihan kepala daerah liwat parlemen keliatan cukup elitis dan preferensi figur pemimpin cenderung lebih bersifat aspirasi yang top-down. Figur pemimpin yang terpilih liwat parliment mungkin akan relatif cenderung berdasarkan keinginan dan kebutuhan wakil rakyat dan atau mungkin bukan figur yang diinginkan rakyat. Dalam era pemilihan langsung, kelihatan mirip konteks rewards and punishment, misalnya rakyat akan memberikan rewards dalam bentuk akan menjatuhkan kembali pilihan mereka pada figur pemimpin yang mereka kehendaki karena mau mendengar kesulitan dan permasalah rakyat.

Kepala daerah yang berprestasi dan dekat dengan rakyat kemungkinan besar akan terpilih kembali pada pemilukada berikutnya. Namun, hal ini mungkin akan terwujud dengan catatan jika mereka mencalonkan kembali serta jika tidak terjadi kasus rekayasa politik dan rekayasa hukum oleh lawan-lawan politik yang mungkin telah menderita Phobia politik alias takut akan kalah dalam pertarungan Pemilukada. Sehingga berbagai upaya dan tipudaya dilakukan berusaha menjatuhkan figur kandidat yang lebih populer di mata rakyat seperti melalui upaya pembusukan politik (Political Decay). Pemimpin yang zolim dan sering menyakiti atau mengecewakan rakyat, akan mendapat hukuman sosial dari rakyat dalam setiap event pemilukada karena kemungkinan besar banyak rakyat yang tidak akan memilih kembali mereka pada pemiluda berikutnya tapi fenomena seperti ini tentu tentu tidak bisa digeneralisasikan.

Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi, Blogger Sosial Humaniora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar