Minggu, 25 Mei 2014

MEMBACA ARAH KOALISI DAN GERAKAN KAMPANYE HITAM JELANG PILPRES Oleh Mochtar Marhum

 
Menurut agenda KPU, Pemilihan Presiden RI tinggal menghitung hari Insya Allah akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014. Pasca Pemilu Legislatif dan Jelang Pendaftaran PILPRES hampir Semua Parpol sibuk mengatur strategi mencari kawan koalisi dan mempersiapkan Capres yang akan diusung; menominasikan dan menyeleksi Cawapre yang akan disandingkan. Hasil Pemilu Legislatif menunjukkan bahwa tidak satupun Parpol yang meraih suara terbanyak mencapai persyaratan Presidential Threshold sehingga dengan demikian tidak ada satupun Parpol yang bisa langsung mengusung Capres-Cawapresnya tapi harus berkoalisi deangan Parpol lain.

Menarik diamati sepak terjang Parpol-parpol dalam mencari kawan koalisi yang cocok. Empat Parpol peraih suara terbanyak menjadi leading parpol dalam mencari teman koalisi. Menggunakan jargon typical semua ingin menujukkan ksatria dengan menawarkan koalisi tanpa syarat tapi disinyalir ternyata ada Parpol yang menawarkan koalisi bersyarat dan menggunakan pendekata transaksional atau politik dagang sapi. Praktek sperti ini walaupun sering ditutup-tupi, tetap juga terekspos di media.

Nominasi figur Capres dan Cawapres ramai memenuhi halaman media cetak dan layar kaca Televisi. Jumlah figur Capres mulai berkurang secara signifikan pasca penetapan hasil Pemilu Legislatif dan mengerucut menjadi tiga lalu akhirnya melalui seleksi alam atau mungkin juga karna pengaruh tekanan dominat hasil survey dan pemberitaan media akhirnya pasangan Capres-Cawapres  mengkristal dan menjadi dua figure Capres dan kedua figure ini telah dibuktikan melalui hasil survey menunjukkan mereka memiliki tingkat elektabilitas tertinggi. Pasangan Jokowi dan Prabowo akhirnya siap diusung pada Pemilu Presiden tahun ini. Sebaliknya figur Cawapres ketika itu sempat tercatat jumlahnya masih jauh lebih banyak dan potensial untuk dipilih akhirnya terjadi perubahan peta politik dan akhirnya dipilih hanya dua figur melalui seleksi dan kompromi.
 
Penetapan Cawapres pasangan Prabowo ditetapkan relatif lebih cepat walaupun sempat ada reaksi kecil dan protes dari Parpol pengusung kolaisi yang juga ingin menominasikan cawapresnya. Sebaliknya nominasi dan penunjukkan cawapres pasangan Jokowi relatif lama diputuskan dan sebelumnya walalupun melalui  proses yang relatif lama tapi signal dan gambaran ciri-ciri figur Capwapres yang ingin disandingkan dengan Jokowi sebenarnya sudah bisa diprediksi. Sebaliknya, ada Capres dan ada juga beberapa Cawapres yang lain terpaksa harus mengurut dada kecewa dan mengambil sikap untuk berlabuh di salah satu Koalisi Parpol. Banyak spekulasi yang berkembang pasca penetapan Tim Sukses. Dan dari laporan sejumlah media masing-masing kubu memiliki Tim Sukses pendukung yang kuat dan handal. Mereka berasal dari berbagai latar belakang Profesi dan status sosial, ada dari Purnawirawan TNI yang sangat berpengalamna, ada dari mantan Pejabat Tinggi Negara dan penyelenggara negara yang sukses, Pengusaha, Politisi senior, aktivis Ormas dan akademisi ternama. Dari figure-figur pendukung di kedua Kubu sempat muncul isu-isu controversial terkai dukungan mereka. Misalnya ada yang mengatakan bahwa dukungan diberikan kepada salah satu kubu karena terjadi transaksi politik. Ada yang diiming-imingi jabatan setingkat Mentri. Sejumlah figure-figur pendukung salah satu satu pasangan Capres-Cawapres juga tidak luput dari kritikan di media sosial. Misalnya Amin Rais mendapat kritikan keras  dan pertanyaan menyangkut sikap Amin Rais mendukung PAN bergabung dengan Kubu Prabowo-Hatta. Juga sempat diertanyakan sikap pak Amin karena dukungannya itu  bertentangan dengan sikapnya dulu memimpin gerakan reformasi dan menentang Rezim Orde Baru dan aparat negara yang sempat terlibat aksi penculikan activist dan tragedy Mei 98. Beberapa pengguna media sosial juga berkomentar dengan mengatakan bahwa kini mereka baru tahu saiapa Mahfud MD sebenarnya. Mereka mengkritisi sikap Mahfud MD dan mengatakan bahwa Mahfud MD tidak berhak menggunakan gelar Negarawan karena ambisi jabatan dan telah kehilangan idealisme..
 
Ada dua Poros kekuatan politik yang akan mengusung pasangan Capres dan Cawapresnya pada Pemilu 9 Juli 2014. Di kubu pasangan Capres-Cawapres Jokowi dan Jusuf Kalla yang semula diusung oleh PDIP.  Nasdem sebagai pendatang baru merupakan Parpol yang paling cepat mengambil sikap untuk berkoalisi disusul oleh PKB, Hanura dan terakhir PKPI. Sedangkan di kubu pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa mulanya diusung oleh Garindra kemudian disusul merapatnya sejumlah kawan koalisi antara lain PKS, PAN, PPP dan Golkar sedangkan Demokrat yang dulu pernah jadi the ruling Party akhirnya mengambil sikap non-block alias sikap netral. Semula diperkirakan akan terbentuk tiga Poros kekuatan yang mana sempat diprediksikan bahwa Parpol-Parpol yang berafiliasi Islam akan membentuk satu Poros kekuatan dan mengusung Capres-Cawapresnya sendiri tapi akhirnya gagal dengan alasan adanya sikap egoisme. Demikian juga di masa injury time diperkirakan Demokrat dan Golkar akan berkoalisi dan membentuk Poros ketiga serta mengusung Capres-Cawapresnya akhirnya juga batal.
 
Walaupun jumlah Parpol koalisi yang mendukung masing-masing kubu terlihat hampir seimbang, dari segi jumlah kursi di Parlemen Kubu Prabowo-Hatta memiliki jumlah seat lebih banyak dari pada kubuh Jokowi-Jusuf Kalla. Sejumlah analist mengatakan bahwa Pemilu President beda dengan Pemilu Legislatif. Pemilu president sangat ditentukan figure pasangan capres dan cawapres yang diusung dan juga tentu harus didukung oleh kerja keras mesin politik melalui dukungan tim suksesnya masing-masing. Sebaliknya, ada banyak pendukung fanatik tapi masih awam yakin bahwa Kubu Prabowo Hatta akan menang didasarkan pada jumlah perolehan suara koalisi pendukung dan kursi di Parlemen. Harapan mereka mungkin bisa menjadi kenyataan jika saja pemilihan president masih menggunakan system lama yaitu sisitem pemilihan President di Parlement.  Sebaliknya harus disadari bahwa sejak Indonesia menerapkan system Demokrasi Langsung (Direct Democracy), figure pasangan Capres dan Cawapres bisa menjadi penentu kemenangan dalam Pemilu President. Sebab kenyataan di lapangan banyak terjadi pembelotan. Simpatisan dan pemilih lintas partai juga juga dalam prakteknya tercatat pernah membelot. Rakyat akan memilih Capres-Cawwapresnya pada Pemilu Presiden bukan berdasarkan parpol yang mengusungnya tapi sebaliknya yang lebih pengaruh adalah figure Capres dan Cawapres idola mereka.
 
Proses mencari kawan koalisi memang cukup cukup unik. Ada Parpol yang sejak masih masa kampanye pemilu legislatif sudah terlibat secara langsung dan vulgar untuk melakukan gerakan koalisi dengan keikut sertaan beberapa elit parpolnya yang menggunakan seragam partai ikut kampanye dengan parpol lain yang rencana akan diajak berkoalisi. Kemudian dengan sikap agresif  dan dengan mengambil keputusan sepihak (unilateral), ketua umumnya mengajak parpol yang meraih suara terbanyak keempat untuk berkoalisi tapi terjadi konflik internal dan akhirnya sikap dan keputusan yang tergesa-gesa untuk berkoalisi dibatalkan dan dianggap koalisi bodong. Namun, setelah proses islah dan Rapimnas partai akhirnya secara aklamasi diputuskan untuk berkoalisi. Ada juga Parpol yang ketua umumnya melakukan Tawab Politik dan kegiatan window shopping yaitu berkeliling mencari kawan Koalisi yang dirasakan pas  dan  akhirnya merapat ke pasangan Prabowo-Hatta Rajasa setelah mengalam kecocokan dan disinyalir telah dijanjikan jabatan Mentri Utama. Namun, Jabatan Mentri Utama oleh  sejumlah pakar Hukum Tata Negara mengkritisinya Karen dalam system Ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal jabatan Mentri Utama (Prime Minister) karena Nomenklatur jabatan ini hanya ada di negara yang menganut system parlementer. Yang menarik dalam prsoes koalisi ini terlihat keunikan dan anomaly dukungan koalisi karena ada kader dan elit-elit politik yang justru memilki pandangan yang berbeda dangan garis kebijakan koalisi Parpol yang mendukung Capres-Cawapresnya. Aksi mbalelo, pembangkangan dan pembeloton dukung Capres –Cawapres terjadi. Misalnya di Golkar ada sejumlah elit Parpol dan Kader Muda Parpol Golkar yang menyatakan sikap mereka untuk menolak bergabung dengan Kubu Prabowo-Hatta dan sebaliknya mereka memutuskan untuk bergabung dengan kubu Jokowi-Jusuf Kalla. Di Hanura terjadi juga pembelotan di mana salah seorang dewan pembinanya menyatakan sikap bergabung dengan Kubu Prabowo-Hatta

Dalam bulan terakhir ini kampanya tidak resmi liwat media sosial sangat ramai. Sudah lazim dalam dunia politik praktis melibatkan bumbu-bumbu tidak sedap dalam bentuk kampanye hitam (black campaign) dan Kampanye Negative (Negative Campaign). Black Campaign harus dilarang karena merupakan instrument propaganda politik yang dimamfaatkan dengan menbarkan berisi content kampanye yang berisi fitnah, hoax dan berbagai macam kebohongan dan ditebarkan dengan tujuan untuk mempengaruhi mesyarakat secara langsung maupun tidak langsung utuk tidak memilih figur-figur Capres yang dijagokan Parpol pendukung. Kampanye hitam sering tidak didukung oleh data, fakta dan angka yang benar atau semua data hanya direkayasa. Kampanye hitam jelang PIPLRES 2014 banyak dalam bentuk gambar-gambar, angka-angka dan teks. Beberapa pesan  mengandung content yang berbau sentiment agama dan isu rasisme (SARA). Dan kampanye hitam sering menggambarkan bentuk penghujatan dan penghinaan. Sedangkan kampanye negatif adalah bentuk kampanye yang digunakan sebagai instrument propaganda politik tapi masih didukung oleh data, fakta dan angka yang referensinya berasal dari sejumlah sumber yang mungkin sebagaian ada yang bisa dipercaya karena telah  telah dipublikasin. Kampanye negatif masih bisa ditolerir karena isi pesan yang disampaikan lebih berkonotasi ke ranah kritikan dan protes. Capres Jokowi sempat jadi korban kampanye hitam yang diterbakan oleh Jokowi haters dan lawan-lawan politiknya. Melalui fitna dan hoax mereka menggunakan sentiment agama dengan tujuan agar masyarakat tidak akan memilih Jokowi dan demikian juga Jusuf Kalla beberapa hari terakhir ini menjadi korban kampanye negative terkait dengan video wawancaranya di TV pada bulan Januari lalu tentang tanggapannya atas keputusan Jokowi yang mencalonkan diri jadi President. Jokowi juga sempat diterpa dengan kampanye neagatif melalui pemberitaan kasus pengadaan mobil trans Jakarta yang telah menyeret Kepala Dinas Perhubungan DKI Jkt yang dinyatakan jadi tersangka korupsi. Namun, tiga hari yang lalu Jaksa Agung dalam jumpa persnya mengatakan bahwa Jokowi tidak terlibat dalam kasus pengadaan bis Trans Jakarta. Kampanye negative sejak lama menerpa Prabowo terutama menyangkut kasus penculikan dan tragedy Mei 98. Yang terakhir Prabowo diterpa kampanye negative dengan munculnya sejumlah berita bahwa Prabowo memiliki kwarganegaraan ganda yaitu dia pernah mendapat warga negara kehormatan dari kerajaan Jordania. Sedangkan Hatta Rajasa di media sosial ramai digosipkan dengan kasus korupsi kereta api, vonis bebas putranya dan berita terbaru tentang prestasi minus Kementrian yang dinakhodainya. Sebenarnya kampanye yang ideal adalah kampanye yang cerdas dan santun. Hanya menyoroti dan mengkritisi Visi, Misi, rekam jejak dan Kinerja Figur Capres-Cawapres selama ini. Kampanye yang baik adalah kampanye yang tidak menyerang pribadi lawan politik dengan menggunakan Kampanye Hitam dan mengangkat isu sentimen agama dan rasialisme (SARA). Kampanye yang baik adalah kampanye yang tidak mejatuhkan lawan politik dengan fitnah dan kebohongan tapi sebaliknya mengangkat kawan politik dengan data yang dibuat-buat dan atau bahkan direkayasa.

Penulis: Akademesi, Aktivist Damai dan Blogger Isu-Isu Sosial Humaniora
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar