Menarik diamati sepak terjang Parpol-parpol dalam mencari kawan koalisi yang cocok. Empat Parpol peraih suara terbanyak menjadi leading parpol dalam mencari teman koalisi. Menggunakan jargon typical semua ingin menujukkan ksatria dengan menawarkan koalisi tanpa syarat tapi disinyalir ternyata ada Parpol yang menawarkan koalisi bersyarat dan menggunakan pendekata transaksional atau politik dagang sapi. Praktek sperti ini walaupun sering ditutup-tupi, tetap juga terekspos di media.
Nominasi figur Capres dan Cawapres ramai memenuhi halaman media cetak dan layar kaca Televisi. Jumlah figur Capres mulai berkurang secara signifikan pasca penetapan hasil Pemilu Legislatif dan mengerucut menjadi tiga lalu akhirnya melalui seleksi alam atau mungkin juga karna pengaruh tekanan dominat hasil survey dan pemberitaan media akhirnya pasangan Capres-Cawapres mengkristal dan menjadi dua figure Capres dan kedua figure ini telah dibuktikan melalui hasil survey menunjukkan mereka memiliki tingkat elektabilitas tertinggi. Pasangan Jokowi dan Prabowo akhirnya siap diusung pada Pemilu Presiden tahun ini. Sebaliknya figur Cawapres ketika itu sempat tercatat jumlahnya masih jauh lebih banyak dan potensial untuk dipilih akhirnya terjadi perubahan peta politik dan akhirnya dipilih hanya dua figur melalui seleksi dan kompromi.
Penetapan Cawapres pasangan Prabowo ditetapkan
relatif lebih cepat walaupun sempat ada reaksi kecil dan protes dari Parpol
pengusung kolaisi yang juga ingin menominasikan cawapresnya. Sebaliknya nominasi
dan penunjukkan cawapres pasangan Jokowi relatif lama diputuskan dan sebelumnya
walalupun melalui proses yang relatif
lama tapi signal dan gambaran ciri-ciri figur Capwapres yang ingin disandingkan
dengan Jokowi sebenarnya sudah bisa diprediksi. Sebaliknya, ada Capres dan ada
juga beberapa Cawapres yang lain terpaksa harus mengurut dada kecewa dan
mengambil sikap untuk berlabuh di salah satu Koalisi Parpol. Banyak spekulasi
yang berkembang pasca penetapan Tim Sukses. Dan dari laporan sejumlah media
masing-masing kubu memiliki Tim Sukses pendukung yang kuat dan handal. Mereka
berasal dari berbagai latar belakang Profesi dan status sosial, ada dari
Purnawirawan TNI yang sangat berpengalamna, ada dari mantan Pejabat Tinggi
Negara dan penyelenggara negara yang sukses, Pengusaha, Politisi senior, aktivis
Ormas dan akademisi ternama. Dari figure-figur pendukung di kedua Kubu sempat
muncul isu-isu controversial terkai dukungan mereka. Misalnya ada yang
mengatakan bahwa dukungan diberikan kepada salah satu kubu karena terjadi
transaksi politik. Ada yang diiming-imingi jabatan setingkat Mentri. Sejumlah figure-figur
pendukung salah satu satu pasangan Capres-Cawapres juga tidak luput dari
kritikan di media sosial. Misalnya Amin Rais mendapat kritikan keras dan pertanyaan menyangkut sikap Amin Rais
mendukung PAN bergabung dengan Kubu Prabowo-Hatta. Juga sempat diertanyakan sikap
pak Amin karena dukungannya itu bertentangan dengan sikapnya dulu memimpin
gerakan reformasi dan menentang Rezim Orde Baru dan aparat negara yang sempat
terlibat aksi penculikan activist dan tragedy Mei 98. Beberapa pengguna media
sosial juga berkomentar dengan mengatakan bahwa kini mereka baru tahu saiapa
Mahfud MD sebenarnya. Mereka mengkritisi sikap Mahfud MD dan mengatakan bahwa
Mahfud MD tidak berhak menggunakan gelar Negarawan karena ambisi jabatan dan
telah kehilangan idealisme..
Ada dua Poros kekuatan politik yang akan mengusung
pasangan Capres dan Cawapresnya pada Pemilu 9 Juli 2014. Di kubu pasangan
Capres-Cawapres Jokowi dan Jusuf Kalla yang semula diusung oleh PDIP. Nasdem sebagai pendatang baru merupakan Parpol
yang paling cepat mengambil sikap untuk berkoalisi disusul oleh PKB, Hanura dan
terakhir PKPI. Sedangkan di kubu pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa mulanya
diusung oleh Garindra kemudian disusul merapatnya sejumlah kawan koalisi antara
lain PKS, PAN, PPP dan Golkar sedangkan Demokrat yang dulu pernah jadi the
ruling Party akhirnya mengambil sikap non-block alias sikap netral. Semula
diperkirakan akan terbentuk tiga Poros kekuatan yang mana sempat diprediksikan
bahwa Parpol-Parpol yang berafiliasi Islam akan membentuk satu Poros kekuatan
dan mengusung Capres-Cawapresnya sendiri tapi akhirnya gagal dengan alasan adanya
sikap egoisme. Demikian juga di masa injury time diperkirakan Demokrat dan
Golkar akan berkoalisi dan membentuk Poros ketiga serta mengusung
Capres-Cawapresnya akhirnya juga batal.
Walaupun jumlah Parpol koalisi yang mendukung
masing-masing kubu terlihat hampir seimbang, dari segi jumlah kursi di Parlemen
Kubu Prabowo-Hatta memiliki jumlah seat lebih banyak dari pada kubuh
Jokowi-Jusuf Kalla. Sejumlah analist mengatakan bahwa Pemilu President beda
dengan Pemilu Legislatif. Pemilu president sangat ditentukan figure pasangan
capres dan cawapres yang diusung dan juga tentu harus didukung oleh kerja keras
mesin politik melalui dukungan tim suksesnya masing-masing. Sebaliknya, ada
banyak pendukung fanatik tapi masih awam yakin bahwa Kubu Prabowo Hatta akan
menang didasarkan pada jumlah perolehan suara koalisi pendukung dan kursi di
Parlemen. Harapan mereka mungkin bisa menjadi kenyataan jika saja pemilihan
president masih menggunakan system lama yaitu sisitem pemilihan President di
Parlement. Sebaliknya harus disadari
bahwa sejak Indonesia menerapkan system Demokrasi Langsung (Direct Democracy), figure
pasangan Capres dan Cawapres bisa menjadi penentu kemenangan dalam Pemilu President.
Sebab kenyataan di lapangan banyak terjadi pembelotan. Simpatisan dan pemilih
lintas partai juga juga dalam prakteknya tercatat pernah membelot. Rakyat akan
memilih Capres-Cawwapresnya pada Pemilu Presiden bukan berdasarkan parpol yang
mengusungnya tapi sebaliknya yang lebih pengaruh adalah figure Capres dan
Cawapres idola mereka.
Proses mencari kawan koalisi memang cukup cukup
unik. Ada Parpol yang sejak masih masa kampanye pemilu legislatif sudah
terlibat secara langsung dan vulgar untuk melakukan gerakan koalisi dengan
keikut sertaan beberapa elit parpolnya yang menggunakan seragam partai ikut
kampanye dengan parpol lain yang rencana akan diajak berkoalisi. Kemudian
dengan sikap agresif dan dengan
mengambil keputusan sepihak (unilateral), ketua umumnya mengajak parpol yang
meraih suara terbanyak keempat untuk berkoalisi tapi terjadi konflik internal
dan akhirnya sikap dan keputusan yang tergesa-gesa untuk berkoalisi dibatalkan
dan dianggap koalisi bodong. Namun, setelah proses islah dan Rapimnas partai
akhirnya secara aklamasi diputuskan untuk berkoalisi. Ada juga Parpol yang
ketua umumnya melakukan Tawab Politik dan kegiatan window shopping yaitu berkeliling
mencari kawan Koalisi yang dirasakan pas dan akhirnya merapat ke pasangan Prabowo-Hatta
Rajasa setelah mengalam kecocokan dan disinyalir telah dijanjikan jabatan
Mentri Utama. Namun, Jabatan Mentri Utama oleh sejumlah pakar Hukum Tata Negara
mengkritisinya Karen dalam system Ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal
jabatan Mentri Utama (Prime Minister) karena Nomenklatur jabatan ini hanya ada
di negara yang menganut system parlementer. Yang menarik dalam prsoes koalisi
ini terlihat keunikan dan anomaly dukungan koalisi karena ada kader dan
elit-elit politik yang justru memilki pandangan yang berbeda dangan garis
kebijakan koalisi Parpol yang mendukung Capres-Cawapresnya. Aksi mbalelo,
pembangkangan dan pembeloton dukung Capres –Cawapres terjadi. Misalnya di Golkar
ada sejumlah elit Parpol dan Kader Muda Parpol Golkar yang menyatakan sikap
mereka untuk menolak bergabung dengan Kubu Prabowo-Hatta dan sebaliknya mereka
memutuskan untuk bergabung dengan kubu Jokowi-Jusuf Kalla. Di Hanura terjadi
juga pembelotan di mana salah seorang dewan pembinanya menyatakan sikap
bergabung dengan Kubu Prabowo-Hatta
Dalam bulan terakhir ini kampanya tidak resmi liwat media sosial sangat ramai. Sudah lazim dalam dunia politik praktis melibatkan bumbu-bumbu tidak sedap dalam bentuk kampanye hitam (black campaign) dan Kampanye Negative (Negative Campaign). Black Campaign harus dilarang karena merupakan instrument propaganda politik yang dimamfaatkan dengan menbarkan berisi content kampanye yang berisi fitnah, hoax dan berbagai macam kebohongan dan ditebarkan dengan tujuan untuk mempengaruhi mesyarakat secara langsung maupun tidak langsung utuk tidak memilih figur-figur Capres yang dijagokan Parpol pendukung. Kampanye hitam sering tidak didukung oleh data, fakta dan angka yang benar atau semua data hanya direkayasa. Kampanye hitam jelang PIPLRES 2014 banyak dalam bentuk gambar-gambar, angka-angka dan teks. Beberapa pesan mengandung content yang berbau sentiment agama dan isu rasisme (SARA). Dan kampanye hitam sering menggambarkan bentuk penghujatan dan penghinaan. Sedangkan kampanye negatif adalah bentuk kampanye yang digunakan sebagai instrument propaganda politik tapi masih didukung oleh data, fakta dan angka yang referensinya berasal dari sejumlah sumber yang mungkin sebagaian ada yang bisa dipercaya karena telah telah dipublikasin. Kampanye negatif masih bisa ditolerir karena isi pesan yang disampaikan lebih berkonotasi ke ranah kritikan dan protes. Capres Jokowi sempat jadi korban kampanye hitam yang diterbakan oleh Jokowi haters dan lawan-lawan politiknya. Melalui fitna dan hoax mereka menggunakan sentiment agama dengan tujuan agar masyarakat tidak akan memilih Jokowi dan demikian juga Jusuf Kalla beberapa hari terakhir ini menjadi korban kampanye negative terkait dengan video wawancaranya di TV pada bulan Januari lalu tentang tanggapannya atas keputusan Jokowi yang mencalonkan diri jadi President. Jokowi juga sempat diterpa dengan kampanye neagatif melalui pemberitaan kasus pengadaan mobil trans Jakarta yang telah menyeret Kepala Dinas Perhubungan DKI Jkt yang dinyatakan jadi tersangka korupsi. Namun, tiga hari yang lalu Jaksa Agung dalam jumpa persnya mengatakan bahwa Jokowi tidak terlibat dalam kasus pengadaan bis Trans Jakarta. Kampanye negative sejak lama menerpa Prabowo terutama menyangkut kasus penculikan dan tragedy Mei 98. Yang terakhir Prabowo diterpa kampanye negative dengan munculnya sejumlah berita bahwa Prabowo memiliki kwarganegaraan ganda yaitu dia pernah mendapat warga negara kehormatan dari kerajaan Jordania. Sedangkan Hatta Rajasa di media sosial ramai digosipkan dengan kasus korupsi kereta api, vonis bebas putranya dan berita terbaru tentang prestasi minus Kementrian yang dinakhodainya. Sebenarnya kampanye yang ideal adalah kampanye yang cerdas dan santun. Hanya menyoroti dan mengkritisi Visi, Misi, rekam jejak dan Kinerja Figur Capres-Cawapres selama ini. Kampanye yang baik adalah kampanye yang tidak menyerang pribadi lawan politik dengan menggunakan Kampanye Hitam dan mengangkat isu sentimen agama dan rasialisme (SARA). Kampanye yang baik adalah kampanye yang tidak mejatuhkan lawan politik dengan fitnah dan kebohongan tapi sebaliknya mengangkat kawan politik dengan data yang dibuat-buat dan atau bahkan direkayasa.
Dalam bulan terakhir ini kampanya tidak resmi liwat media sosial sangat ramai. Sudah lazim dalam dunia politik praktis melibatkan bumbu-bumbu tidak sedap dalam bentuk kampanye hitam (black campaign) dan Kampanye Negative (Negative Campaign). Black Campaign harus dilarang karena merupakan instrument propaganda politik yang dimamfaatkan dengan menbarkan berisi content kampanye yang berisi fitnah, hoax dan berbagai macam kebohongan dan ditebarkan dengan tujuan untuk mempengaruhi mesyarakat secara langsung maupun tidak langsung utuk tidak memilih figur-figur Capres yang dijagokan Parpol pendukung. Kampanye hitam sering tidak didukung oleh data, fakta dan angka yang benar atau semua data hanya direkayasa. Kampanye hitam jelang PIPLRES 2014 banyak dalam bentuk gambar-gambar, angka-angka dan teks. Beberapa pesan mengandung content yang berbau sentiment agama dan isu rasisme (SARA). Dan kampanye hitam sering menggambarkan bentuk penghujatan dan penghinaan. Sedangkan kampanye negatif adalah bentuk kampanye yang digunakan sebagai instrument propaganda politik tapi masih didukung oleh data, fakta dan angka yang referensinya berasal dari sejumlah sumber yang mungkin sebagaian ada yang bisa dipercaya karena telah telah dipublikasin. Kampanye negatif masih bisa ditolerir karena isi pesan yang disampaikan lebih berkonotasi ke ranah kritikan dan protes. Capres Jokowi sempat jadi korban kampanye hitam yang diterbakan oleh Jokowi haters dan lawan-lawan politiknya. Melalui fitna dan hoax mereka menggunakan sentiment agama dengan tujuan agar masyarakat tidak akan memilih Jokowi dan demikian juga Jusuf Kalla beberapa hari terakhir ini menjadi korban kampanye negative terkait dengan video wawancaranya di TV pada bulan Januari lalu tentang tanggapannya atas keputusan Jokowi yang mencalonkan diri jadi President. Jokowi juga sempat diterpa dengan kampanye neagatif melalui pemberitaan kasus pengadaan mobil trans Jakarta yang telah menyeret Kepala Dinas Perhubungan DKI Jkt yang dinyatakan jadi tersangka korupsi. Namun, tiga hari yang lalu Jaksa Agung dalam jumpa persnya mengatakan bahwa Jokowi tidak terlibat dalam kasus pengadaan bis Trans Jakarta. Kampanye negative sejak lama menerpa Prabowo terutama menyangkut kasus penculikan dan tragedy Mei 98. Yang terakhir Prabowo diterpa kampanye negative dengan munculnya sejumlah berita bahwa Prabowo memiliki kwarganegaraan ganda yaitu dia pernah mendapat warga negara kehormatan dari kerajaan Jordania. Sedangkan Hatta Rajasa di media sosial ramai digosipkan dengan kasus korupsi kereta api, vonis bebas putranya dan berita terbaru tentang prestasi minus Kementrian yang dinakhodainya. Sebenarnya kampanye yang ideal adalah kampanye yang cerdas dan santun. Hanya menyoroti dan mengkritisi Visi, Misi, rekam jejak dan Kinerja Figur Capres-Cawapres selama ini. Kampanye yang baik adalah kampanye yang tidak menyerang pribadi lawan politik dengan menggunakan Kampanye Hitam dan mengangkat isu sentimen agama dan rasialisme (SARA). Kampanye yang baik adalah kampanye yang tidak mejatuhkan lawan politik dengan fitnah dan kebohongan tapi sebaliknya mengangkat kawan politik dengan data yang dibuat-buat dan atau bahkan direkayasa.
Penulis: Akademesi, Aktivist
Damai dan Blogger Isu-Isu Sosial Humaniora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar