Selasa, 21 Mei 2013

PETA ALUMNI LUAR NEGERI: ANTARA PENGABDIAN DAN TANTANGAN Oleh: Mochtar Marhum, Australian Alumni Ambassador

Dari perspektif sejarah dan kiprah elit-elit Indonesia yang pernah belajar di luar negeri sebelum masa kemerdekaan dapat dikatakan sejak jaman dahulu kala telah ada sejumlah pemuda Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri khususnya di negeri Belanda.

Di zaman Orde lama tidak sedikit  pemuda-pemuda Indonesia yang potensial sempat dikirim ke luar negeri dan belajar di beberapa perguruan tinggi di Uni Soviet, Eropa Timur dan China. Namun, pasca terjadinya tragedi politik di Era tahun 1960-an, pemuda-pemuda Indonesia yang sangat potensial tersebut ada yang terpaksa tidak bisa kembali ke tanah air tapi harus mencari suaka politik. Ada banyak juga yang mengalami nasib kurang  beruntung dan terkatung-katung di luar negeri.  Ada yang menjadi orang yang tidak berkwarganegaraan (stateless). Kisah sedih sejumlah mantan pelajar (mahasiswa) Indonesia yang pernah belajar di Eropa Timur yang tidak bisa kembali ke Indonesia saat itu karena terjadinya revolusi telah dimuat di beberapa media nasional belum lama ini.

Di Zaman Orde baru, cukup banyak pemuda-pemuda dan elit Orde Baru yang dikirim ke luar negeri dan belajar terutama di sejumlah perguruan tinggi di Amerika Utara Eropa Barat, Jazirah Arab (Arab World) atau Timur Tengah dan Jepang. Di Zaman Rezim Orde Baru dulu ada jargon Mafia Barkley di mana sejumlah elit-elit di Kabinet Rezim Soeharto khususnya yang membidangi Ekonomi dan keuangan tergabung dalam kelompok elit yang pernah belajar di Amerika. Namun, dekade 1990-an atau Pasca reformasi peta alumni luar negeri sedikit bergeser dari Amerika Utara dan Eropa ke Australia (Oceania) dan Jepang (Asia).

Dalam dua dekade terakhir ini, Australia menjadi perguruan tinggi favorit dan terus menjadi primadona untuk pilihan studi ke luar negeri. Australia telah menjadi pilihan destinasi studi bagi warga negara Indonesia karena Australia dianggap salah satu negara maju yang stabil, aman dan relatif dekat dari Indonesia. Mutu pendidikan tinggi di Australia juga dapat dikatakan relatif sama dengan perguruan tinggi yang ada di Eropa, Jepang dan Amerika Utara.

Setiap tahun Australia menawarkan cukup banyak kuota beasiswa untuk belajar pada tingkat program pascasarjana di seluruh perguruan tinggi di Australia. Beasiswa Australia merupakan beasiswa luar negeri dalam bentuk hibah (grant) alias bukan utang luar negeri (bukan loan). Pemerintah Australia setiap tahun menyediakan sekitar 500-an beasiswa kepada calon-calon mahasiswa penerima (recepients) dari negara-negara sahabat di Asia Pacifik (Ocenia) dan Afrika.

Tidak sedikit alumni Australia yang telah memiliki posisi penting dan profesi yang terhormat di tanah air katakan mulai dari profesi pengamat politik, Rektor perguruan tinggi ternama, Wakil Menteri, Menteri Kabinet dan Wapres RI sekarang. Sejak Zaman Orde Baru posisi Menteri Kabinet, Sekjen dan Dirjen banyak yang didominasi alumni luar negeri asal dari perguruan tinggi Amerika dan Eropa Barat. Namun, dengan terus bertambahnya jumlah pemuda dan elit-elit Indonesia yang melirik akses pendidikan tinggi di negeri Kangguru telah membuka peluang bertambahnya jumlah alumni perguruan tinggi luar negeri asal negeri Kangguru di Indonesia. Dulu posisinya pernah di dominasi oleh alumni Amerika dan Eropa.
Namun, harus pula dipahami bahwa majoritas warga Indonesia yang menuntut ilmu ke luar negeri bukan memiliki tujuan, niat dan ambisi untuk merebut posisi tertinggi dalam Rezim pemerintahan di negeri ini tapi kalaupun ada yang dipercayakan menduduki posisi penting dalam pemerintahan sebagai penyelenggara negara misalnya ini merupakan penghargaan atau reward atas  prestasi terbaik yang telah mereka persembahkan.

Namun juga harus diakui bahwa ada tantangan klasik yang cukup berat bagi alumni luar negeri khususnya yang pernah belajar di negara-negara Barat (Western World) terutama ketika mereka terpilih atau diangkat sebagai penyelenggara negara atau penentu kebijakan (Policy Makers) di negeri ini. Tantangan itu makin berat dan sulit jika mereka tidak punya basis masa pendukung dan tidak punya kepercayaan diri.

Tak dapat disangkal lagi bahwa alumni dari pendidikan tinggi di negara barat sering dicurigai sebagai antek-antek Barat yang pro-demokrasi dan mendukung paham Kapitalisme. Kelompok yang menentang elit-elit pemerintahan yang alumni perguruan tinggi dari negara barat kebanyakan adalah kelompok yang anti Demokrasi dan penentang paham Kapitalisme. Kebanyakan mereka adalah kelompok gerakan Pro-Khilafah dan kelompok pendukung gerakan Sosialisme yang jumlah populasinya relatif kecil tapi gaungnya kedengaran mulai membesar.

Penunjukkan Chatib Basri, Ekonom dan akademisi UI jebolan Australian National University (ANU) sebagai Menteri Keuangan RI menjadi sorotan media Nasional dan Internasional. Walaupun nanti periode jabatan Menkeu yang disandang Chatib Basri relatif singkat, perlu diplototi bersama apakah akan ada terobosan baru dan perubahan di negeri ini yang terus masih mengalami krisis kepercayaan dan pertumbuhan ekonomi yang paradoks atau bahkan sebaliknya. Chatib Basri harus mampu menjawab tantangan tertutama dengan isu kebijakan Fiskal atau isu kebijakan pencabutan Subsidi BBM yang mendapat tantangan dan telah menjadi trending topik di media sosial dan media konvensional. Situasi ekonomi-keungan di tahun politik dan jelang Pemilu ini cukup berat dirasakan. Dan yang jelas bangkit atau bangrutnya negara ini sangat ditentukan oleh kita semua sebagai pelaksana constituent dan stakeholders pembangunan. Negara akan maju sesuai harapan kita jika penyelenggara negara dan penduduk di negara ini bisa berjalan harmonis. Rakyat percaya pemerintah dan mendukung program pembangunan. Transparansi dan akuntabilitas publik harus terus dilkasanakan . Fungsi pengawasan dan penegakkan hukum harus lebih ditingkatkan dan terus mendapat perhatian jika kita ingin menjadi bangsa yang maju, berwibawa dan dihormati di mata internasional.
 
Penunjukkan Chatib Basri sebagai Menteri Keuangan yang baru merupakan pertimbangan yang matang dari Rezim pemerintahan SBY setelah mendapat pertimbangan yang cukup lama dan penuh kehati-hatian terutama dari orang dekat SBY. Penunjukkan Chatib Basri sebagai Menkeu yang baru akhirnya menjawab teka-teki setelah sempat tersiar kabar bahwa Presiden telah menunjuk Drajda Hari Wibowo, politisi PAN sebagai Menkeu yang baru.

Chatib Basri yang saat ini menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman modal adalah seorang ekonom (Akademisi UI) dan sebelumnya telah digadang-gadang sebagai salah satu kandidat Menkeu dari latar belakang teknokrat (Non-politisi) yang paling potensial disamping dua lainnya termasuk Dradjad Hari Wibowo, wakil ketua umum PAN juga sempat diberitakan media telah ditunjuk oleh Presiden SBY sebagai Menkeu baru tapi akhirnya kenyataan itu berbalik.

Chatib Basri dan Dradjad Hari Wibowo merupakan dua alumni Australia yang sukses meniti karirnya di bidangnya masing-masing. Chatib Basri menyelesaikan Masters dan Program Doktor (PhD) dalam bidang Ekonomi dari Australian National University (ANU) dan Dradjad Hari Wibowo juga menyelesaikan program Masters dan PhD dari University of Queensland, Australia juga dalam bidang Ekonomi.

Mewakili teman-teman alumni Australia, kami ingin mengucapkan Selamat dan Sukses kepada Chatib Basri, PhD. Yang telah ditunjuk secara resmi oleh Presiden SBY sebagai Menteri Keungan yang baru menggantikan Agus Marto Wardoyo dan dijadwalkan dilantik hari ini. Semoga sukses menjalankan amanah yang muliah sesuai harapan kita semua
"Good on you mate".

(Penulis, Alumni Masters dan PhD, Flinders University, Australia)

Kamis, 09 Mei 2013

KASUS PLAGIARISME DAN UPAYA PENANGANANNYA

Oleh Mochtar Marhum, Australian Alumni Ambassador and Member of Australian Alumni Referrence Group (ARG)

EVENT ILMIAH YANG INSPIRATIF
Tangga 8 Mei 2013 kelompok kerja Australian Alumni Refence Group (ARG), salah satu organisasi alumni penerima beasiswa Australia,  mengadakan Seminar Nasional tentang isu plagiarisme di Universitas Binus Internasional Jakarta. Event ilmiah yang bergengsi ini disponsori Universitas Binus Internasional Jakarta, ARG Australia Awards AusAID, DIKTI Kemendikbud RI dan DIKTIS Kemenag RI. Event ini dihadiri oleh sejumlah akademisi, pakar dan peneliti dari berbagai lembaga pendidikan tinggi negeri dan swasta serta sejumlah lembaga penelitian dan pengembangan.

Agenda kegiatan seminar sehari membahas tentang kasus plagiat yang disinyalir rawan terjadi di sejumlah lembaga perguruan tinggi di tanah air dan melibatkan sivitas akademika seperti kalangan akademisi dan mahasiswa baik program sarjana maupun mahasiswa program pascasarjana.
Tujuan dari kegiatan ilmiah ini adalah untuk menemukan suatu solusi untuk penanganan masalah plagiarisme di lingkungan perguruan tinggi; menyamakan perspesi tentang plagiarsme dan upaya melakukan standarisasi penanganan kasus plagiarisme. Di samping itu keputusan dan hasil dari seminar  menjadi rumusan rekomendasi kebijakan yang harus ditindaklanjuti oleh stakeholders di lingkungan pendidikan tinggi khususnya dalam lingkungan Ditjen Dikti Kemendikbud RI, Ditjen Diktis Kemenag RI dan semua perguruan tinggi terutama lembaga pendidikan tinggi yang disanyalir rawan terjadi kasus plagiarisme.

Tentu disadari bahwa kegiatan seminar, diskusi dan kampanye antiplagiarisme terasa masih sangat langkah dan seharusnya kalanganga akademisi dan stakeholders terkait harus menjadi penggagas dan pelopor kampanya antiplagiarisme. Di sisi lain isu kasus plagiarisme di Indonesia dewasa ini nampaknya masih lebih fokus pada kasus penjiplakan karya-karya musisi ternama yang kasusnya telah berhasil di bawa ke ranah Hukum dengan mengandalkan perangkat UU Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Tulisan ini hanya fokus pada isu plagiarisme dalam konteks karya ilmiah baik yang dalam konteks karya ilmiah yang diterbitkan (Published) dalam bentuk buku dan jurnal maupun belum diterbitkan (unpublished) dalam bentuk skripsi, tesis atau disertasi.

ISU KASUS PLAGIARISME DALAM KONTEKS GLOBAL DAN LOKAL
Dalam konteks isu kasus plagiarisme global,  sejumlah media melaporkan kasus yang menghebohkan seperti berita Kompas tanggal 3 April 2012 yaotu berita tentang Presiden Hongaria, Pal Schmitt yang meletakkan jabatan tahun 2012 setelah gelar doktornya yang diraihnya tahun 1992 dibatalkan pasca temuan bahwa terbukti ada unsur plagiat sebagian dari disertasinya setebal 200 halaman. Presiden Schmitt melepaskan jabatan kurang dari dua tahun terhitung sejak resmi dilantik menjadi  presiden. Desas-desus pengunduran diri sang president terekspos sehari setelah Semmelweis University di Budapest mencabut gelar doktornya. Namun, Schmitt tetap bertahan dan berkeras ia "tak melihat hubungan" antara masalah plagiat dan pekerjaannya seperti dilansir koran Kompas.

Tahun 2011, Media Online DW memberitakan kasus Menteri Pertahanan Jerman, Karl Theodor zu Guttenberg menghadapi masalah tuduhan kasus penjiplakan beberapa bagian dalam tesis doktornya. Guttenberg, 39 tahun, menulis tesis doktornya di Universitas Bayreuth pada tahun 2006 lalu. Tesis setebal 475 halaman itu berjudul ‚"Verfassung und Verfassungsvertrag" (Konstitusi dan Perjanjian Konstitusi), sebuah perbandingan antara sistem konstitusi di Amerika Serikat dan di Eropa. Beberapa bagian dalam tesis itu ternyata merupakan jiplakan langsung dari tulisan orang lain, tanpa ada catatan mengenai sumbernya dan tanpa ada kutipan. Ada bagian dari analisa di koran yang dikutip langsung, tanpa menyebut sumbernya. Antara lain dari koran Swiss Neue Zürcher Zeitung dan koran Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung. Dalam tesis doktornya, Guttenberg juga mengutip beberapa tulisan yang dipublikasi di Internet. Tuduhan awal dilontarkan oleh profesor hukum Andreas Fischer-Lescano. Ia membaca tesis Guttenberg karena tertarik secara ilmiah. Namun ia menemukan beberapa bagian yang sama dengan teks dari sumber lain. Tidak ada catatan kaki mengenai sumber asli. Tadinya, Fischer-Lescano ingin mengungkapkan hal ini dalam sebuah jurnal ilmiah akhir Februari. Tapi temuan Fischer-Lescano lalu diberitakan oleh harian Süddeutsche Zeitung. Sejak itu, makin banyak temuan plagiarisme dalam tesis Guttenberg yang diungkap berbagai media.

Pada tanggal 9 Februari 2013 Media online suaramerdeka.com melaporkan berita pengunduran diri Menteri Pendidikan Jerman, Annette Schavan, mundur dari jabatannya setelah Universitas Duesseldorf menuduhnya plagiat dan mencabut gelar doktornya. Schavan yang dikenal sebagai sekutu dekat Kanselir Jerman, Angela Merkel, ini  membuat malu koalisi yang memerintah. Namun, Schavan menyatakan mundur bukan karena bersalah. "Saya tak akan menerima putusan (universitas) dan akan melakukan tindakan hukum," katanya dalam jumpa pers. Schavan adalah menteri kabinet Kanselir Angela Merkel kedua yang kehilangan gelar doktor akibat hal yang sama. Seperti yang diberitakan Telegraph, Rabu 6 Februari 2013, komite akademisi Universitas Heinrich Heine di Duesseldorf menyatakan wanita 57 tahun ini melakukan plagiat di beberapa bagian thesisnya pada tahun 1980.

Dalam kontekas lokal di tanah air Kasus plagiat dilaporkan rawan terjadi di lingkungan perguruan tinggi.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyelidiki dugaan kasus plagiat di sejumlah perguruan tinggi. Mereka yang terbukti melakukan plagiat bisa dijatuhi sanksi, mulai dari penurunan pangkat, pencabutan gelar akademik, hingga pemberhentian jabatan. Namun, dalam prakteknya sangsi terhadap kasus tindakan plagiarisme yang dilakukan oleh dosen atau mahasiswa, umumnya diserahkan ke perguruan tinggi masing-masing melibatkan komisi etik, senat universitas dan senat guru besar. Adapun keputusan. Akhir ada di tangan rektor masing-masing.  

Adapun beberapa kasus plagiarisme di Indonesia yang sempat terekspos luas beritanya  misalnya kasus plagiat yang dilakukan oleh Guru besar Universitas Riau, Prof II. Beliau dinyatkan terbukti melakukan plagiarisme dalam sebuah buku berjudul Sejarah Maritim. Buku dimaksud merupakan jiplakan dari buku Budaya Bahari karya Mayor Jenderal Marinir Joko Pramono terbitan Gramedia, tahun 2005. Akibat kasus tersebut, Komisi Etika ditambah unsur guru besar senior  melakukan pertemuan dan berdasarkan bukti yang diperoleh,  Prof II dinyatakan terlibat melakukan tindakan plagiarisme.” Setelah menganalisa dan melihat berbagai pertimbangan akademik, sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, tim mengusulkan beliau dijatuhkan sanksi diturunkan pangkat fungsionalnya (Kompas, 24/08/2011).

Prof AA B. Perwita, Guru Besar Unpar Bandung ketahuan melakukan tindakan plagiarisme dalam salah satu tulisannya yang dimuat suratkabar The Jakarta Post. Yang bersangkutan telah mengakui tulisannya berjudul ”RI as a New Middle Power?”. Telah terbukti ia menyontek tulisan asli dari penulis seorang akademisi asal Australia, Carl Ungerer berjudul ”The Middle Power Concept in Australian Foreign Policy”. Menurut Rektor Unpar, Dr Cecilia Lauw, Banyu mengajukan surat pengunduran diri pada Senin 8 Februari lalu, namun baru disetujui pada Selasa (9/2/2010) kemarin.

Salah satu kasus yang juga diselidiki adalah dugaan plagiat yang dilakukan salah seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Menanggapi dugaan plagiat di kampusnya, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa pihaknya telah menjatuhkan sanksi kepada dosen yang dinyatakan melakukan plagiat. Namun, menurut Rektor tersangka pelaku tindakan plagiarisme menggugat rektor melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan bukti yang beredar, plagiat tersebut dilakukan dosen dengan cara menjiplak skripsi mahasiswa. Skripsi mahasiswa bernama Sarika itu dijiplak salah seorang dosen dan diklaim menjadi hasil penelitiannya. Judul penelitian dan obyek penelitian itu nyaris sama dengan skripsi yang dibuat mahasiswa. Bahkan, beberapa kecerobohan pun terungkap. Hal itu, misalnya, di halaman empat dan enam penelitian itu, kata ”skripsi” tidak terhapus. Kejanggalan juga terjadi di metode penelitian, tabel, dan daftar pustaka yang nyaris sama. Kasus-kasus dugaan plagiat hanya bisa terungkap jika ada laporan dari masyarakat. Tanpa itu, kasus plagiat tidak akan ketahuan. Menurut Dirjen Dikti,  biasanya pengecekan karya ilmiah lebih diperketat pada karya ilmiah dosen yang akan mengusul kenaikan pangkat akademik Guru Besar (Professor). Satu per satu karyanya dicek ulang dengan berbagi sumber. Ia melanjutkan laporan yang masuk dari masyarakat selalu ditindaklanjuti dengan memanggil pimpinan perguruan tinggi untuk dimintai keterangannya. Pihak perguruan tinggi pun kemudian diminta menyelesaikan masalah itu secara internal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dirjen Dikti Menilai pihak perguruan tinggi seharusnya mengetahui adanya plagiat karena semestinya mereka memiliki data yang rinci dan lengkap tentang karya-karya mahasiswa dan dosen. ”Dengan data yang lengkap dan rinci, akan mudah ketahuan”. Dari pengalaman penyelesaian kasus-kasus plagiat yang pernah terjadi menurut pak Dirjen, bentuk-bentuk sanksi yang diberikan beragam. Beliau mencontohkan, antara lain sanksi pemberhentian, pencabutan predikat guru besar, penurunan pangkat, dan larangan kenaikan pangkat untuk selamanya (Kompas, 6 Juni 2012).

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KASUS PlAGIARISME
Menurut Professor Manalu, Guru Besar IPB dan juga sebagai salah satu Tim Pokja DP2M DIKTI Kemendikbud, dalam makalahnya yang dipaparkan pada seminar tentang isu plagiarisme di Binus, "Plagiarisme merupakan tindakan mengambil ide, data, atau tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumbernya atau mengakui pemiliknya". Beliau lanjut menjelaskan bahwa plagiarisme itu terdiri atas dua kategori, yaitu: 1. Plagiarisme karya orang lain dan 2 Plagiarisme atas karya sendiri. Menurut Professor Rhoten dari Universitas California, plagiarisme adalah tindakan penggunaan ide, atau kata dari penulis lain dengan tidak menjelaskan sumbernya secara pantas. Dengan tegas beliau tegaskan bahwa perbuatan plagiarisme dapat merusak nilai-nilai akademik dan tindakan plagiarisme bisa dikategorikan sebagai kasus pencurian akademik. Permendikbud No. 17 tahun 2010, Plagiarisme merupakan perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah dengan mengutip atau seluruh karya dan/karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.

Dari hasil diskusi seminar dan juga diskusi di media online termasuk di grup mailing list, ada beberapa faktor penyebab terjadinya kasus plagiarisme. Pertama, masih kurangnya program sosialisasi masalah plagiarisme terutama di kalangan mahasiswa, akademisi dan penulis. Survey yang dilakukan di 72 Peguruan Tinggi di Indonesia oleh Tim Pendidikan Alumni Reference Group (ARG) terhadap sosialisasi PERMENDIKNAS No 17/2010 mengenai pencegahan dan penanggulangan plagiarisme. Hasilnya cukup signifikan karena ada 77 % responden menjawab bahwa mereka belum pernah mendapatkan sosialisasi tentang permendiknas tersebut. Kedua, masih banyak yang mungkin belum mengetahui dan menyadari tentang plagiarisme sehingga mereka sering tidak menyadari jika mereka telah melakukan perbuatan tindakan plagiarisme. Ketiga, belum adanya perangkat aturan atau kode etik yang secara eksplisit dan tegas dapat menjadi perangkat yang lebih efektif untuk upaya pencegahan plagiarisme. Ketiga putusan sangsi pelaku tindak plagiarisme belum efektif dan belum tersosialisasi dengan baik. Keempat, masih adanya mindset atau perspesi yang keliru dan menganggap bahwa mengambil atau mencuri ide, hak cipta (copy rights) dan hak intelectual seseorang (intelectual property) bukan merupakan masalah serius atau mungkin dianggap sudah lazim.  Keempat, banyak mahasiswa yang cenderung ingin menyelesaikan studi akhir dengan cara yang lebih mudah dan mengambil jalan pintas karena ingin cepat selesai. Kelima, pada umumnya kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia hanya menawarkan satu pilihan studi di perguru tinggi yaitu hanya kebijakan full-time studi atau belum menawarkan kebijakan pat-time studi seperti perguruan tinggi di luar negeri sehingga mahasiswa yang sibuk bekerja full-time di kantor sangat sulit membagi waktunya untu melaksanakan studi full-time di kampus. Kalau di luar negeri ada kebijakan di mana mahasiswa yang kerja full-time harus mengikuti studi part-time dan yang studi full-time harus bekerja part-time. Ironisnya di Indonesia banyak mahasiswa yang super karena berstatus sebagai mahasiswa full-time dan sekaligus pegawai atau karyawan full-time bahkan ada yang punya jabatan penting sehingga disangsikan kemampuan mereka untuk bisa membagi waktu.Dalam konteks seperti inilah sering terjadi pemikiran untuk menyelesaikan tugas akhir studi dengan cara jalan pintas yang berpeluang terjadinya praktek plagiarisme.

UPAYA PENANGANAN KASUS PLAGIARISME
Dari perspektif hukum, kasus pelagiarisme merupakan rana etika moral dan kalaupun kasus ini dibawa ke rana hukum, akan terkait dengan hukum perdata. Di lain sisi, adapun  dasar hukum untuk kasus plagiarisme adalah UU No. 20 thn 2003, pasal 25 ayat 2 "Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesin atau vokasi terbukati merupakan jiplakan dapat dicabut gelarnya.

Pasca maraknya terjadi kasus plagiarisme, sejumlah perguruan tinggi mengklaim telah berhasil membuat alat atau perangkat software antiplagiarisme. Salah satu perguruan tinggi yang yang bangga memperkenalkan produk software antiplagiarisme adalah Unpar Bandung. Universitas Surabaya dan Universitas Binus juga telah berhasil membuat buku panduan atau buku pedoman tentang upaya mencegah dan mengatasi masalah plagiarisme. Belum lama ini Ditjen Dikti juga mengeluarkan edaran tentang ancaman sangsi berat bagi pelaku tindak tindakan plagiarisme. Upaya inisiatif dari masing-masing individu untuk memiliki kejujuran akademis mulai dari diri individu masing-masing seperti yang juga direkomendasika ole Prof. Manalu dalam presentasinya di Seminar Nasional Plagiarisme di Universitas Binus. Namun, terdapat tantangan cukup berat mengadapi upaya penegakkan aturan dan uU misalnya ada kasus di beberapa perguruan tinggi yang tenaga akademiknya pernah terlibat kasus plagiarisme dan telah dijatuhi sangsi administratif yang cukup berat telah menggugat Rektornya.  Dalam beberapa kasus gugatan di PTUN, cukup mengejutka karena gugatan itu  sering diimenangkan oleh dosen yang telah dinyatakan tersangka melakukan plagiat.