Sabtu, 27 Oktober 2012

LINTAS DISIPLIN ILMU Vs MONO DISIPLIN ILMU DAN ORIENTASI PERGURUAN TINGGI BERKELAS DUNIA

Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bulan depan akan menyelenggarakan Konferensi dengan tema “Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon Ilmu”. Topik ini sangat menarik untuk didiskusikan oleh para tenaga akademisi dan pemangku kepentingan pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut hemat saya ada beberapa hal yang membuat isu ini sangat relevan dan menarik untuk didiskusikan:

Pertama, adanya kebijakan pendidikan tinggi yang mewajibkan setiap tenaga akademik (dosen) harus tersertifkikasi sama dengan tenaga profesional lainnya. Pada awal diterapkan sertifikasi dosen, banyak yang ragu dengan kualifikasi yang mereka miliki. Misalnya ada seorang dosen yang qualifikasi ijazahnya kurang linier atau bahkan tidak linear dengan kualifikasi Ijazah jenjang yang lebih tinggi Magister/Masters (S2) atau Doktor/PhD (S3). Sejak diterapkan kebijakan sertifikasi dosen sampai saat ini tidak ada masalah yang terlalu serius terutama berkaitan dengan masalah linieritas. Bahkan Ditjen Dikti dan tim asesor Sertifikasi Dosen telah memberikan kebijakan yang cukup fleksible sejauh dosen yang memiliki kualifikasi ijazah atau background ilmunya masih berada pada pohon atau rumpun ilmu yang masih terkait.

Kedua, masalahnya mungkin akan berbeda ketika seorang dosen yang memiliki Ijazah atau stratafikasi ilmu yang relatif berbeda atau berbeda sama sekali dengan kualifikasi Ijazah pada jenjang yang lebih tinggi dan jika yang bersangkutan akan mengusulkan kenaikan pangkat fungsional ke Lektor Kepala atau Guru Besar akan mengalami persyaratan dan perlakuan yang relatif berbeda. Kasus seperti ini misalnya banyak dialami oleh teman-teman dosen di Perguruan Tinggi Negeri.

Ketiga, rigiditas lineritas kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia mungkin telah membentuk persepsi dan mindset yang berbeda jika dibandingka dengan pendidikan tinggi di luar negeri yang lebih fleksibel serta menghormati kedua aspek kebijakan kajian monodisiplinary dan kajian interdisiplinaryi ilmu. Juga persoalan yang mungkin telah lama terbentuk karena kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia pada umumunya masih lebih berorientasi pada program studi (Prodi Oriented) dan orientasi mono-displinary yang lebih menekankan pada kebijakan by Coursewok (Kuliah) ketimbang program by research (Penelitian) seperti perguruan tinggi di luar negeri. Namun, harus pula diakui bahwa perguruan tinggu di Jawa dan di Sumatra Utara khususnya yang telah berstatus BHP ada yang telah menerapkan kebijakan program pendidikan Tinggi By Research dengan berorientasi pada program research lintas disiplin (Interdisiplinary studies).

Keempat, dulu ada isu teaching university versus research university. Universitas yang sudah maju seperti yang ada di Jawa telah berorientasi pada bobot program research yang lebih tentu pada level Magister dan Doktor sehingga membedakan dari universitas yang lebih orientasi pada program teaching saja. Sebaliknya Pendidikan Tinggi yang menawarkan program Non-Gelar atau diploma yang berorientasi pada program vokasi atau kejuruan berorientasi pada praktek lapangan, magang dan teaching sedangkan Universitas harus berimbang antara program teaching dan research tapi fakta membuktikan bahwa di Indonesia bobot SKS mata kuliah masih jauh lebih banyak dari pada bobot Research (Skripsi atau Tesis) misalnya.

Kelima, baru-baru ini Ditjen Dikti mempromosikan world class university. Perguruan tinggi di Indonesia harus bisa masuk menjadi univeristas berkelas dunia. Untuk menopang kebijakan ini pemerintah bersama DPR telah menyiapkan RUU Pendidikan Tinggi dan Sebelumnya Ditjend Dikti mengeluarkan edaran agar semua mahasiswa yang akan menyelesaikan studi diwajibkan membuat publikasi ilmiah melalui jurnal cetak maupun jurnal elektronik baik untuk level nasional maupun level internasional. Pemerintah juga telah menawarkan sejumlah hibah penelitian kepada dosen-dosen di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga penelitian untuk telribat melakukan penelitia baik itu melalui kajian mono-disiplinary maupun kajian interdisiplinary. Pemerintah terus mendorong kegiatan publikasi hasil penelitian dosen-dosen dan peneliti untuk diterbitkan di Jurnal Nasional terakreditasi maupun jurnal internasional. Untuk mengembangkan program kerjasama antara perguruan tinggi dalam rangka persiapan perguruan tinggi Indonesia masuk kategori world class university, pemeritah mendorong perguruan tinggi di Indonesia untuk menjalin kerjasama di bidang pendidikan dan riset dengan perguruan tinggi di luar negeri. Perguruan Tinggi di Indonesia diberikan peluang untuk berusaha agar supaya dapat merekrut mahasiswa asing dari berbagai negara untuk datang menimbah ilmu di universitas-univeersitas yang ada di Indonesia.

Menjadi universitas yang berkelas dunia (World Class) harus dierphatikan beberapa hal seperti menyangkut  kurikulum diupayakan kalau bisa ada adaptasi dan atau adopsi kurikulum dari perguruan tinggi yang sudah maju di luar negeri. Mindset akademik juga harus berubah dan lebih terbuka menerima inovasi dan perubahan. Atmosfir akademik di setiap perguruan tinggi harus lebih kondusif, produktif, harmonis dan menyenangkan. Input, proses dan output pendidikan tinggi harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat atau kebutuhan pasar kerja baik tingkat lokal, nasional maupun global. Akreditasi Program studi, Fakultas dan Universitas (Institusi) harus menerapkan kebijakan Pendidikan Tinggi secara Bottom-up dan Top-down. Masyarakat sebagai stakeholders pendidikan tinggi harus punya peran yang lebih dalam hal penilaian substansial penyelenggaraan pendidikan tinggi serta yag tak kalah pentingnya adalah perguruan tinggi harus bisa mandiri (self-managed dan self-reliant).


Salam Perubahan
Mochtar Marhum,
Akademisi UNTAD dan Blogger
Isu Sosial Humaniora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar