Selasa, 30 Oktober 2012

KONFLIK SOSIAL DAN KRISIS KULTURAL DI INDONESIA DALAM ERA REFORMASI


Sungguh memprihatinkan baru saja kita merayakan Hari Raya Idul Qurban dan Peringatan hari Sumpah Pemuda terjadi bentrok antara warga, konflik kekerasan dan tindakan anarkisme di beberapa wilayah di negeri ini. Huntington  mengatakan bahwa pada era pasca perang dingin identitas-identitas budaya dan kebudayaan mampu membentuk pola kohesif atau perekat  yang mengakomodasi adanya pluralitas masyarakat dalam membangun integrasi atau kebersamaan (togetherness) atau juga sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu apabila tidak ada kesadaran untuk mengembangkan aspek kohesif tersebut negara nasional yang plural di bidang etnis dan budaya akan menghadapi kekuatan distruktif (Huntington, 2000: 5).

Nilai-nilai persatuan dan persaudaraan telah terkoyak-koyak oleh konflik sosial dan krisis kultural. Bangsa ini seharusnya juga dibangun atas dasar modal sosial dan bukan hanya selalu mengandalkan modal finansial seperti yang selama ini kita saksikan dalam pembangunan di tanah air. Misalnya, yang lebih banyak dibangun saat ini adalah toko-toko, bangunan fisik yang jadi infrastruktur penyokong program kapitalisme dan bukan membangun tokoh-tokoh yang bisa menjadi figur yang bisa jadi panutan masyarakat sebagai penyokong gerakan Sosialisme- Demokrasi.

Kepercaryaan merupakan modal Sosial yang sangat penting dalam pembangunan karakter bangsa dan solusi untuk berbagai mesalah konflik Sosial di tanah air. menurut Institute of Future Studies for Development di Bangkok saling percaya adalah kunci untuk menyelesaikan krisis. Sementara itu empati adalah jaringan rasa sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan membangun empati masyarakat akan dapat saling tolong menolong dan bekerja sama. Jadi krisis yang terjadi pada bangsa Indonesia juga dapat disebut krisis kepercayaan dan empati (Asia Week, December 1998).

Gotong Royong sebagai modal sosial dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila merupakan suatu kebersamaan sebagai faktor kohesif yang dapat mengeliminir efek negatif dari prinsip keterbukaan dan otonomi sebagai prinsip utama Demokrasi dan mengelaminir juga  prinsip yang sangat rentan terhadap disintegrasi bangsa. Kebersamaan yang dapat menjadi modal sosial (social capital) dalam memaksimalkan potensi bangsa untuk tidak menjadi pecundang (loser) tetapi menjadi gainer dalam proses globalisasi (Fukuyama, 1999: 11-14). Berdasarkan modal sosial seharusnya terbangun kepercayaan, gotong royong dan toleransi serta akan mendukung lhirnya tokoh-tokoh masyarakat yang bisa jadi panutan untuk menjadi mediator rekonsiliasi setiap terjadinya konflik sosial. Namun, ternyata selama ini bangsa ini dibangun hanya lebih banyak mengandalkan modal finansial dan lebih bangga dengan pembangunan infrastruktur perdagangan seperti toko-toko, mall-mall dan berbagai fasilitas publik dan ketimbang modal sosial yang juga sangat dibutuhkan dalam pembangunan bangsa seperti yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Hari Minggu tanggal 28 Oktober Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 84 Tingkat Nasional dan Jambore Pemuda ASEAN dipusatkan di Palu Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Namun, sungguh ironis dua hari kemudian terjadi kerusuhan masa antara kampung telah terjadi pembakaran rumah, kendaraan dan perang antar kampung menggunakan senjata tajam dan senjata tradisional lainnya. Insiden perkelaihan warga yang melibatkan warga dari kampung Tatura dan Tinggede terjadi di daerah yang cukup padat penduduk dan terjadi dekat jalan raya yang letaknya sangat strategis sehingga telah mengganggu arus kendaraan lalulintas.

Kini sejak terjadi konflik sosial berbagai akronim dan dan jargon jenaka muncul misalnya, kawan saya seorang pengurus HIPMI SulTeng katakan, "PAD Kota Palu meningkat". Mendengar kata PAD banyak warga yang merasa bangga karna dikira PAD yg dimaksud (Pendapatan Asli Daerah) tapi ternyata PAD yang diamksud meningkat adalah (Perkelahian Antar Desa). Kalau PAD meningkat Otomatis DAK juga akan meningkat" tapi PAD bukan singkatan dari "Pendapatan Asli Daerah dan DAK bukan singkatan dari Dana Alokasi Khusus". PAD (Perkelaihan Antar Desa) dan DAK (Dendam Antar Kampung".

Ada adigium yg menyatakan "Negara semakin terancam bahaya bukan karna makin banyaknya orang yg melakukan pelanggaran hukum tapi sebaliknya negara semakin terancam bahaya karena ada orang yg membiarkan pelanggaran hukum itu terjadi". Juga ada adigium yang menyatakan "Kejahatan itu bukan diciptakan oleh masyarakat tapi kejahatan itu diciptakan oleh sistem yang tidak benar dan jika kita tidak mampu merubah sistem yang tidak benar maka kita juga adalah bahagian dari suatu kejahatan".

Kini ada juga ungkapan patriotisme versus pesimisme berkaitan dgn peringatan sumpah pemuda dan konflik sosial yg terjadi di beberap wilayah di Indonesia:

1. Pemuda dulu berperang melawan penjajah tapi sekarang berperang melawan saudara.

2. Pemuda dulu bersumpah "Torang samua Basudara" kini sumpah itu telah diplesetkan menjadi "Torang samua bunuh saudara".

Jangan sampai nilai-nilai Sumpah Pemudah berubah jadi nilai-nilai Sampah Pemuda. Saatnya rapatkan barisan dan bangkitkan semangat persatuan dan persaudaraan untuk meraih kejayaan bangsa Indonesia yang maju.

Salam Perubahan
Mochtar Marhum
Akademisi, Blogger Sosial Humaniora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar